Ekopesantren: Menjadi Muslim, Menjadi Ekologis
Bibi Suprianto – 20 September 2022
Kata orang, Indonesia itu tanah surga. Namun, bagi saya yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu, negeri ini laiknya tanah bencana. Dari tahun ke tahun, kebakaran hutan dan banjir besar terus terjadi di sekitar daerah tempat saya tinggal, seperti Kabupaten Melawi, Sanggau, Sintang Sekadau, dan daerah lain di Kalimantan Barat. Apa yang saya alami juga terjadi di berbagai daerah. Bencana-bencana itu bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan permasalahan ekologi yang parah. Kerusakan alam ini membuat saya berpikir, mengapa negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar ini, dengan puluhan ribu pesantren dan jutaan santri, yang ajarannya mengamanahkan manusia untuk menjaga bumi, malah membuat kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi? Apakah bagi umat Islam di Indonesia, ajaran mencintai lingkungan sebatas pengetahuan semata?
Jawabannya tidak. Fahrurrazi melalui, “Planting for God: the Ecological Islam of Pesantren Ath-Thaariq Garut, West Java” menunjukkan bahwa menjaga bumi dan mencintai lingkungan sudah menjadi bagian dari keseharian umat Islam di Indonesia. Tesis CRCS tahun 2018 ini meneliti praktik-praktik ekologis komunitas muslim di pesantren yang satu dekade belakangan berkembang di Indonesia dengan nama ekopesantren. Penelitian ini mengobservasi Pesantren Ath-Thaariq Garut, Jawa Barat, yang mengembangkan pesantren pertanian berbasis ekologi (ecofarming).
Ekologi dalam Pandangan Islam
Fahrurrazi memulai tesisnya dengan menceritakan Ath-Thaariq sebagai pesantren yang mengembangkan ecofarming yang memiliki nilai religi, spiritualitas Islam, dan etika sosial di lingkungan sekolah. Praktik ekologis pesantren Ath-Thaariq ditunjukkan melalui praktik pertanian yang ramah lingkungan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat pesantren. Ekopesantren Ath-Thaariq dibangun dan dikembangkan oleh suami istri Lukmanurdin dan Nissa Wargadipura sejak tahun 2008. Pesantren ini bertujuan menciptakan pionir dan penggerak yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam ajaran Islam, tetapi juga pemahaman tentang ekologi. Dalam pengelolaan ekopesantren, Ath-Thaariq mengembangkan praktik eco-farming yaitu pengelolaan pertanian yang menjadikan lahan hijau berkelanjutan sebagai sumber kebutuhan dan penghasilan para petani. Ath-Thaariq mengadopsi nilai-nilai ekologis dalam setiap prosesnya, dari praproduksi sampai pengolahan hasil panen. Bagi Ath-Thaariq, hasil panen tersebut bukanlah untuk bisnis atau keuntungan ekonomi, melainkan bentuk hubungan manusia dan bumi.
Fahrurrazi berargumen bahwa etika lingkungan yang digambarkan oleh ekopesantren Ath-Thaariq mencangkup tiga norma yaitu ekologis sebagai kesalehan, kedermawanan, dan keberagaman yang tidak hanya mengacu pada sumber-sumber normatif Islam, tetapi juga memanfaatkan sumber lain seperti praktik pertanian lokal. Dengan kata lain, Fahrurrazi tidak hanya membicarakan pesantren sebagai praktik kesalehan, tetapi juga membahas etika lingkungan dalam spiritualitas agama.
Menurut Fahrurrazi, tujuan utama praktik-praktik ekologis di ekopesantren adalah untuk mengagungkan Tuhan dan merespon krisis lingkungan. Dinamika ini membawa praktik ekologis menjadi sesuatu yang penting bagi hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Dengan kata lain, praktik ekologis semacam ini menjadi salah satu respons agama terhadap permasalahan lingkungan hidup.
