Dalam wawancara ini, Greg Fealy menceritakan tentang bagaiman konstelasi dan rivalitas para elit di organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, sepanjang tahun 1960 an hingga pada saat ini. Greg mencoba mengurai bagaimana elit NU, mulai dari generasi Wahab Hasbullah hingga Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membawa nakhoda NU yang harus berhadapan dengan dunia politik, Negara dan masyarakatnya sendiri. Greg Fealy adalah adalah sejarawan politik dari ANU (Australia National University) yang berkonsentrasi pada studi-studi politik keagamaan di Indonesia. Phd thesisnya adalah studi mengenai sebuah partai Islam tradisional, Nahdlatul Ulama. Beberapa karyanya yang penting antara lain, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, (1996, co-edited with Greg Barton), dan disertasinya yagn diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, (LKiS, Yogyakarta, 2003). Dalam kesempatan ini, Greg Fealy hadir di sebuah konferensi besar tentang sejarah Indonesia di tahun 1965-1966 di NUS (National University of Singapore), saya sempat mewawancarainya tentang permasalahan NU, sebuah organisasi Islam tradisional di Indonesia.
NU di Bawah Orde Lama
Greg Fealy (etnohistori.org) |
CRCS: Tahun 1959 Masyumi dibubarkan, pada awal tahun 1960an PSI dibubarkan, dan banyak sekali floating mass pada waktu itu, terjadi pula pembubaran dan pembantian terhadap anggota PKI tahun 1965, bagaimana anda melihat konstelasi politik pada masa Orde Lama?
Greg Fealy: Kesan saya adalah, setelah Masyumi dan juga GPI, PII dibubarkan, kebanyakan anggota Masyumi kembali ke organisasi Induk. Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad dan sebagainya. Tidak banyak yang “membelot” ke NU, karena kalau berbicara bukti memang kecil sekali. Memang ada beberapa dokumentasi dari beberapa petinggi yang berharap NU bisa mengambil alih basis dukungan Masyumi, untuk kepentingan Partai NU. Tapi semenjak tahun 1962, ada proses pendaftaran partai dan semua partai politik yang ingin hidup harus mendaftarkan semua anggotanya. Ada syarat minimalnya, misalnya jumlah anggota, jumlah cabang dan sebagainya. Dari informasi tersebut, memang terbukti bahwa jumlah anggota NU naik di dalam basis Masyumi terutama di luar Jawa dan di beberapa kota besar di Jawa. Selain itu, menurut saya tidak ada indikasi bahwa NU dapat anggota baru dari kalangan Masyumi. Kalau melihat sejarah perpisahan NU dari Masyumi cukup jelas, bahwa pada waktu itu NU mengundang hampir semua kelompok yang bisa dianggap tradisionalis; Ahlus sunnah Wal Jamaah; dan yang lebih dekat dengan NU. Organisasi-organisasi ini dianggap dari segi akidah hampir sama dengan NU, bukan dianggap modernis atau reformis. Namun dari setiap organisasi Islam lokal dan kecil lainnya, semuanya tetap dalam Masyumi, karena mereka berasumsi bahwa itu suatu wahana politik untuk NU sendiri. Jadi ketika NU keluar dan mendirikan Liga Muslimin, mereka tidak mengikutinya. Hanya tiga partai yang mengikutinya, NU, Persis, PSII yang telah keluar dari Masyumi dan juga salah satu organisasi kecil dari Sulawesi Selatan.
CRCS: Lantas, bagaimana sikap-sikap partai dan organisasi Islam lainnya terhadap NU sendiri?
Greg: Jadi awal tahun 1950 an, sebenarnya sudah ada sikap yang jelas dari Masyumi sendiri bahwa mereka tidak ingin bergabung dalam aliansi politik Islam yang baru. Pada tahun 1960 an ketika Masyumi telah dibubarkan, sikap organisasi-organisasi Islam dibawah Masyumi seperti misalnya Matlail Anwar dan Al Jamaah Al Wasliah tetap tidak ingin bergabung dengan NU. Jadi saya sangat meragukan bahwa ada peningkatan drastis dalam Anggota NU yang didapat dari partai Masyumi yang bubar. Jika melihat jumlah daftar resmi dan jumlah anggota partai pada tahun 1962, NU memang partai terbesar pada waktu itu, mungkin karena mereka sedikit lebih efisien dalam jenjang keanggotaannya. Tapi dari sepuluh partai yang mendapat ijin dari Negara, NU memang partai terbesar yang kemudian dikalahkan massanya oleh PKI pada tahun 1965. Jadi mobilitas pendukung partai politik Islam tidak begitu tinggi pada waktu itu. Kebanyakan pasca Masyumi dibubarkan, mereka kembali aktif ke organisasi sosial semacam Muhammadiyah, Persis atau Al Irsyad, daripada ikut ke NU.
CRCS: Bagaimana anda melihat tokoh NU pada waktu awal tahun 1960-an seperti KH. Wahab Hasbullah, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri pada waktu itu? Apakah NU mengalami krisis kepemimpinan pasca meninggalnya Hasyim Ashyari di tahun 1947 dan Wahid Hasyim di tahun 1952 sehingga elit-elit ini dianggap tidak mempunyai kekuatan di akar rumput?
Greg Fealy: Kalau untuk Wahab Hasbullah, terutama pasca tahun 1952, dia menjadi arsitek dalam keterlibatan langsung NU dalam sistem politik partai. Itu jelas dalam muktamar tahun 1969, kyai-kya NU merasa diremehkan terutama oleh Natsir dan Mohammad Roem. Sejak tahun 1952 Wahab sudah merencanakan keluarnya NU dari Masyumi. Kemudian telah ada kontroversi siapa yang akan menjadi menteri agama. Dan dibelakang proses perpisahannya NU dengan Masyumi, figur yang paling menonjol adalah Wahab Hasbullah. Memang pada muktamar tahun 1952 kebanyakan utusan juga tidak mau keluar dari Masyumi, karena mereka meragukan kapasitas NU dalam bidang politik. Tapi Wahab Hasbullah memberikan semacam ultimatum, kalau NU tidak keluar dan muktamar tidak mendukung dia, maka dia akan keluar dengan beberapa kader yang terpercaya dan membangun partai sendiri. Setelah ultimatum tersebut baru NU menjadi partai politik. Dalam hal ini, ada beberapa sumber primer yang menunjukkan hal tersebut, dari Saifuddin Zuhri yang menjadi menteri agama pada waktu Orde Lama. Terutama dalam tulisan-tulisannya yang kemudian menjadi perdebatan dalam muktamar. Saya cukup yakin, tanpa Wahab Hasbullah, NU kemungkinan besar akan tetap di Masyumi. Karena keberanian NU itu terutama datang dari Wahab Hasbullah, dia yang memegang peranan kunci dan sangat krusial.
CRCS: Dalam konstelasi politik NU yang melibatkan Kyai-kyai seperti Wahab Hasbullah, KH. Achmad Siddiq dan Idham Chalid, apakah mereka dibekali dengan pendidikan politik sebelumnya?
Greg Fealy: Dalam disertasi saya yang diterbitkan oleh LKiS memang ada pembekalan politik. Sebelum NU keluar ada semacam institusi politik NU yang didirikan oleh Wahab Hasbullah dan Idham Chalid untuk meningkatkan wawasan warga NU tentang masalah ideologi politik. Juga ada beberapa majalah yang terbit pada waktu itu sebelum Pemilu tahun 1955 yang ini bertujuan untuk mendidik kaum Nahdliyin tentang isu politik. Kyai-kyai memang ada yang berorientasi kepada politik, tapi ada juga yang berorientasi kepada pesantren. Kasus Achmad Siddiq, ia mengundurkan diri dari DPR-RI, PBNU dan juga pejabat KUA di Jember, karena dia lebih betah di pesantren. Kebanyakan kyai tertarik pada bidang politik, ingin duduk di DPRD, dan DPR-RI. Ada kyai yang belajar dengan cepat kiat dan praktik politik. Ada pula yang sangat naïf dan bermain politik sebagai ulama, daripada sebagai politikus. Meskipun banyak kyai yang tidak punya latar belakang pendidikan tinggi di universitas, tapi mereka merasa mewakili umat Islam dan wajib jika kemudian mereka merasa penting untuk masuk DPR dan parlemen. Dalam hal ini Wahab Hasbullah dan Idham Chalid adalah figur yang suka negosiasi, manuver politik, karena bagi mereka politik adalah jalur yang menjamin terhadap masa depan NU. Terutama menguasai Departemen Agama, mengingat itu penting untuk menguasai politik keagamaan. Karena itulah NU mereka dipinggirkan terus oleh orang-orang Masyumi.
CRCS: Wahab Hasbullah, Idham Chalid, Saifuddin Zuhri yang sangat pro Soekarno, sepakat dengan NASAKOM (Nasionalis Agamis dan Komunis), sepakat dengan demokrasi terpimpinnya Soekarno, sepakat dengan kabinet seratus menteri, bagaimana hubungan mereka dengan KH. Achmad Siddiq, Yusuf Hasyim, KH. Machrus Ali dan K. H Bisri Syamsuri, yang masih saudara sepupu Wahab Hasbullah yang sama sekali tidak suka dengan Soekarno dan PKI?
Greg Fealy: Ya tapi, pada umumnya semua kyai tidak suka demokrasi terpimpin dan NASAKOM. Meskipun Idham Chalid menulis beberapa buku tentang Nasakom, tapi saya kira dia seperti merasa terpaksa pada waktu itu karena situasi politik. Kalau secara nyata tidak mendukung demokrasi terpimpin itu membahayakan NU, dan juga membahayakan karir politik Idham. Menurut mereka, kalau NU tidak meniru retorika Soekarno, posisi NU terancam dan disudutkan. Jika NU disudutkan akan terancam bahwa tidak ada ormas Islam besar lagi yang masuk sistim politik. Hanya dengan NU umat Islam bisa terwakili. Dan misalnya dengan kasus HMI, ketika organisasi ini diancam dilarang oleh PKI, NU yang membela. Dan akhirnya HMI selamat. NU sangat bangga, karena ini adalah sebuah bukti bahwa lebih efektif terlibat dalam sistim politik daripada tidak sama sekali. Karena itu, keterlibatan dalam demokrasi bagi pandangan politik NU adalah mendukung pula keberadaan kaum nasionalis, komunis dan sebagainya. Tapi preferensi mereka adalah ingin membubarkan PKI. Ini berbeda dengan kelompok militan yang bagi NU sangat merusak kehidupan politik Indonesia, kalau PKI terlibat dalam pemerintahan. Yusuf Hasyim, Machrus Ali dan Syubhan menganggap bahwa harus lebih siap dalam menghadapi kekuatan PKI. Dalam hal ini, mereka lebih siap dalam menghadapi PKI, tetapi mereka juga ingin menggunakan lembaga-lembaga demokrasi untuk kepentingan NU. Kalau warga PKI masuk dalam satu lembaga atau institusi maka otomatis orang NU juga akan masuk, biasanya yang masuk orang militan, bukan orang yang akomodatif.
CRCS: Apakah ini justeru ada semacam sikap oportunis dari orang-orang NU, karena pada waktu Orde Lama mendukung Soekarno. Dan ketika Orde Baru mulai berdiri, orang-orang NU seperti Nudhin Lubis dan Achmad Syaichu, anggota MPR justeru mendorong Soeharto untuk jadi presiden?
Greg Fealy: Tuduhan itu memang sering dilemparkan kepada orang NU. Kalau bicara perorangan, saya kira jelas, ada banyak orang yang mengambil banyak kesempatan dari Orde Baru pada waktu itu. Saya kira juga, Achmad Syaichu jelas pada waktu dia sangat anti komunis. Kebencian dia terhadap PKI cukup nyata. Dalam rapat-rapat NU dia cukup vocal. Walaupun dia pendukung berat Soekarno. Seringkali terjadi perdebatan dia dengan anak angkat Kyai Wahab Hasbullah tentang isu PKI. Kalau Nurdin Lubis orangnya juga sangat keras anti PKI, dia melawan aksi sepihak dan sebagainya. Salah satu isu, tentang sikap Soekarno, ada yang dianggap mengkhianati Soekarno seperti Syaichu. Ia pernah mencalonkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, pada waktu ia menjadi wakil ketua DPR-RI. Tapi dia juga mendukung proses menuntut Soekarno setelah G-30S. Dalam hal ini Nurdin Lubis lebih konsisten saya kira. Kalau soal oportunistik, untuk menafikkan atau mengesyahkan tuduhan itu, harus kita lihat posisi mereka sebelum dan sesudah.
CRCS: Bagaimana dengan nasib tokoh politik NU pendukung Soekarno di masa Orde Baru?
Greg: Sebagai misal Idham Chalid, meski sangat jelas sekali dengan hati yang berat melihat kebusukan Bung Karno. Sampai tahun 1967 dia masih mengunjungi Soekarno, saya kira dia sama sekali tidak senang dengan perlakuan Orde Baru terhadap Soekarno. Wahab Hasbullah juga, dia agak bungkam. Kalau orang NU lain ingin menjagokan Soeharto, tetapi mereka masih tetap loyal terhadap Soekarno, sehingga akhirnya mereka terpaksa mendukung Soeharto karena situasi politik. Juga untuk kepentingan NU sendiri, karena terlalu berbahaya menolak Soeharto. Idham memang masuk kabinet AMPERA, Kabinet nya Soeharto. Saya kira juga ada kebenarannya untuk kasus Idham.
CRCS: Lantas apakah memang sebenarnya organisasi keagamaan lainnya juga mengambil sikap oportunistik terhadap kekuasaan?
Greg: Saya kira mengecam NU sebagai oportunisme itu juga tidak benar. Sebagai misal, Muhammadiyah. Organisasi ini pernah member gelar kepada Soekarno. Mereka juga mengambil jarak terhadap Masyumi untuk menyelamatkan diri, pada tahun 1958-1959 ketika mereka melihat posisi Masyumi sangat lemah dan riskan. Kemudian ada beberapa pemimpin Muhammadiyah yang masuk kabinet demokrasi terpimpin, walaupun PP Muhammadiyah sangat melawan kegiatan itu, tapi mereka tidak pernah melawan atau memecat anggota tersebut. Jadi sikap Muhammadiyah tidak jauh dengan sikap NU, bahwa yang paling penting dan menjadi prioritas utama adalah menyelamatkan organisasi dan asset-asetnya. Para figur-figurnya memikirkan jika Muhammadiyah dilarang, maka nasib rumah sakit, panti asuhan dan sekolah-sekolah, universitas akan terancam. Jadi kalau mau dikatakan bahwa NU oportunistik, Muhammadiyah juga oportunistik.
NU di Bawah Orde Baru
CRCS: Apa yang menyebabkan NU selama Orde Baru terpinggirkan, mengapa Soeharto tidak justeru berterima kasih dengan NU, karena dalam proses “mass killing” terhadap PKI, anggota-anggota NU sangat membantu?
Greg: Secara pribadi, Soeharto lebih dekat dengan Muhammadiyah daripada NU. Dia beberapa kali dididik di sekolah Muhammadiyah, meskipun dalam periode yang singkat. Dan dia lebih banyak bergaul dengan tokoh Muhammadiyah daripada NU. Pada awal Orde Baru Soeharto semakin sadar bahwa tokoh NU identik dengan Soekarno, misalnya Wahab Hasbullah, Idham Chalid, Zaifudin Zuhri, dan Masykur. Para tokoh NU yang anti Soekarno, tidak ada satupun yang dekat dengan Soeharto secara pribadi. Tapi justeru tokoh NU, seperti Munasir dan Yusuf Hasyim yang lebih dekat dengan Jenderal Nasution. Juga ada beberapa tokoh NU yang dekat dengan Ali Murtopo. Tapi tokoh-tokoh Muhammadiyah justeru lebih banyak jalur untuk mengakses kekuasaan Orde Baru. Dan juga, Soeharto menganggap bahwa orientasi NU kurang cocok dengan karakter rencana pembangunan Orde Baru. Karena baik dari segi pendidikan dan dari segi sikap ekonomi NU lebih bersikap proteksionis dan nasionalis.
