Hewan sebagai Warga Negara: Refleksi atas Kewargaan Ekologis
Andi Alfian – 24 Maret 2023
Beberapa waktu silam, jagat media sosial dihebohkan oleh satu video aksi Afni Zulkifli, seorang Tenaga Ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Provinsi Riau, yang membela kawanan gajah dari tuntutan warga. Pasalnya, warga merasa terganggu karena para gajah tersebut melintasi area pemukiman mereka. Di video itu, Afni Zulkifli justru tegas mengingatkan warga bahwa bukan kawanan gajahlah yang melintasi kebun para warga, “Tapi desa dan kebun bapak-bapak yang masuk ke rumah gajah!” Selama puluhan tahun, kawanan gajah secara naluriah selalu melewati jalur yang sama, sementara pembangunan kawasan hunian manusia dan perkebunan terus berkembang.
Dari kejadian yang terekam di video itu, saya mengajukan pertanyaan kecil, “Bisakah gajah, atau semua jenis hewan dalam konteks yang lebih luas, juga dianggap sebagai warga negara?” Jika ya, “Dengan paradigma semacam apa? Sejauh mana paradigma itu bisa membantu kita untuk mencapai keadilan antarspesies?” Pencarian jawaban atas pertanyaan tersebut membuka ruang perenungan tentang arti kewargaan di tengah krisis ekologis yang nyata.
Salah satu isu utama yang sering dibicarakan dalam kasus kewargaan ialah tentang bagaimana “kita” membuat keputusan untuk kehidupan bersama yang lebih baik. Namun pertanyaannya, siapakah yang dirujuk pada subjek “kita” dalam diskusi-diskusi tentang kewargaan itu?
Dominasi Barat dalam Paradigma Kewargaan
Dengan mengajukan pertanyaan “siapa”, berarti kita sedang merujuk pada sosok “subjek yang terlibat”. Saya menyadari, pernyataan “hewan sebagai warga negara” menjadi kabur maknanya di kepala kita karena paradigma kewargaan yang dominan sekarang ini mengatribusi warga semata-mata pada manusia.
Karenanya, melalui pertanyaan tersebut, kita juga selangkah lebih dekat pada upaya untuk mendekonstruksi paradigma dominan Barat terhadap paradigma kewargaan yang cenderung berangkat dari tesis pemisahan manusia dari alam. Tesis ini menempatkan manusia berada di atas hewan dan entitas alam lainnya. Hewan tidak pernah dianggap sebagai bagian dari “kita”, sebagai subjek yang juga punya peran signifikan dalam membangun komunitas warga. Hewan, dalam paradigma dominan ini, seringkali hanya dianggap sebagai objek atau sumber daya alih-alih sebagai “subjek politik” yang mesti dilibatkan dalam proyek kewargaan. Cara warga Riau melihat kawanan gajah dengan status liyan merupakan salah satu contohnya.
Memasukkan hewan sebagai bagian dari warga negara merupakan pengakuan bahwa hewan adalah bagian integral dari komunitas masyarakat. Sebagai spesies yang sama-sama menghuni bumi ini laiknya manusia, hewan juga berperan penting dalam menciptakan keseimbangan alam yang tentu saja sangat memengaruhi pembentukan suatu komunitas warga.
Deane Curtin dalam buku yang dieditori oleh Engin F. Isin dan Bryan S. Turner, Handbook of Citizenship Studies (2003), menjelaskan dengan baik terkait centang perenang diskusi kewargaan yang seringkali hanya mengakomodasi manusia sebagai subjek. Menurut Curtin, paradigma kewargaan yang berakar pada kebudayaan Barat abad ke-17 ini memandang manusia sebagai satu-satunya makhluk rasional. Dengan kerasionalannya, manusia bisa melakukan pemerintahan dan pengaturan terhadap komunitas spesiesnya sendiri dan yang lain. Dalam konteks demikian, manusia adalah satu-satunya subjek yang diakomodasi hak politik dan hukumnya.
Pada akhirnya, potret kewargaan ini—dalam bahasa Curtin—menemukan ekspresi budayanya melalui liberalisme Barat yang menjunjung tinggi individu dan otonomi moral. Dari sinilah konsep kewargaan itu mendasarkan dirinya. Implikasinya, paradigma kewargaan semacam ini melemahkan gagasan dan pengetahuan komunitas di luar Barat, termasuk pengetahuan masyarakat adat. Dalam pengetahuan adat, misalnya, keseluruhan dan kesalingterhubungan antara manusia dan alam merupakan identitas kewargaan sekaligus identitas moral komunal, yang lebih dari sekadar individu berdaulat.
Dengan kata lain, selama kita masih menggunakan paradigma Barat tersebut, kita tidak akan pernah bisa memasukkan hewan sebagai warga negara. Padahal, untuk mengatasi persoalan global seperti krisis lingkungan, sudah seharusnya paradigma semacam ini ditinggalkan. Diskusi kewargaan harus direformulasi agar turut punya kepekaan terhadap lingkungan.
