• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Artikel
  • Gus Zaim: Lasem Kota Multietnik Tanpa Sumbu Konflik

Gus Zaim: Lasem Kota Multietnik Tanpa Sumbu Konflik

  • Artikel, Berita, Berita Utama
  • 21 June 2016, 10.50
  • Oleh:
  • 0

Subandri Simbolon | CRCS | Artikel

IMG_1290
H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem (Gus Zaim), Pembina Pondok Pesantren Kauman, Lasem.

“Hubungan yang sangat interaktif dan cair antar berbagai etnis dan agama di Lasem sudah terbangun sejak zaman nenek moyang kami”, demikian ungkap H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem Pembina Pondok Pesantren Kauman, dalam menerima kunjungan Field Study CRCS UGM Sabtu, 7 Mei 2016. Pandangan Gus Zaim ini menggaris bawahi bahwa kultur koeksistensi tidak bisa dibangun secara instan, tetapi membutuhkan basis kultural yang dialami sebuah masyarakat dalam kurun waktu yang lama.
Gus Zaim menyampaikan ‘petuah’ yang berharga ini kepada rombongan mahasiswa CRCS saat melakukan studi lapangan di Lasem. CRCS memilih Lasem untuk belajar bagaimana satu masyarakat dari berbagai ragam agama dan etnis dapat hidup harmonis. Lasem adalah kota pesisir pantai utara Jawa dengan kultur Islam tradisional yang sangat kuat. Kultur ini seakan menyatu dengan keberadaan warga Tionghoa non-Muslim yang sangat menonjol dalam tata ruang dan kebudayaan Lasem.  Menurut Munawar Azis, alumni CRCS yang meneliti Lasem dalam tesisnya, hubungan antar etnis dan antar agama sudah dimulai sejak zaman Majapahit. Kota yang dijuluki “Kota Tiongkok Kecil” ini menjadikan masyarakat Tionghoa, Arab dan Jawa dapat hidup berdampingan. Kehadiran Ponpes Kauman di tengah bangunan-bangunan lama masyarakat Tionghoa menjadi tanda keharmonisan masyarakat di kota kecil ini.
Masyaraat Lasem relatif beruntung karena mewarisi kultur toleransi dari nenek moyang mereka. Akar historis kultur damai ini, menurut Gus Zaim, “kalau kita runut ke atas, punjernya Lasem itu ada pada abad ke-8 hingga tingkat ke- 9.” Sejak dulu, Lasem telah menjadi daerah pertemuan antara berbagai etnis antara Portugis, Belanda, China, Arab dan Jawa. Umumnya mereka adalah pedagang dan kebanyakan yang datang adalah laki-laki. Sejak itulah terjadi proses asimilasi dengan masyarakat lokal. Perkawinan itulah yang kemudian menghasilkan keturunan yang membaur secara rasial. Proses ini menjadi sumber penting terjadinya akulturasi budaya di Lasem.
Tidak mudah untuk memutuskan sebuah identitas etnik di daerah ini. Orang mengatakan dirinya China, belum tentu adalah China. Demikian juga dengan mereka yang Arab, Belanda atau pun Jawa. Pembentukan karakter multi-identitas etnik ini menghasilkan suatu hubungan yang sangat cair. “Jika ada orang baru datang ke Lasem, mereka akan heran ketika melihat orang saling gojlok-gojlokan setengah mati” kisah Gus Zaim. Kedekatan yang sangat cair itu tidak lagi dipisahkan oleh tembok-tembok perbedaan. Semua identitas dileburkan menjadi satu di Lasem.
Situasi hubungan yang sangat akrab di Lasem menghasilkan suatu masyarakat dimana sumbu-sumbu kekerasan hampir tidak ada. Mengutip pernyataan dari seorang tokoh inteligen nasional, Guz Zaim bercerita bahwa aparat keamanan “pernah mencoba membakar Lasem, tetapi tidak pernah berhasil karena hubungan yang sangat cair seperti ini. Jadi Lasem bukan sumbunya panjang, tapi tanpa sumbu.” Situasi tanpa sumbu inilah yang membedakan Lasem dengan masyarakat multi etnis lainnya sehingga tidak pernah muncul huru-hara antar golongan.  
Pengaruh Orde Baru: Diskontinuitas Kampung ChinaIMG_1262
Pada masa Orde Baru, terjadi tekanan terhadap kelompok etnis China. Isu pribumisasi membuat banyak warga etnik Tionghoa menghilangkan identitasnya. “Nama Lim Sie Yoing harus menggantinya dengan nama Sudono atau Salim, nama King Ho dengan nama Kristianto” jelas Gus Zaim. Tetapi hal yang serupa tidak terjadi pada kelompok etnik lainnya. “Seperti nama Muhammad Zaim contohnya tidak harus mengganti nama menjadi Jaya Haditirto, nama Taufiq tidak harus diganti menjadi Mangkubumi” lanjutnya. Tekanan terhadap orang China ini menjadi sangat jelas ketika melakukan pembandingan itu.
