Endy M. Bayuni |
Konstelasi kebebasan media pasca Orde Baru menunjukkan berbagai tren yang menarik untuk dicermati. Di antaranya adalah keterbukaan media untuk meliput konflik-konflik SARA dan menguatnya kecenderungan konservatif masyarakat Indonesia. Di sela-sela kunjungannya di CRCS UGM untuk mengisi Workshop “Penulisan Jurnalistik dan Akademik di Media Online” serta Wednesday Forum “Religion and Media”, Endy M. Bayuni (Editor Senior harian berbahasa Inggris terkemuka di Indonesia, The Jakarta Post) menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan reporter kami, Khoirul Anam. Berikut cuplikan interview yang dilakukan pada Rabu, 22 Februari 2012 ini:
CRCS: Bagaimana Anda melihat hubungan agama dan media khususnya di Indonesia?
Endy: Agama dan Media dalam satu sisi punya kesamaan yaitu dalam hal mencari kebenaran. Agama mencari kebenaran. Media juga bergerak mencari kebenaran. Bedanya adalah, kalau agama mengklaim dirinya telah menemukan kebenaran, sementara media tidak mengatakan seperti itu. Salah satu disiplin media adalah melakukan cek dan ricek serta verifikasi sampai menemukan kebenaran sedekat mungkin. Kebenaran bagi media bersifat relatif. Sementara kebenaran bagi agama bersifat absolut.
Agama di Indonesia merupakan bagian penting. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis dan spiritual. Nah, media harus merefleksikan kenyataan ini dan menangkap situasi ini.
CRCS: Agama masih merupakan isu sensitif di Indonesia, bagaimana media memberitakan isu-isu agama khususnya yang terkait konflik agama?
Endy: Jadi begini, sekarang kita punya kebebasan untuk melaporkan sesuatu apa adanya. Dulu zaman Pak Harto, pemberitaan konflik agama tidak boleh. Masuk kategori SARA dan dikhawatirkan akan menyebabkan reaksi berlebihan.
Sekarang sudah ada kebebasan untuk melaporkan konflik antar umat beragama. Tentu pertanyaan yang paling relevan, sejauhmana media bisa melaporkan konflik itu? Nah, masing-masing media punya perlakuan yang berbeda. Ada yang membatasi diri karena mereka khawatir akan memperkeruh dan memassifkan konflik yang ada. Ada juga yang mengatakan, kita harus melaporkan kejadian itu apa adanya karena tanggung jawab media adalah menyampaikan kepada masyarakat tentang kondisi riil yang terjadi. Jadi di antara media sendiri belum ada konsensus.
CRCS: Sejauh ini, bagaimana anda melihat peran agama dan media khususnya The Jakarta Post bagi masyarakat Indonesia?
Endy:Agama itu penting bagi masyarakat. Media itu penting juga, tetapi tidak sepenting agama. Saya sebagai orang media sebenarnya mengharapkan media berada dalam posisi sama pentingnya dengan agama. Tapi itu sulit.
Media itu penting dalam arti, bagaimana mereka bertugas sebagai cermin masyarakat. Untuk menunjukkan bentuk wajah masyarakat kita itu seperti apa. Tetapi media juga punya misi tertentu. The Jakarta Post misalnya, punya misi mengajak masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih berarti. Apapun ras, etnis, bahasa, agama, dan dari kelompok manapun, setiap warga negara berhak menikmati hidup yang bebas di negara ini. Bebas berekspresi, bebas berorganisasi, dan bebas mempraktekkan ajaran agamanya. Karena jaminan itu tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945. The Jakarta Post merasa punya tanggung jawab merealisasikannya, apalagi kalau kita lihat masih banyak kelompok yang terusik dalam hal kebebasan ini.
CRCS: Bagaimana tanggapan anda terhadap kelompok masyarakat (minoritas) tertentu yang kemudian memilih untuk menutup diri dari media karena dapat mengancam eksistensi mereka?
Jika ada orang atau kelompok yang menutup diri dari liputan media, saya pikir itu pandangan yang salah. Karena pada akhirnya mereka sendiri yang rugi. Media sebenarnya ingin bercerita kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang terjadi. Media memberikan informasi kepada masyarakat supaya mereka mengetahui apa yang terjadi di lingkungannya, di negaranya, dan masalah-masalah global.
Media bisa melakukan tugasnya dengan baik kalau ada kebebasan untuk meliput dan akses untuk mendapatkan berita. Kalau kita dihalangi, tentu saja kita rugi. Tetapi yang lebih rugi lagi adalah mereka yang menutup diri karena masyarakat tidak memperoleh informasi yang valid tentang keberadaan mereka. Kalau sikap apatis itu didasarkan pada pengalaman buruk dengan sebuah media, jangan kemudian beranggapan semua media tidak bisa dipercaya.
CRCS: Belakangan ini baik di televisi maupun layar lebar marak film-film bertema Islam, bagaimana anda melihat fenomena ini?
Endy: Memang ada tren di masyarakat kita yang mengarahkan cara hidup yang lebih konservatif. Saya pikir itu wajar-wajar saja. Karena sekarang orang lagi suka dengan sesuatu yang Islami dan aspek-aspek ritual Islam. Tetapi saya balik mempertanyakan, apa iya dari segi substansi agama masyarakat kita lebih baik dari sebelumnya? Bagi saya, silahkan orang melakukan apa yang menurut mereka paling baik. Namun, tetap tidak boleh ada pemaksaan. Dalam Islam, tidak ada pemaksaan dalam agama. Tidak boleh ada klaim saya lebih benar dari yang lain.
Bahwa kemudian di belakang “gelombang konservatif” ini ada yang menunggangi, seperti kepentingan politik misalnya, silahkan saja, karena Indonesia negara demokratis. Tetapi, coba kita lihat Pemilu 2009. Partai-partai Islam tidak mendapatkan manfaat dari kecenderungan masyarakat yang lebih Islami itu. Jadi saya melihat ada 2 hal. Pertama, masyarakat yang cenderung konservatif. Kedua, ketidakmampuan partai-partai Islam “mentranslate” tren konservatif masyarakat menjad panel politik mereka.
Kalau kita mengobservasi masyarakat untuk jangka waktu yang panjang, terlihat seperti pendulum. Di tahun 1990-an, masyarakat Indonesia sangat liberal. Kemudian banyak orang mempertanyakan dirinya. Terus sekarang, orang terbawa arus jilbab. Tapi suatu saat nanti, generasi berikutnya bisa jadi akan berkata, kita sudah terlalu konservatif, kemudian bergerak ke liberal lagi. Jadi ada masalah generasi juga. Biasanya seorang anak akan berbeda dengan bapaknya. Kalau bapaknya liberal, anaknya konservatif. Sehingga generasi berikutnya akan membawa pendulum ke arah lain. Itu dinamika masyarakat. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Eropa dan Amerika.
CRCS: Pertanyaan terakhir, bagaimana anda melihat posisi CRCS?
Endy: CRCS adalah suatu lembaga yang cukup unik, khususnya untuk konteks Indonesia. Karena jarang ada lembaga akademik yang mendalami agama dan budaya serta keterkaitannya. Saya kira tiada duanya di Indonesia.
Saya pikir apa yang dilakukan CRCS sangat relevan dalam upaya kita untuk semakin memahami fenomena agama dan budaya di Indonesia. Kenapa misalnya terjadi konflik antar komunitas agama? Padahal di masa lalu damai-damai saja. Kok bisa orang bisa saling membunuh di Ambon dan Poso? Kenapa sekarang masyarakat banyak yang menolak keberadaan Ahmadiyah? Kenapa sekarang keberadaan Syiah dipertanyakan? Kenapa masyarakat bertanya tentang keberadaan gereja di lingkungannya? Kenapa sekarang muncul, kenapa dulu tidak?
Banyak hal yang tidak bisa dijawab oleh media. CRCS diharapkan bisa memberikan jawaban. Karena kalianlah (CRCS) yang mempelajari hubungan antar agama dan budaya. Jadi saya mengharapkan studi, temuan, dan kajian yang telah dilakukan dapat disebarluaskan dan dishare lewat website dan dikirim ke berbagai media yang ada. Karena media perlu tahu banyak dan banyak hal yang belum dketahui media. (ANG)