Penting untuk digarisbawahi, krisis lingkungan juga menjadi perhatian penting dalam Al-Qur’an, seperti pada surah Az-Zumar ayat 21 yang menekankan pentingnya merawat lingkungan. Untuk menjadi ekologis, ekopesantren mengadopsi ayat ini untuk memahami dan menjaga kehidupan alam yang diciptakan oleh Tuhan. Ekopesantren Ath-Thaariq juga mengelaborasi kitab-kitab klasik pesantren yang membahas ihyaul mawat (pemupukan nontanah produktif) seperti Bulughul Maram, Riyadhus Shalihin, dan Kifayatul Ahyar.
Ecofarming: Spiritualitas dalam praktik ekologi
Dalam tesisnya, Fahrurrazi juga menggambarkan ecofarming sebagai praktik yang menguatkan hubungan spiritualitas antara petani dan tanamannya. Spiritualitas tersebut merupakan ucapan rasa syukur serta pujian kepada Allah pencipta alam yang diwujudkan melalui hubungan timbal balik dengan alam. Menurut observasi Fahrurrazi, spiritualitas ini tampak pada aktivitas siswa dalam melestarikan benih lokal, keanekaragaman hayati, dan kualitas tanah serta menganggap kegiatan ini sebagai ketaatan kepada Tuhan.
Dalam konteks yang lebih luas, implementasi praktik visi Ath-Thaariq dalam pengembangan ekopesantren merupakan bagian dari konsep hubungan manusia dan alam. Mula-mulanya, pesantren merupakan lembaga adat yang memiliki tujuan dalam mendidik pengetahuan agama, melestarikan tradisi Islam, dan pusat kaderisasi ulama. Akan tetapi, Fahrurrazi melihat bahwa ekopesantren Ath-Thaariq tidak hanya sebagai lembaga sekolah keagamaan. Ekopesanten Ath-Thaariq juga mengimplementasikan hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan manusia dengan alam melalui praktik kehidupan—menjaga kawasan konservasi, praktik kehijauan dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial agama dan lingkungan—dan tradisi keagamaan, seperti tata cara moral, etika, dan normativitas kehidupan. Implementasi praktik tersebut selalu diwarnai dengan pluralitas lokal yang mencoba menghadirkan kembali kepedulian manusia terhadap krisis lingkungan hidup.
***
Tesis ini memiliki data yang kaya. Melalui studi lapangan dan hasil wawancara, Fahrurrazi sangat detail menjelaskan ekopesantren melalui perspektif Islam dan lingkungan sehingga pembaca dapat memahami signifikansi ekopesantren dalam konteks yang lebih luas.
Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Dalam penjelasan tentang ecofarming, Fahrurrazi menggarisbawahi bahwa praktik ini bekerja untuk kemanusiaan dan bumi, bukan untuk bisnis. Akan tetapi, ia tidak mengeksplorasi lebih lanjut praktik jual beli hasil panen yang juga dilakukan oleh Ath-Thaariq (hlm. 45). Fahrurrazi hanya menyebutkan bahwa Ath-Thaariq menjual hasil panennya setelah mereka memenuhi kebutuhannya sendiri. Padahal, di sinilah titik kritisnya. Jika hasil panen begitu melimpah, bahkan setelah digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, tidak menutup kemungkinan hasil penjualan tersebut pada akhirnya akan menjadi kapital dan pemasukan bagi keberlanjutan pesantren, misalnya untuk memperluas tanah dan bangunan pesantren atau usaha lain. Terlepas dari hal itu, penelitian Fahrurrazi menjadi sumbangan penting bagi studi agama dan lingkungan, khususnya di kalangan pesantren. Ketika penelitian dilakukan, studi tentang ekopesantren belum begitu masif. Kini, setelah banyak pesantren mulai mengadopsi konsep ekopesantren, studi lanjutan dengan mengakomodasi sampel yang lebih luas dan sumber informasi yang lebih beragam akan sangat dibutuhkan. Dengan demikian, mimpi agar Indonesia selamat dari krisis ekologi tidak lagi jauh panggang dari api.
______________________
Bibi Suprianto adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Bibi lainnya di sini.