Tekanan ini membuat warga etnik Tionghoa di Lasem akhirnya tidak terlalu ekspresif. Ketakutan-ketakutan itu memaksa mereka untuk sebisa mungkin menghilangkan identitas diri. “Tulisan-tulisan China yang ada di pintu-pintu mereka tutup dengan menggunakan seng, dikempul bahkan ditutup dengan semen dan bahkan dihilangkan dengan menggunakan kapak,” kisah Gus Zaim. Akhirnya, sebagian tulisan-tulisan itu hilang. Padahal, menurut Gus Zaim, tulisan itu sangat istimewa karena memiliki makna tentang kebijaksanaan sangat bagus.
Tekanan atas warga China pada masa Orde Baru menyisakan luka lama. Mereka bahkan harus menjadi penganut agama-agama resmi walau mereka punya cara tersendiri dalam beragama. Bahkan, pada tahun 1967 pernah dikeluarkan Inpres (Instruksi Preside) No.14 tahun 1967 yang isinya melarang mengadakan perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat China. Tekanan dari pemerintah ini membuat kota Lasem mengalami masa diskontiniutas dalam kebudayaan China di Lasem.
Pasca Orde Baru: Trauma Healing ala Gus Zaim
Berujungnya Orde Baru pada 1998, memberikan harapan baru bagi kelompok etnis China di Nusantara.  Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, keluar Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Dengan tegas, Gus Dur menyatakan bahwa masyarakat China adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga memberikan kebebasan beragama dengan mengangkat Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Negara Indonesia.
Akan tetapi, kebebasan itu tidak serta merta membebaskan orang China di Lasem dari ketakutan-ketakutan lamanya. Simbol-simbol China masih ditutupi seperti tulisan di depan pintu. Gus Zaim menjadi salah satu pelopor agar tulisan ini dibuka. Gus Zaim langsung menunjukkan salah satu pintu di depan pesantrennya. Bagi dia, tulisan itu dipenuhi dengan makna yang mendalam. “Semoga panjang umur setinggi gunung dan semoga luas rezekinya sedalam samudera”. Bagi Gus Zaim, tidak ada salahnya kalau itu dipertahankan dan itu sama sekali tidak melawan Aqidah seperti yang dipahami oleh beberapa  orang. “Yang berdoa mereka, saya yang mengamini. Mereka berdoa pada Kong Hu Chu dan Tuhan mereka sendiri, saya amin juga pada Tuhan saya sendiri. Kan boleh seperti doa bersama ala Gus Dur. Boleh-boleh saja,” tegas Gus Zaim.
IMG_1491Melihat situasi traumatik ini, Gus Zaim sering melakukan kunjungan ke rumah-rumah etnis China di sekitar pesantren. Awalnya, masyarakat China merasa gamang dengan kedatangan Beliau. “Saat itu ada terdengar ‘wah, ternyata orang-orang pesantren itu baik-baik ya’”, kisah Gus Zaim. Bagi mereka, pesantren itu identik dengan kekerasan. Kehadiran Gus Zaim merombak paradigma lama itu dalam diri orang China yang mereka kunjungi. Selain kunjungan, para santri juga selalu membantu masyarakat China yang sedang punya hajatan. Demikian juga sebaliknya. Hal ini membuat hubungan yang dulu cair menjadi cair kembali. Menurut Gus Zaim, dia dan bersama teman-teman lainnya hanya mencoba mengembalikan dan melestarikan situasi damai yang dulu telah dilahirkan oleh para leluhur. “Saya bukan yang mempelopori, tidak. Saya hanya melanjutkan atau membuka kembali lembaran-lembaran yang dulu pernah ada dan ditutup. Itu hubungan interaksi di Lasem. Sangat cair” kisahnya.
Penuturan Gus Zaim ditutup dengan sebuah harapan agar toleransi di Lasem dapat dipancarkan ke seluruh Indonesia dan dunia. Gus Zaim menegaskan, “Saya sendiri ingin agar hubungan interaktif dan cair seperti ini bisa menjadi contoh bagi toleransi, hubungan antar etnis, antar suku bangsa, antar agama, tidak hanya di indonesia tetapi di international”

Tags: antar agama antar etnis antar suku bangsa Diskontinuitas Kampung China Gus Dur Gus Zaim karakter multi-identitas Kota Lasem Kota Tiongkok Kecil Lasem Penyembuhan Trauma Pondok Pesantren Kauman Ponpes Kauman pribumisasi Studi lapangan Tionghoa non-Muslim toleransi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju