Hary Widyantoro | CRCS | Perspektif
Setelah mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok divonis bersalah dengan dakwaan penodaan agama, sekitar 59 orang telah menjadi korban persekusi. Salah satunya terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Namun, walau memiliki kaitan dengan kasus Ahok, yakni soal penodaan agama, dinamika lokal berbeda dari yang terjadi di Jakarta.
Orang itu adalah Otto Rajasa, seorang dokter di satu perusahaan minyak Balikpapan. Tulisannya di Facebook, yang ia maksudkan sebagai kritik satir terhadap praktik keagamaan, membawanya ke pengadilan. Ia sempat dituntut dengan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Namun pada 26 Juli 2017, Pengadilan Negeri Balikpapan akhirnya memvonisnya bersalah dengan dakwaan permusuhan terhadap suatu golongan, etnis, ras, atau agama sebagaimana diatur pasal 18 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia mendapat hukuman dua tahun penjara, denda 50 juta, dan subsider 1 bulan kurungan. Kasus ini menjadi satu dari sekian persekusi yang disebut oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sebagai “efek Ahok”.
Dinamika lokal
Meski memiliki kaitan dengan kasus Jakarta, respons lokal terhadap kasus Otto Rajasa berbeda dengan yang di Jakarta (juga di Solok dan beberapa tempat lain). Dalam kasus Balikpapan ini, Front Pembela Islam (FPI) Balikpapan menawarkan bantuan kepada Otto Rajasa. Di samping itu, muncul kelompok memakai kaos bertuliskan Borneo Muslim Army di persidangan. Namun tidak banyak informasi yang beredar soal kelompok ini. Bisa jadi mereka adalah kelompok yang memang khusus dibentuk untuk mengawal kasus ini. Beberapa sumber mengatakan kelompok ini memang kerap berada di pengadilan, tetapi baru kali ini mereka memakai seragam tersebut. Bahkan di daerah Kalimantan Timur lain, Samarinda misalnya, tidak pernah terlihat kelompok bernama Borneo Muslim Army.
Soal FPI di Balikpapan, Pemerintah kota sebenarnya tidak memberikan izin resmi bagi keberadaan mereka. Meski demikian, FPI beberapa kali dapat muncul di persidangan dan menunjukkan adanya aktivitas meski tak banyak. Di awal tahun 2017, pernah beredar kabar mengenai pendirian FPI dan Wakil Walikota Balikpapan Rahmat Masud dikabarkan menjadi salah satu pendukung. Namun beberapa organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Pemuda Ansor, dan ormas etnik Gerakan Pemuda Asli Kalimantan (Gepak) melakukan aksi penolakan.
Beberapa kali FPI bertemu muka dengan Otto Rajasa dan menawarkan bantuan dalam menempuh proses hukum, seperti menyediakan saksi ahli yang dapat meringankan. Namun, tawaran tersebut diikuti dengan harapan bahwa Otto dapat membantu bahkan berandil dalam perjuangan FPI. Sementara FPI di Jakarta mendesak aparat hukum untuk memenjarakan “penoda agama,” FPI Balikpapan menawarkan bantuan kepada “penoda agama”. Yang menarik adalah narasi yang dibangun untuk menjustifikasi tindakan ini, yaitu untuk mentaubatkan Otto Radjasa, si “penoda agama”. Tampaknya ini menjadi strategi politik gerakan bagi FPI Balikpapan yang tidak sebesar di pulau Jawa untuk tampil di ruang publik dan dikenal masyarakat.
Kemunculan sekelompok orang yang mengenakan atribut bertuliskan Borneo Muslim Army di persidangan juga menimbulkan pertanyaan. Di Balikpapan atau Kalimantan Timur secara umum jarang terdengar pemberitaan atau bahkan gerakan ormas Islam semacam FPI, Forum Umat Islam, atau Laskar Jihad. Ormas yang sering tampil ke publik adalah ormas-ormas “nasionalis” seperti Pemuda Pancasila, Laskar Merah Putih, atau ormas yang mengindentifikasi dirinya sebagai ormas etnis lokal. Ormas-ormas seperti Gerakan Pemuda Asli Kalimantan, Laskar Pelindung Adat Dayak Kalimantan, Laskar Antasari, dan lain-lain tidak terlihat menanggapi isu penodaan agama atau diskursus Islam dan negara. Satu kemungkinan adalah, untuk memobilisasi massa dan melakukan pengawalan terhadap kasus dugaan penodaan agama tersebut, mereka perlu membuat satu kelompok yang beridentitas Islam sehingga terbentuklah kelompok itu walau tidak ada jaminan mereka akan terus eksis. Bisa jadi ini hanya kelompok yang dibentuk sementara, untuk ikut andil mengawasi kasus ini dan akan berganti “kostum“ di waktu yang lain sesuai isu yang dimainkan.
Nasional dan lokal
Sebelumnya tidak pernah terdengar pemberitaan FPI, Borneo Moslem Army, dan ormas Islam lainnya melakukan sweeping tempat maksiat atau membubarkan acara yang dianggap tidak islami di Balikpapan, sebagaimana di pulau Jawa. Sebagai provinsi yang memiliki banyak sumber daya alam, tampaknya pemerintah lebih menekankan suasana kondusif untuk mengundang para investor.
Ini yang mungkin membuat eksistensi ormas Islam tidak relevan, karena minimnya isu yang dapat dimainkan. Isu semacam yang dialami dr. Otto jarang menjadi perhatian media dan warga. Beberapa media memberitakan, namun tidak intens. Justru jaringan non-lokal yang mengangkat isu ini ke ranah nasional, seperti SAFEnet. Artinya, boleh jadi FPI di Jakarta termasuk kategori uncivil society namun tidak selalu membuat FPI di Balikpapan juga uncivil, karena konteks yang mempengaruhi.
Masyarakat sipil
Dalam kajian masyarakat sipil dan demokrasi, asumsi bahwa penguatan masyarakat sipil dapat berkontribusi terhadap kuatnya demokrasi semakin dikritik dengan fakta adanya kelompok yang merusak demokrasi itu sendiri, yang kemudian disebut uncivil society. Di antara indikasi bahwa suatu kelompok adalah uncivil ialah menggunakan kekerasan, permusuhan, dan usaha menguasai ruang publik sesuai dengan norma mereka sendiri.
Verena Beittinger-Lee dalam studinya tentang kelompok-kelompok paramiliter di Indonesia, (Un)Civil Society and Political Change in Indonesia, menyebutkan bahwa, dengan dijalankannya otonomi daerah, konteks lokal menjadi penting dalam memahami mengapa vigilantisme terjadi di satu daerah tetapi tidak di daerah lain. Begitu juga dengan kasus dugaan penodaan agama, yang dinamika responsnya berbeda antara yang terjadi di Jakarta dan di Balikpapan.
Dalam kontesks Balikpapan, kita mengetahui bagaimana kasus Otto Rajasa menjadi momen penting bagi FPI untuk “mengangkat bendera” demi penegasan eksistensi sekaligus mendapat keuntungan, yaitu dukungan dari Otto sendiri. Di kota di mana mereka kesulitan mendapat dukungan, melainkan penolakan, FPI berusaha keras memainkan isu ini agar dapat tampil di ruang publik merespons isu-isu agama, sebagaimana di Jakarta dan kota lain, sambil mengambil keuntungan. Untuk mendapat keuntungan, ibarat sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, strategi boleh saja berbeda dari FPI di Jakarta pada kasus Ahok, bahkan berbanding terbalik.
Selain itu, kasus tersebut juga memancing munculnya kelompok-kelompok lain, seperti kelompok yang menyebut dirinya Borneo Muslim Army yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Fenomena ini menunjukkan ada kasus peradilan yang dapat dimainkan oleh kelompok/individu tertentu yang dengan fleksibel bisa berganti “kostum” sesuai kasusnya. Kecenderungan ini khususnya tidak aneh terjadi dalam kasus-kasus “penodaan agama”, yang tuduhannya kerap kabur, mengundang banyak interpretasi, dan pengadilannya sering diiringi tekanan massa.
*Penulis, Hary Widyantoro, adalah alumnus CRCS angkatan 2013.