Jejak Kolonialisme Eropa dalam Dikotomi Agama
Zulfikar RH Pohan – 04 Juli 2021
Sebagian besar studi sosial melihat sejarah perkembangan masyarakat sebagai gerak maju dari kebiadaban menuju peradaban, dari masyarakat terbelakang menuju masyarakat modern. Paradigma ini tak ayal menimbulkan bias-bias sosial, politik, dan ekonomi yang tak jarang berujung diskriminasi. Sebagai sebuah subjek kajian, agama tak luput dari hal tersebut.
Dalam studi agama, kecenderungan evolusionis ini kerap disimpulkan dengan kepunahan animisme dan paganisme yang akan digantikan oleh monoteisme. Pandangan ini didukung oleh sarjana-sarjana studi agama abad ke-19 seperti E.B Tylor dan J.G Frazer. Para akademisi tersebut umumnya berangkat dari pengamatan terhadap penanda-penanda penting peradaban Eropa, seperti peranti teknologi, pemerintahan terpusat, dan tulisan. Akan tetapi, hal-hal tersebut tidak selalu—dan tentu saja tidak harus—dimiliki oleh semua masyarakat di belahan dunia. Celakanya, bias Eropa ini menjadi standar definisi kemajuan suatu peradaban atau agama.
Bias Eropa: Ekspansi Komoditas dan Penyebaran Agama
Erich Wolf dalam bukunya Europe and The People Without History (1982) mengkritik akumulasi hegemoni Eropa atas peradaban, kebudayaan, dan agama non-Eropa. Wolf melihat sejarah perkembangan peradaban yang bias Eropa seringkali berakar pada teori evolusi dalam ilmu sosial. Padahal, penyebaran kebudayaan dan agama bukanlah merupakan suatu proses evolusi alami, melainkan hasil dominasi teknologi, politik perdagangan, dan penaklukan. Menurut Wolf, sejarah peradaban manusia semestinya bertolak dari penjelasan pada corak produksi (mode of production), bukan dengan menjejalkan teori evolusi pada setiap perubahan sosial.
Wolf melihat bahwa setiap masyarakat non-Eropa sampai ke pelosok sekali pun memiliki konsep mengenai properti dan pengembangan produksi pangan masyarakat. Pemahaman tersebut sangat terkait dengan struktur agama dan sosial masyarakat non-Eropa. Alih-alih dengan rendah hati memahami konsep properti dan pengembangan produksi pangan pada masyarakat non-Eropa, para sarjana Eropa lebih memilih untuk menyusun oposisi biner primitif-modern, maju-terbelakang, Eropa dan non-Eropa. Pemahaman tradisional mengenai properti dan produksi pangan masyarakat non-Eropa ini kemudian digantikan oleh sistem ekonomi kapitalis, sistem pemerintahan terpusat, mesin, baja, senjata, dan berbagai bentuk teknologi pertanian buatan Eropa.
Pergeseran corak produksi tersebut seiring dengan perubahan agama masyarakat tradisional non-Eropa. James C. Scott dalam Decoding Subaltern Politics: Ideology, Disguise, and Resistance in Agrarian Politics (2013) mengemukakan bahwa penggunaan kata “pagan” berasal dari paganus yang artinya ‘masyarakat perdesaan’, masyarakat yang memiliki tradisi pertanian tradisional. “Pagan” kini menjadi kata peyorasi untuk menjelaskan sebuah kultus penyembahan berhala. Peyorasi ini bermula dari Gereja Katolik Eropa yang menyematkan kata “pagan” pada masyarakat petani non-Eropa yang menolak ajaran Kristen dari misionaris Eropa. Masyarakat petani desa tersebut enggan terhegemoni oleh sistem produksi yang dibawa oleh Eropa. Misionarisme Eropa saat itu memang identik dengan imperialisme. Beberapa kajian mengenai misionaris Kristen Evangelis di Afrika menunjukkan penyebaran agama sebagai perpanjangan tangan dari praktik imperialisme. Walter Rodney dalam How Europe Underdevoloped Africa (1972) menjabarkan bagaimana perdagangan di Afrika, beserta eksploitasi sumber dayanya, berbanding lurus dengan kristenisasi. Agama dibentuk bukan hanya sebagai kepatuhan pada Tuhan, melainkan juga kepatuhan orang-orang Afrika sebagai pekerja-pekerja bagi kebutuhan produksi Eropa. Pola yang sama juga terjadi pada masyarakat pedalaman Amerika, India, dan Batak.
Di Batak misalnya. Melalui gerakan misionaris Jerman di akhir abad ke-19, yang bekerja sama dengan kolonial Belanda, agama Kristen tersebar dengan masif di Tanah Batak. Penyebaran agama Kristen tidak hanya meminggirkan agama dan birokrasi lokal, tetapi juga mengubah drastis corak produksi masyarakatnya. Setelah pengaruh Kristen di Batak semakin menguat pada awal abad ke-20, para penganut agama Kristen Batak yang awalnya merupakan petani dan peramu (peasant and gatherer) dijadikan buruh-buruh dalam industri tekstil. Mereka diajarkan ilmu hitung dan tulis-menulis agar dapat dipekerjakan dalam proses produksi kolonial.
Secara global, kolonisasi melalui penyebaran agama memberikan keuntungan besar bagi kebangkitan industri Eropa. Seperti yang tampak pada fenomena The Columbian Exchange, proses pertukaran sumber daya yang masif antara Dunia Lama (Afrika, Eropa, dan Asia) dan Dunia Baru (Amerika). Alfred W. Crosby dalam Ecological Imperialism: The Biological Expansion of Europe, 900-1900 (2004) menggarisbawahi The Columbian Exchange sebagai ekspansi besar-besaran Eropa dalam menyebarkan tetumbuhan, binatang ternak, budak, dan sistem perkebunan lainnya untuk ditanam dan diproduksi di Amerika serta wilayah Dunia Lama lainnya pada abad ke-15 sampai ke-16. Sistem pertanian lokal yang awalnya terbatas diperas untuk produksi besar-besaran bagi perdagangan global. Daerah-daerah yang dikristenisasi adalah pemasok utama produksi pertanian dan perkebunan bagi imperialisme Eropa.
Berkaca dari hal tersebut, ekspansi komoditas dan penyebaran agama adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ekspansi komoditas, yang meliputi teknologi pangan dan perdagangan, ikut memengaruhi orientasi masyarakat pada agama. Meskipun agama merupakan kepercayaan kepada yang sakral, pada praktiknya penyebaran agama selalu lahir dari fakta-fakta sosial dalam sejarah. Tersebarnya penganut Islam di Semenanjung Melayu dan daerah pesisir Sumatra bukan hanya dilandasi oleh efisiensi perdagangan, melainkan juga sebagai perlawanan kelompok muslim terhadap corak produksi Eropa. Pada abad ke-16, Portugislah yang pertama kali memiliki inisiatif untuk memuluskan kolonialisasi perdagangan di Nusantara melalui penyebaran agama. Meilink-Roelofsz dalam Asian Trade and European Influence in The Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630 (1962) menyebut persaingan antara Portugis dan pedagang muslim ini sebagai “perang salib” karena banyak sekali peperangan atas nama agama yang mewarnai persaingan tersebut.
Dikotomi Agama: dari Perang hingga Pandemi
Dari perseteruan dagang yang berkelindan dengan ekspansi agama antara berbagai kelompok tersebut, hal yang paling mencolok adalah penggunaan teknologi perang dan alat-alat produksi. Dari peperangan itu pula muncul kesan bahwa bangsa yang mampu mengitari samudra, memiliki baja, dan perlengkapan senjata adalah bangsa yang saat ini memiliki persebaran agama yang luas di seluruh dunia. Secara tidak langsung, kolonialisme ini menyebabkan lahirnya dikotomi agama. Secara umum, terdapat dua paradigma dalam mengelompokkan berbagai agama dan kepercayaan di dunia yaitu agama dunia (world religion) dan agama leluhur (indigenous religion). Seperti yang tersirat dalam namanya, agama dunia diisi oleh agama-agama yang banyak disebarkan oleh para penjelajah samudra ke seantero dunia, seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Sementara agama-agama “nonekspansif” yang dianut secara terbatas oleh komunitas tertentu—yang terserak di seluruh dunia—dikelompokkan dalam kategori agama leluhur.
Akan tetapi, imperialisme dan kolonialisme melalui teknologi senjata tersebut belum cukup untuk menjelaskan mengapa agama Kristen dan Katolik yang tersebar masif ke seluruh dunia, bukannya agama-agama orang Inca, Aztec, Sunda Wiwitan, Kejawen, Dayango, Rastafari, dan lain-lain? Berangkat dari perspektif sejarah dan antropologi, penaklukan dengan bedil dan meriam ternyata bukan satu-satunya yang memuluskan jalan kapitalisme dan kolonialisasi pada masyarakat non-Eropa. Yang tak kalah krusial adalah penyebaran pandemi oleh bangsa-bangsa Eropa.
Penggunaan tentara dan perdagangan untuk penaklukan wilayah dan meraih pengaruh memang amat signifikan. Akan tetapi, pandemi juga mengambil peran vital. Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel (1997) memberi ulasan menarik tentang hal ini. Pada abad ke-15, masyarakat Indian asli Amerika yang menghuni tempat-tempat subur di Lembah Mississippi sudah terlebih dahulu di ambang kepunahan bahkan sebelum orang-orang Eropa mendirikan permukiman pertama di sana. Jumlah pembantaian yang dilakukan oleh para conquistador Eropa dalam merebut tanah subur di Amerika tak terlalu masif jika dibandingkan kematian akibat wabah penyakit. Penduduk lokal Amerika telah lebih dahulu mati karena wabah yang ditularkan oleh orang Spanyol ke penduduk pesisir. Nantinya, endemi ini berubah menjadi pandemi yang menjangkit hampir seluruh benua sampai ke pedalaman.
Para pendatang dan bangsa peternak dari Eropa membawa jenis penyakit baru yang berakibat kematian massal pada masyarakat lokal. Masyarakat pemburu dan peramu jarang sekali mengidap kuman-kuman yang menular. Penyakit hewan yang dibawa oleh pendatang dari seberang ini kemudian mudah menjangkiti manusia dan berdampak pada pemusnahan massal. Jared Diamond menyebutkan bahwa kuman-kuman yang berevolusi menjadi penyakit berbahaya bagi manusia ini merupakan hasil dari proses domestifikasi hewan oleh orang Eurasia yang terjadi secara turun-temurun. Selain Benua Amerika, Diamond juga memberikan contoh lain melalui wabah pes, tifus, dan influenza di Afrika yang amat erat kaitannya dengan para pedagang atau penjajah yang menyebarkan agama.
Endemi semacam ini juga pernah tersebar di Nusantara. Pada tahun 1920 terjadi endemi kolera yang mematikan. Orang Batak menyebut peristiwa tersebut sebagai Begu Attuk. Begitupula endemi pes di Jawa yang disebut pagebluk. Dalam catatan sejarah, hubungan orang lokal dengan bangsa-bangsa Eropa erat kaitannya dengan penyakit-penyakit tersebut. Penyebaran Begu Attuk adalah celah bagi penyebaran Kristen di Tanah Batak, begitu pula dengan endemi pagebluk yang juga memengaruhi pembangunan pabrik-pabrik tebu Belanda di Jawa.
Sementara masyarakat lokal menghalau endemi dengan kiat-kiat leluhur dan jampi-jampi, bangsa Eropa mengusirnya dengan alat-alat kedokteran modern. Inilah pintu masuk bagi segelintir orang Eropa untuk menyingkirkan populasi penduduk lokal sekaligus menanamkan kepercayaan pada modernisme sebagai obat—termasuk agamawan Eropa yang merangkap sebagai dokter penyembuh penyakit.
Penjelasan mengenai pandemi pada masa ekspansi Eropa adalah upaya untuk melihat kembali bagaimana eurosentris bertahan dalam sejarah, teknologi, dan peradaban non-Eropa, termasuk dalam hal agama. Di sisi lain, sebagian besar kongsi dagang dikuasai orang Eropa, sedangkan Arab dan Cina mengambil porsi yang lebih kecil. Persaingan ketat di antara sesama bangsa Eropa ini menciptakan inovasi dan teknologi baru untuk menguasai perdagangan melalui penjajahan. Di pihak lain, bangsa Arab dan Cina di Nusantara dalam soal perdagangan acap kali sejalan dan jarang terjadi persaingan. Hal ini menjelaskan mengapa Eropa punya kecenderungan untuk menjajah ketimbang Arab atau Cina.
Pada akhirnya, tersebarnya agama-agama besar dunia dan terkucilnya agama-agama lokal bukanlah perkara agama lokal itu primitif sehingga perlu berevolusi menjadi agama modern atau monoteisme. Masifnya penyebaran agama-agama besar tersebut tak lepas dari ketiga hal, yaitu senjata untuk menjajah, baja untuk kebutuhan industri, dan kuman-kuman untuk disebarkan—yang ketiganya tidak dimiliki, dan tidak harus dimiliki, oleh agama-agama leluhur.
_______________________
Zulfikar Riza Haris Pohan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Zulfikar lainnya di sini.