Islamisasi di Minangkabau: Perdagangan, Pertanian, dan Padri
Ronald Adam – 14 Desember 2020
Masuk dan berkembanganya Islam di Melayu-Indonesia kerap menjadi topik hangat dalam studi sejarah, sosiologi, antropologi, studi Islam, serta studi agama dan lintas budaya. Banyak teori berdebat untuk menjelaskannya. Ihwal asal-usul kedatangan Islam di Melayu-Indonesia, misalnya, ada teori India, Arab, China, dan Persia; dan menyangkut waktu awal kedatangan Islam ada setidaknya dua kubu, yakni antara yang mengatakan Islam sudah masuk pada abad 7 dan Islam baru masuk pada abad 14.
Perdebatan juga berlangsung menyangkut proses perkembangan Islam itu sendiri. Salah satu yang terlibat dalam perdebatan ini adalah teori persaingan (race theory), yang diprakarsai antara lain oleh B. J. O. Schrieke dalam karyanya Indonesian Sociological Studies Part One (1957) dan Part Two (1960). Schrieke mengatakan, terlepas dari perdebatan tentang kedatangan Islam apakah pada abad 7 atau 14, pesatnya persebaran Islam di kepulaan Melayu-Indonesia baru terjadi pada abad 16 sampai 19. Hal itu disebabkan karena adanya persaingan sebelumnya antara dunia Islam dengan Kekristenan Eropa pada masa perang salib yang dampaknya berlanjut hingga ke Melayu-Indonesia.
Belum sampai satu dasawarsa, teori persaingan itu ditanggapi oleh Syed Naquib Al-Attas dalam Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago (1969) yang mengatakan bahwa tidak ada persaingan antara Islam dan Kekristenan sebab Islam sudah datang dan mulai menyebar—meskipun penyebarannya lambat—bukan pada abad ke-14, melainkan pada abad ke-7. Merespons tanggapan ini, Steenbrink dan Aritonang dalam A History of Christianity in Indonesia (2008) memberikan sedikit komentar bahwa tampaknya Al-Attas keliru memahami teori persaingan Shcrieke. Jantung argumen teori persaingan itu ada pada persoalan mengapa abad 16-19 persebaran Islam menjadi pesat dan tidak terjadi pada awal kedatangan Islam pada abad 7 atau 14.
Teori persaingan Shcrieke itu juga diperkuat oleh pendapat Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. II: Expansion and Crisis (1993). Argumen Reid berdiri di atas asumsi dasar teori persaingan dalam menjelaskan persebaran Islam atau proses Islamisasi. Tetapi penekanan pada perang salib tidak begitu terlihat dalam ulasan Reid. Yang paling menonjol sebetulnya polarisasi dunia di bawah dua imperium yaitu Islam dan Kekristenan yang sudah dan semakin terpolarisasi, terlepas apakah itu dampak perang salib atau bukan.
Mundur sedikit ke belakang, karya Christene Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847 (1983), menjadi penting untuk melihat ulang faktor-faktor lain mengapa persebaran Islam di Melayu-Indonesia menjadi pesat. Karya Dobbin merujuk satu kasus pada proses islamisasi di Minangkabau. Menurutnya, periode abad 18-19 di Minangkabau merupakan periode kebangkitan Islam (kebangkitan Islam yang dimaksud adalah puncak Islamisasi di Minangkabau).
Dalam kaitannya dengan perdebatan di atas, ada empat argumen mengapa membaca karya Dobbin yang muncul sebelum karya Anthony Reid ini menjadi penting. Pertama, tentunya kesepakatan pada argumen dasar teori persaingan tentang pesatnya Islamisasi pada abad 16-19. Kurang memuaskan apabila proses ini hanya dijelaskan melalui teori kedatangan Islam di Melayu-Indonesia. Kedua, ketidaksepakatannya pada teori persaingan yang menggeneralisasi proses Islamisasi di Melayu-Indonesia secara umum sebagai hasil dari persaingan antara Islam dan Kekristenan. Sebab, bila dilihat secara lebih detail kasus per kasus, Islamisasi di Melayu-Indonesia tampak beragam dan memiliki keunikannya masing-masing. Ketiga, faktor-faktor sosiologis yang spesifik dan kasuistik itu malah memainkan peran yang vital dan tidak seperti apa yang sebelumnya digeneralisasi oleh teori persaingan sebagai proses yang umum dan seolah terjadi sama persis di setiap tempat. Keempat, kajian sosiologis tentang perkembangan Islam bisa membantu kita memahami kejadian-kejadian penting dalam sejarah Minangkabau terkait perang Padri ataupun nasionalisme Minangkabau.
Esai ini hendak mengulas buku Christine Dobbin itu guna meninjau kasus-kasus apa saja yang terjadi dalam Islamisasi di Minangkabau yang prosesnya tidak ditemukan dalam Islamisasi di tempat lain.
Perdagangan dan Islamisasi di Pesisir
Persebaran Islam di Minangkabau terjadi dalam dua gelombang, yang dikategorikan bukan saja berdasarkan masa melainkan juga secara geografis dan sosiologis. Gelombang pertama terjadi di kawasan pesisir. Kedua di pedalaman-pedesaan.
Di pesisir, sebagaimana penjelasan masuknya Islam di Melayu-Indonesia, Islam berkembang melalui perdagangan di pesisir barat Sumatera yang mulai tumbuh sejak abad 14. Secara sosiologis, interaksi orang pesisir dengan dunia luar sudah lebih intens dibandingkan dengan pedalaman. Selain karena interaksi para pedagang luar itu sendiri dengan orang lokal, pasar-pasar sebagai pusat interaksi orang lokal itu sendiri juga mulai tumbuh. Orang orang di pelabuhan Tiku—yang lebih dikenal dengan Nagari Tiku di pesisir barat Sumatera sebagai tempat pertemuan pertama orang-orang Muslim Gujarat dan Minangkabau—sudah berhasil diislamisasi pada dekade kedua abad ke-16. Dobbin menunjukan bahwa semua petinggi beserta jajaran bawah pelabuhan pada saat itu sudah beragama Islam. Tiku kemudian disusul oleh Pariaman dan Ulaka.
Corak Islam yang menyebar dari para pedagang ini juga lebih sering menekankan faktor identitas. Penyebaran Islam di sini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan perdagangan, yang akan lebih mulus jika baik pedagang dari luar maupun orang-orang lokal memeluk agama yang sama. Dengan beragama Islam, orang lokal lebih leluasa berdagang dengan orang Gujarat maupun orang India, yang pada saat itu sudah membanjiri pesisir barat pada era kejayaan komoditas rempah.
Selain rempah, ada juga jalur perdagangan emas. Jalur perdagangan ini menghubungkan dunia Islam dengan kerajaan-kerajaan lokal Minangkabau yang memonopoli pertambangan emas pada saat itu. Jalur perdagangan inilah yang kemudian membuat keluarga kerajaan Buo-Sumpur Kudus di Sumatera Barat mengenal Islam dan kemudian memeluknya. Proses ini dipermudah oleh jalur perdagangan emas yang menghubungkan keluarga kerajaan di Buo-Sumpur dengan Kesultanan Malaka yang sudah lebih dulu memeluk Islam sejak abad 15.
Faktor lain yang ikut terlibat ialah peran para juru tulis yang beragama Islam. Para raja yang melakukan hubungan perdagangan biasanya harus melakukan transaksi yang dibuatkan oleh para juru tulis ini. Para juru tulis menunjukan bahwa gengsi dan kekuasaan seorang raja akan meningkat di mata kerajaan-kerajaan Muslim lainnya apabila menerima Islam sebagai agama kerajaan. Hal sama berlaku juga ketika mengirim surat pada penguasa lainnya dengan menunjukan identitas Islam sebagai agama kerajaan. Pentingnya faktor ini didasari antara lain oleh fakta bahwa Islam merupakan imperium besar di dunia saat itu yang menguasai jalur-jalur perdagangan.
Jalur perdagangan emas wilayah Sumpur Kudus ini—yang kemudian mendapat julukan “Mekkah Darek”—menjadi penting mengingat hampir semua masyarakat yang terlibat dalam perdagangan emas, termasuk juga para penambang dan penduduk wilayah ini, memeluk Islam pada pertengahan abad 17. Pusat emas lainnya adalah daerah Talawi dan Padang Ganting yang penduduknya juga turut menjadi Muslim, termasuk yang tinggal di kawasan pusat pusat Hindu-Buddha seperti di Suruaso dan Pagarruyung.
Namun demikian, meski pada akhirnya kerajaan Minangkabau dan orang orang pesisir lokal memeluk Islam, hampir tidak ada kehidupan sosial keagamaan dari keluarga kerajaan yang berubah. Mereka sama sekali belum meninggalkan keyakinan dan praktik mereka yang cenderung mistik dan magis. Hal ini yang menjadi argumen Dobbin bahwa Islam yang menyebar pada gelombang pesisir ini merupakan Islam yang lebih menekankan identitas. Tidak ada perubahan kehidupan beragama yang radikal dan penduduk Minangkabau masih menjalankan tradisi keagamaan seperti saat Islam belum datang. Sejumlah sarjana lain kemudian melihat ini sebagai fenomena sinkretik, yang masih bertahan bahkan sampai abad 19, dan berpandangan bahwa sinkretisme dan sikap akomodatif inilah yang membuat Islam lebih menyebar luas dibanding Kristen.
Surau dan Islamisasi di Pedalaman
Perkembangan Islam di pedalaman-pedesaan Minangkabau cenderung terlambat dibandingkan dengan perkembangan di pesisir. Tercatat bahwa sampai akhir abad 18 dan awal abad 19 masih banyak desa di dataran tinggi yang memiliki kontak dengan masyarakat Muslim. Islam mungkin sudah ada, tetapi penyebarannya tidak sesignifikan seperti di pesisir. Salah satu penyebabnya ialah perbedaan geografis dan sosiologis.
Desa-desa di dataran tinggi Minangkabau tidak berkaitan langsung dengan jalur perdagangan baik rempah maupun emas. Mayoritas penduduk pedalaman ini adalah petani subsisten. Meski kepercayaan petani pedalaman ini mirip dengan kepercayaan masyarakat pesisir yang cenderung mistik dan magis, saat itu belum ada urgensi bagi petani untuk memeluk Islam. Tidak ada kepentingan dagang maupun kepentingan kekuasaan untuk bernegosiasi dengan kerajaan-kerajaan Islam di luar daerah. Selain itu, model kepercayaan yang mistik ini cenderung lebih sesuai dengan keseharian bercocok tanam mereka. Otoritas keagamaan masyarakatnya juga didominasi oleh penghulu (pemimpin adat).
Dalam kondisi ini Islam berkembang dalam dua model. Pertama melalui jalur keluarga atau keturunan dari orang-orang yang sebelumnya sudah beragama Islam dari pengaruh Islamisasi di pesisir. Kedua melalui hubungan Islam dengan masyarakat desa secara keseluruhan. Yang pertama cenderung lambat. Sementara yang kedua cenderung cepat tetapi mengandaikan proses Islamisasi yang berbeda dari Islam pesisir. Integrasi masyarakat desa dengan Islam justru melalui gerakan tarekat sufi.
Ada dua hal yang mendasari mengapa gerakan tarekat bisa diterima petani dibandingkan dengan karakter Islam pesisir. Pertama, karakter tarekat yang menekankan pada mistisisme cenderung bisa diterima oleh petani. Penekanan mistisisme ini dianggap tidak jauh berbeda dengan kepercayaan petani pra-Islam yang juga memiliki sisi mistis. Kedua, adanya satu aspek penting dalam kehidupan pedesaan masyarakat Minangkabau, yaitu surau, tempat yang ditinggali oleh para pemuda setelah dianggap dewasa. Poin kedua ini yang memungkinkan Islam merasuk ke dalam tradisi pedesaan.
Surau menjadi satu bagian sejarah kehidupan laki-laki di Minangkabau. Secara kultural, konsep rumah (gadang) merupakan tempat tinggal kaum perempuan dan anak-anak. Status laki-laki di dalam rumah tidak lebih dari tamu di rumah perempuan yang sudah dinikahi. Setelah dianggap dewasa, yang setelah Islam datang dipadankan dengan konsep akil-balig, laki laki pergi ke surau untuk menimba ilmu.
Secara genealogis, Dobbin menghubungkan keberadaan surau dengan tradisi biara Buddha yang dibangun Adityawarman pada tahun 1356 di dekat bukit Gombak. Biara ini menjadi tempat kumpul para pemuda untuk mencari pengetahuan suci. Pada gilirannya, surau juga menjadi pusat kehidupan laki-laki yang pada saat itu kebanyakan petani, mulai dari pusat pendidikan, keagamaan, ekonomi subsisten, bela diri, dan lain-lain.
Salah satu tarekat yang mendominasi surau di pedalaman Minangkabau adalah Syattariyah. Tarekat Syattariyah berkembang di India, dibawa oleh Abdurrauf ke Singkil pada abad 17, dan kemudian beranjak ke Ulakan melalui rute-rute dagang oleh Burhanuddin (Tuanku Ulakan). (Uraian lebih detail tentang akar genealogis tarekat ini bisa dibaca dalam karya Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia [1994]).
Burhanuddin berhasil mendirikan surau di Ulakan yang pada gilirannya menarik banyak anak muda untuk belajar Islam. Bersamaan dengan sistem transmisi pengetahuan saat itu, tarekt berhasil masuk ke sendi kehidupan Minangkabau pada mulanya tanpa konflik. Menurut Dobbin, Islamisasi pada fase ini belum begitu masif. Meskipun banyak murid Burhanuddin yang menyebar ke berbagai pelosok, masih banyak surau yang masih mempraktikkan kepercayaan lama.
Perekonomian Domestik dan Gerakan Padri
Pada akhir abad 18, perekonomian Minangkabau berubah karena pertumbuhan komoditas akasia dan kopi. Seturut perkembangan ini, problem perdagangan dan sosial juga muncul. Belum ada aturan mengenai perdagangan yang cukup memadai dari adat, ditambah dengan maraknya perampokan hasil panen, yang kemudian menyebabkan konflik antar-desa. Kemunculan problem ini terbilang cukup baru di pedalaman. Mekanisme adat melalui perundingan dan mufakat antar-desa kurang berhasil menangani problem ini karena pada kenyataannya sering terjadi proses penyuapan untuk menunda keputusan sehingga merugikan pedagang.
Pada titik ketika adat gagap dalam merespons problem inilah peran surau yang sudah mengalami Islamisasi menemukan signifikansinya. Pertama karena surau sebagai pusat perdagangan dan pendidikan bisa menjadi media penanaman nilai-nilai sosial. Kedua, Islam sudah siap menghadapi fenomena perdagangan yang terbilang baru melalui hukum-hukum syariat perdagangan. Di fase ini, Islam mulai masuk ke banyak surau di pedalaman dan fikih (khususnya mengenai perdagangan) menjadi pelajaran yang dominan di surau pada akhir abad 18.
Pada awal abad 19, masih dalam kondisi melimpahnya sumber ekonomi domestik yang terkonsentrasi di surau-surau, orang-orang Islam mulai menjadi kaya dan sanggup untuk berangkat haji. Di saat yang bersamaan, kota suci Mekkah sedang dihadapkan oleh satu gerakan puritan yang diprakarsai oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (karena itu kadang disebut ‘Wahabi’); yang menginginkan agar umat Islam kembali pada ajaran para pendahulu (salaf—dan karena itu kadang disebut ‘Salafi’); dan menentang tradisi-tradisi keislaman seperti tawasul dan ziarah kubur yang mereka anggap bidah atau syirik. Gerakan ini menginspirasi orang-orang Minangkabau yang berangkat haji untuk turut melakukan ‘reformasi’ terhadap tradisi keislaman di kampung halaman mereka. Mereka pada gilirannya dikenal dengan Padri (diambil dari kata Pedir, atau Pidie, suatu pelabuhan di Aceh tempat orang-orang Minangkabau tersebut berlayar ke Arab).
Salah satu orang Minangkabau yang terinspirasi dari gerakan ini adalah Haji Miskin. Sekembalinya dari kota suci, ia tidak hanya membawa gelar haji, tetapi juga pemikiran puritan yang pada saat itu mulai menyebar luas di Arab. Ia pulang dan memilih tinggal di desa pegunungan Pandai Sekat.
Kepentingan ideologis Haji Miskin ini bertemu dengan kepentingan salah seorang petinggi adat di desa Pandai Sekat, yaitu Datuk Batuah, yang kebetulan ingin mereformasi masyarakat agar perdagangan akasia dan kopi yang sedang tumbuh di desa itu menjadi tertib. Kerja sama ini memudahkan proses Islamisasi oleh Haji Miskin. Tentunya dalam catatan Dobbin, kerja sama antara adat dengan orang Padri ini jarang ditonjolkan. Yang sering ditonjolkan adalah narasi-narasi bahwa orang Padri menaklukan sistem adat melalui penyerangan. Padahal, fenomena kerja sama ini cukup sering terjadi antara tetua adat dengan gerakan Padri di beberapa desa untuk menertibkan perdagangan dan menyelesaikan konflik.
Masih menurut catatan Dobbin, kekerasan baru dilancarkan oleh gerakan Padri awalnya pada desa-desa yang angka perampokan dan kekacauan sosialnya terbilang tinggi, seperti di daerah Kota Lawas dan daerah pegunungan Bukit Kamang. Gerakan ini mendapatkan legitimasi untuk melancarkan kekerasan dari pemimpin gerakan Padri lainnya yaitu Tuanku Mesiangan dan Tuanku Nan Renceh sebagai tokoh desa. Tetapi sebelum terjadinya kekerasan, proses Islamisasi diawali melalui khotbah-khotbah dan ajakan-ajakan untuk menganut Islam.
Baru setelah gerakan Padri dirasa cukup kuat dari segi pasukan, mereka mulai menyerang daerah-daerah tersebut dengan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan gerakan puritan di Arab. Serangan yang awalnya dialamatkan untuk para perampok, pada gilirannya menjalar ke desa-desa lain yang masih didominasi oleh adat. Beberapa konflik antara adat dan agama akhirnya pecah. Proses penaklukan adat pun disertai dengan proses Islamisasi. Bagi gerakan Padri, ini merupakan satu bentuk “jihad”.
Gerakan Padri banyak melakukan reformasi desa, meskipun struktur dasar pedesaan dan kesukuan di Minangkabau yang sudah sangat lama mengakar belum sanggup dirobohkannya. Peran penghulu adat di pedesaan juga belum tergantikan, tetapi setiap desa yang ditaklukan oleh gerakan Padri kemudian mengangkat seorang kadi (orang yang memiliki otoritas untuk persoalan keislaman, termasuk perdagangan). Seturut perluasan pengaruh Padri inilah proses Islamisasi di Minangkabau cenderung pesat.
Kembali ke perdebatan di awal esai ini, ulasan Dobbin ini penting untuk menekankan bahwa proses Islamisasi di berbagai kawasan tidak bisa digeneralisasi sebagaimana yang dijelaskan teori persaingan. Meskipun ada konflik antara Islam dan Kristen di beberapa daerah yang terembesi pengaruh perang salib, proses islamisasi di Minangkabau memiliki karakter khas dan kerumitannya tersendiri. Ini pun belum membahas masa ketika kaum kolonial kemudian menggunakan adat untuk menghadang pengaruh Padri. Hal terakhir ini memerlukan ulasan dalam esai tersendiri.
________________________
Ronald Adam adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Adam lainnya di sini.