Kewargaan Ekologis dan Hewan sebagai Warga Negara
Salah satu paradigma yang bisa digunakan untuk mengakomodasi spesies hewan, dan bahkan keseluruhan entitas nonmanusia, ke dalam diskusi kewargaan ini adalah paradigma ecological citizenship atau kewargaan ekologis. Konsep kewargaan ekologis ini muncul sebagai kritik atas paradigma kewargaan antroposentris yang tidak akan pernah memadai untuk mengatasi krisis lingkungan. Paradigma kewargaan ekologis ini membuka diri dengan pertama-tama mengakui bahwa subjek kewargaan tidak hanya tentang manusia, tetapi juga seluruh entitas yang membentuk komunitas.
Andrew Dobson dalam Citizenship and the Environment (2004) menggambarkan paradigma kewargaan ekologis sebagai sebuah paradigma kewargaan yang mensyaratkan pergeseran dari nilai-nilai antroposentris menuju pada pengakuan nilai-nilai intrinsik yang terdapat pada setiap makhluk di dalam ekosistem. Paradigma kewargaan ekologis memungkinkan subjek nonmanusia diakomodasi dalam diskusi kewargaan sebagai subjek aktif dengan nilai intrinsiknya sendiri dan bukan sekadar sebagai sumber daya. Tidak berhenti di situ, paradigma ini menekankan bahwa tiap individu perlu memiliki tanggung jawab ekologis dan terlibat aktif dalam aksi-aksi yang mendukung kelestarian alam sebagai bentuk komitmen.
Kelebihan utama paradigma kewargaan ekologis terletak pada kerendahhatiannya untuk mengakui bahwa masalah lingkungan, sekecil apa pun, merupakan masalah global yang membutuhkan tindakan kolektif warga di seluruh dunia. Lebih lanjut, dengan paradigma ini juga, advokasi kebijakan yang mempromosikan kesejahteraan dan perlindungan terhadap hewan dapat dilakukan, seperti melarang pembunuhan hewan secara semena-mena, mendukung praktik peternakan yang etis, sekaligus terlibat dalam tindakan kolektif untuk mengurangi konsumsi daging berlebihan, serta upaya konservasi satwa liar. Singkatnya, kewargaan ekologis mengakui interdependensi semua makhluk dan menekankan pentingnya memperlakukan hewan dan entitas nonmanusia lain dengan etis serta hormat.
Konsep Kewargaan Ekologis di Masyarakat Adat
Konsep kewargaan ekologis ini mendapatkan relevansinya terutama dalam konteks kewargaan masyarakat adat. Sue Donaldson dalam esainya yang terbit di Minding Nature, “Animals and Citizenship” (2020), menyatakan,
“Many indigenous peoples have long recognized animals as belonging to the world of politics and have strived to establish right relations with animals—at the individual level, and also at the collective level through treaty relationships” (Donaldson, 2020).
Donaldson juga memberi beberapa contoh praktik rekognisi hewan sebagai warga negara, misalnya pada masyarakat adat Anishinaabeg di Amerika Serikat dan Kanada—tempat Donaldson pernah tinggal. Komunitas adat ini percaya bahwa eksistensi mereka sangat berkaitan erat dengan “negara ikan”, “negara rusa” atau karibu—rusa kutub, dan banyak hewan lainnya. Dengan kata lain, masyarakat adat Anishinaabeg percaya bahwa hewan-hewan itu punya negara dan wilayah mereka sendiri sehingga mesti memperlakukannya dengan etis dan bertanggung jawab. Donaldson menggambarkan kewargaan ekologis di masyarakat adat itu dengan, “humans and animals share in the ‘one dish, Gdoo-naaganinaa.’” Hal serupa juga diungkapkan oleh Leanne Simpson dalam “Looking after Gdoo-naaganinaa: Precolonial Nishnaabeg Diplomatic and Treaty Relationships” (2008).
Konsep kewargaan ekologis semacam itu juga bisa ditemukan di banyak komunitas adat Nusantara. Di Sulawesi Selatan, misalnya, masyarakat adat Bara dan Cindakko—yang menjadi tempat penelitian saya—percaya pada satu kelong atau ‘pesan leluhur’ tentang tau-tau. Dalam bahasa Bugis-Makassar, Tau berarti ‘orang’. Masyarakat adat Bara dan Cindakko percaya bahwa segala entitas dalam semesta ini—hewan, pohon, batu, dan segala hal di sekitar kita—adalah tau-tau atau orang. Pengetahuan adat semacam ini, pada akhirnya, mengajari kita tentang bagaimana menjadi manusia—sebagai bagian dari alam—dan bagaimana paradigma kewargaan sebaiknya dirumuskan. Pengetahuan semacam ini dapat menjadi alternatif dalam menghadapi ancaman nyata dari krisis lingkungan.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip satu kalimat Daeng Joha, tautoa dari masyarakat adat Bara, yang dia sampaikan suatu pagi sembari menyeruput kopi Cindakko,
“Antu pokok-pokokka singkamma tongji tau wa, massing nia tau-taunna, antu pokok-pokokka tallasa tonji singkamma tongi tallasana tauwa.”
“Pohon itu sejatinya sama seperti manusia, mereka juga memiliki tau-taunna (jiwa-suara). Setiap pohon itu juga hidup seperti halnya manusia yang hidup.”
_______________________
Andi Alfian adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Andi lainnya di sini.
Sangat menarik