CRCS: Bagaimana kiprah tokoh-tokoh NU selama Orde Baru?
Greg: Elit-elit NU tidak setuju dengan masuknya modal asing, integrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi internasional. Juga tidak banyak warga NU yang berpendidikan tinggi dan tidak ada anggota Mafia Berkeley dari NU. Dan NU masih tetap menjagokan Negara Islam, bahkan ada beberapa orang yang secara frontal melawan Soeharto, termasuk Subhan. Dia semakin kritis tentang kiprah Orde Baru sesudah tahun 1967. Khususnya ketika Soeharto melakukan penundaan terhadap pemilihan umum hingga tahun 1971. Kemudian Subhan protes juga tatkala Soeharto mulai “membonsai” kekuatan-kekuatan di luar Golkar, khususnya pada kasus fusi partai-partai pada tahun 1974. Yusuf Hasyim juga kritis. Jadi mereka tidak melayani wacana Orde Baru. Semakin otoritatif Soeharto, semakin kritis tokoh-tokoh NU. Tokoh intelektual seperti Subhan inilah yang dianggap mengancam Orde Baru. Saya kira itu jelas sangat mengapa NU kemudian termarjinalisasikan dalam pembangunan. Kalau hubungan dengan Mukti Ali jelas punya agenda yang hampir sama dengan Soeharto, baik dari segi perkembangan ekonomi dan khususnya pluralisme agama, dan ia dari Muhammadiyah.
NU pada masa kini
CRCS: Pada saat ini bagaimana peran-peran kyai di tingkatan elit NU, apakah mereka masih mempunyai kekuatan?
Greg: Saya kira dibandingkan dulu, otoritas politik kyai merosot. Tujuh puluh tahun yang lalu, kalau kyai bilang pilih partai A atau partai B. Maka kebanyakan santri akan memilih partai tersebut. Namun dalam 20-30 tahun terakhir, santri mulai lebih kritis. Hal ini juga akibat dari sistem Orde Baru. Banyak pesantren dan kyai yang mendapat dukungan finansial dari Golkar atau PDI. Salah satu konsekuensinya adalah harus mendukung Golkar dan Soeharto. Ini menyebabkan kesadaran dari kyai untuk tidak ada pilihan. Mereka ingin mengamankan kegiatan pendidikan keagamaan dan terus menghidupkan pesantren, maka itulah ongkosnya. Tetapi santrinya tetap masih banyak yang mendukung PPP atau PDI pada waktu itu. Dan sampai saat ini saya kira banyak santri yang “bingung”, karena ada semua partai politik ingin merepresentasi NU secara keseluruhan, ada PKNU, PKB, PPP, PPNUI, ada juga kyai yang aktif dalam Golkar menjadi caleg. Bahkan diantara kyai ada yang saling mencaci-maki dan saling mengecam. Banyak kyai NU hanya berbicara seolah-olah hanya mereka yang benar. Saya kira untuk keutuhan NU, ini perkembangan yang sangat mengkhawatirkan. NU juga belum dewasa dalam bermain politik dalam sistem multipartai dan belum bermain secara canggih.
CRCS: Pernyataan sikap Hasyim Muzadi sebagai ketua PBNU yang menganjurkan warga NU untuk mendukung Yusuf Kalla dalam pilpres 2009 ini apakah cukup berpengaruh?
Greg: Hasyim Muzadi mendukung Yusuf Kalla untuk maju sebagai calon presiden 2009, dengan mengatakan bahwa Yusuf Kalla adalah putera terbaik NU, dan satu-satunya warga NU yang masuk terpilih menjadi calon presiden. Ini telah melanggar Khittah 1926, karena belum ada keputusan resmi dari PBNU untuk memilih Yusuf Kalla. Ia mempergunakan NU untuk kepentingan politik pribadi. Ini merugikan NU, karena hampir mustahil Yusuf Kalla menang. Selain itu juga, keputusan ini tidak sesuai dengan hasil keputusan muktamar tahun 1984 di Situbondo, dan muktamar di Lampung yang semakin memperketat keterlibatan NU dalam politik. Jadi saya kira NU mungkin di ambang kembali ke kiprah politik tahun 1950 an-1960 an. Dan warisan periode Gus Dur dan Ahmad Siddiq hampir hilang. Warisan intelektualitas, warisan keterbukaan, warisan intern partai, warisan kepedulian sosial. Saya kira dari banyak segi, NU mengalami kemunduran, dan itu cukup merisaukan. Hal ini berbeda dengan Muhammadiyah, di organisasi ini memang ada macam-macam jalur politik yang digunakan, ada banyak yang di Golkar, di PPP dan PAN. Namun wacana intern Muhammadiyah tetap toleran terhadap perbedaan visi politik.
CRCS: Lantas bagaimana pak Greg melihat keberadaan Gus Dur sekarang ini, khususnya terhadap pemberlakuan dia terhadap PKB?
Greg: Gus Dur belakangan ini sangat merusak PKB sendiri, dan Gus Dur dapat dikatakan mengkhianati perjuangan dia sendiri pada tahun 1980-1990 an. Pada waktu itu dia bilang hendak membangun generasi NU yang kritis dan dapat mengambil keputusan politik sendiri dan mandiri. Gus Dur menjadi salah satu jago demokrasi untuk Indonesia. Jasa dia terhadap bangsa Indonesia dan NU sangat besar sekali. Ia melindungi minoritas agama, melegalkan agama Kong Hucu, melindungi Ahmadiyah. Namun ketika menjadi pendiri PKB, ia menggunakan partai seolah hanya untuk alatnya sendiri, kalau ia tidak suka, ketua umum langsung dibuang. Gus Dur seolah lupa dengan idealismenya yang dulu. Ia banyak menghabiskan dana partai untuk kasus-kasus perkara di pengadilan dan sebagainya. Juga jika ada keputusan dari daerah untuk mencalonkan seseorang untuk menjadi caleg atau cagub, seringkali diputarbalikkan oleh Gus Dur dan ditolak.
CRCS: Lantas apa peran Gus Dur terhadap PKB belakangan ini?
Greg: Jadi tindakan-tindakan Gus Dur belakangan justru merusak proses demokratisasi internal PKB, dan juga tidak mendewasakan warga NU untuk terlibat dan berandil dalam berbagai tanggung jawab dalam keputusan partai. Dengan sistim sekarang ini PKB sangat tergantung dengan pemimpin pusat, apalagi dengan keputusan men-drop Yenny Wahid sebagai sekjen PKB. Yenny sama sekali tidak punya latar belakang pengalaman dalam organisasi NU. Ini merupakan sebuah kekeliruan Gus Dur. Jadi Kalau Gus Dur tidak lagi aktif lagi dalam PKB, saya kira partai baru bisa mulai berkembang. Untuk bersaing dengan partai seperti PKS, PAN, PDIP, Golkar, harus bisa membangun sistem kaderisasi yang baik. Namun hingga saat ini hampir tidak ada, karena sistim rapat rutin cabang juga jarang terjadi di PKB. Tradisi untuk membangun profesionalitas partai dalam PKB itu sangat kurang. Jika itu tidak diperbaiki oleh Muhaimin iskandar, maka partai ini akan menurun prestasinya ke depan. Jadi ini menjadi tantangan sendiri untuk NU, bagaimana melayani kebutuhan rakyat, dibanding melayani kepentingan elite.
CRCS: Baik pak terima kasih sekali.
(HAK)