• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Thesis Review
  • Ekopesantren: Menjadi Muslim, Menjadi Ekologis

Ekopesantren: Menjadi Muslim, Menjadi Ekologis

  • Thesis Review
  • 20 September 2022, 13.14
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Ekopesantren: Menjadi Muslim, Menjadi Ekologis

Bibi Suprianto – 20 September 2022

Kata orang, Indonesia itu tanah surga. Namun, bagi saya yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu, negeri ini laiknya tanah bencana. Dari tahun ke tahun, kebakaran hutan dan banjir besar terus terjadi di sekitar daerah tempat saya tinggal, seperti Kabupaten Melawi, Sanggau, Sintang Sekadau, dan daerah lain di Kalimantan Barat. Apa yang saya alami juga terjadi di berbagai daerah. Bencana-bencana itu bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan permasalahan ekologi yang parah. Kerusakan alam ini membuat saya berpikir, mengapa negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar ini, dengan puluhan ribu pesantren dan jutaan santri, yang ajarannya mengamanahkan manusia untuk menjaga bumi, malah membuat kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi? Apakah bagi umat Islam di Indonesia, ajaran mencintai lingkungan sebatas pengetahuan semata?

Jawabannya tidak. Fahrurrazi melalui, “Planting for God: the Ecological Islam of Pesantren Ath-Thaariq Garut, West Java” menunjukkan bahwa menjaga bumi dan mencintai lingkungan sudah menjadi bagian dari keseharian umat Islam di Indonesia. Tesis CRCS tahun 2018 ini meneliti praktik-praktik ekologis komunitas muslim di pesantren yang satu dekade belakangan berkembang di Indonesia dengan nama ekopesantren. Penelitian ini mengobservasi Pesantren Ath-Thaariq Garut, Jawa Barat, yang mengembangkan pesantren pertanian berbasis ekologi (ecofarming).

Ekologi dalam Pandangan Islam

Fahrurrazi memulai tesisnya dengan menceritakan Ath-Thaariq sebagai pesantren yang mengembangkan ecofarming yang memiliki nilai religi, spiritualitas Islam, dan etika sosial di lingkungan sekolah. Praktik ekologis pesantren Ath-Thaariq ditunjukkan melalui praktik pertanian yang ramah lingkungan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat pesantren. Ekopesantren Ath-Thaariq dibangun dan dikembangkan oleh suami istri Lukmanurdin dan Nissa Wargadipura sejak tahun 2008. Pesantren ini bertujuan menciptakan pionir dan penggerak yang tidak hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam ajaran Islam, tetapi juga pemahaman tentang ekologi. Dalam pengelolaan ekopesantren, Ath-Thaariq mengembangkan praktik eco-farming yaitu pengelolaan pertanian yang menjadikan lahan hijau berkelanjutan sebagai sumber kebutuhan dan penghasilan para petani. Ath-Thaariq mengadopsi nilai-nilai ekologis dalam setiap prosesnya, dari praproduksi sampai pengolahan hasil panen. Bagi Ath-Thaariq, hasil panen tersebut bukanlah untuk bisnis atau keuntungan ekonomi, melainkan bentuk hubungan manusia dan bumi.

Fahrurrazi berargumen bahwa etika lingkungan yang digambarkan oleh ekopesantren Ath-Thaariq mencangkup tiga norma yaitu ekologis sebagai kesalehan, kedermawanan, dan keberagaman yang tidak hanya mengacu pada sumber-sumber normatif Islam, tetapi  juga memanfaatkan sumber lain seperti praktik pertanian lokal. Dengan kata lain, Fahrurrazi tidak hanya membicarakan pesantren sebagai praktik kesalehan, tetapi juga membahas etika lingkungan dalam spiritualitas agama.

Menurut Fahrurrazi, tujuan utama praktik-praktik ekologis di ekopesantren adalah untuk mengagungkan Tuhan dan merespon krisis lingkungan. Dinamika ini membawa praktik ekologis menjadi sesuatu yang penting  bagi hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Dengan kata lain, praktik ekologis semacam ini menjadi salah satu respons agama terhadap permasalahan lingkungan hidup.

Penting untuk digarisbawahi, krisis lingkungan juga menjadi perhatian penting dalam Al-Qur’an, seperti pada surah Az-Zumar ayat 21 yang menekankan pentingnya merawat lingkungan. Untuk menjadi ekologis, ekopesantren mengadopsi ayat ini untuk memahami dan menjaga kehidupan alam yang diciptakan oleh Tuhan. Ekopesantren Ath-Thaariq juga mengelaborasi kitab-kitab klasik pesantren yang membahas ihyaul mawat (pemupukan nontanah produktif) seperti Bulughul Maram, Riyadhus Shalihin, dan Kifayatul Ahyar.

Ecofarming: Spiritualitas dalam praktik ekologi

Dalam tesisnya, Fahrurrazi juga menggambarkan ecofarming sebagai praktik yang menguatkan hubungan spiritualitas antara petani dan tanamannya. Spiritualitas tersebut merupakan ucapan rasa syukur serta pujian kepada Allah pencipta alam yang diwujudkan melalui hubungan timbal balik dengan alam. Menurut observasi Fahrurrazi, spiritualitas ini tampak pada aktivitas siswa dalam melestarikan  benih  lokal,  keanekaragaman  hayati, dan  kualitas  tanah  serta  menganggap  kegiatan  ini  sebagai ketaatan  kepada  Tuhan.

Dalam konteks yang lebih luas, implementasi praktik visi Ath-Thaariq dalam pengembangan ekopesantren merupakan bagian dari konsep hubungan manusia dan alam. Mula-mulanya, pesantren merupakan lembaga adat yang memiliki tujuan dalam mendidik pengetahuan agama, melestarikan tradisi Islam, dan pusat kaderisasi ulama. Akan tetapi, Fahrurrazi melihat bahwa ekopesantren Ath-Thaariq tidak hanya sebagai lembaga sekolah keagamaan. Ekopesanten Ath-Thaariq juga mengimplementasikan hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan manusia dengan alam melalui praktik kehidupan—menjaga kawasan konservasi, praktik kehijauan dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial agama dan lingkungan—dan tradisi keagamaan, seperti tata cara moral, etika, dan normativitas kehidupan. Implementasi praktik tersebut selalu diwarnai dengan pluralitas lokal yang mencoba menghadirkan kembali kepedulian manusia terhadap krisis lingkungan hidup.

***

Tesis ini memiliki data yang kaya.  Melalui studi lapangan dan hasil wawancara, Fahrurrazi sangat detail menjelaskan ekopesantren melalui perspektif Islam dan lingkungan sehingga pembaca dapat memahami signifikansi ekopesantren dalam konteks yang lebih luas.

Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Dalam penjelasan tentang ecofarming, Fahrurrazi menggarisbawahi bahwa praktik ini bekerja untuk kemanusiaan dan bumi, bukan untuk bisnis. Akan tetapi, ia tidak mengeksplorasi lebih lanjut praktik jual beli hasil panen yang juga dilakukan oleh Ath-Thaariq (hlm. 45). Fahrurrazi hanya menyebutkan bahwa Ath-Thaariq menjual hasil panennya setelah mereka memenuhi kebutuhannya sendiri. Padahal, di sinilah titik kritisnya. Jika hasil panen begitu melimpah, bahkan setelah digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, tidak menutup kemungkinan hasil penjualan tersebut pada akhirnya akan menjadi kapital dan pemasukan bagi keberlanjutan pesantren, misalnya untuk memperluas tanah dan bangunan pesantren atau usaha lain. Terlepas dari hal itu, penelitian Fahrurrazi menjadi sumbangan penting bagi studi agama dan lingkungan, khususnya di kalangan pesantren. Ketika penelitian dilakukan, studi tentang ekopesantren belum begitu masif. Kini, setelah banyak pesantren mulai mengadopsi konsep ekopesantren, studi lanjutan dengan mengakomodasi sampel yang lebih luas dan sumber informasi yang lebih beragam akan sangat dibutuhkan. Dengan demikian, mimpi agar Indonesia selamat dari krisis ekologi tidak lagi jauh panggang dari api.

______________________

Bibi Suprianto adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Bibi lainnya di sini.

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Almost all countries in the world have Chinatowns, Almost all countries in the world have Chinatowns, Indonesia is no exception. 

In fact, the relationship between the people of China and the Indonesian Archipelago has been going on for two millennia. It is only natural that Chinese culture strongly influences Indonesian culture today.

However, the character of Chinatowns on the Archipelago is as diverse as their history and relations with local communities.

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan id Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan ideologi pembangunan yang mengesampingkan pengetahuan adat, kali ini @ichuslucky berbagi cerita tentang bagaimana penduduk di Perbukitan Menoreh menggunakan pengetahuan adatnya untuk merawat mata air yang tersisa.

Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs.
Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan pe Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan perbaikan dan kemajuan. Yang kerap terjadi justru sebaliknya, pemaksaan dan peminggiran mereka yang dianggap obyek pemeradaban. 

Simak ulasan lengkap menohok nan reflektif dari @andialfianx ini di situs web crcs ugm.
God save the king! Around 500 years ago, King Hen God save the king!

Around 500 years ago, King Henry VIII was awarded by Pope Leo X the title Fidei Defensor or "Defender of Faith" for his defense of the Catholic Church. He subsequently broke away and then declared independence from Catholic Rome, thus becoming the first head of the Church of England. 

Now, the title is inherited by Charles III who lead a kingdom that has seen both significant secularization and growth in non-Christian minorities over the last twenty years.

What the monarchy’s long relationship with religious plurality may look like under the new sovereign?

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju