• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Interview
  • Kebebasan Beragama atau Kepercayaan di Eropa yang Tak Tunggal: Wawancara dengan Lena Larsen

Kebebasan Beragama atau Kepercayaan di Eropa yang Tak Tunggal: Wawancara dengan Lena Larsen

  • Interview, Wawancara
  • 7 September 2022, 11.33
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Kebebasan Beragama atau Kepercayaan di Eropa yang Tak Tunggal: Wawancara dengan Lena Larsen

Maurisa Zinira – 07 September 2022

Intoleransi dan ujaran kebencian terhadap minoritas agama jamak terjadi di seluruh dunia. Di Eropa, permusuhan terhadap agama bahkan menunjukkan peningkatan yang dramatis. Seiring dengan peningkatan gelombang imigran yang datang ke Eropa, stereotipe dan sentimen negatif terhadap kelompok agama dan etnis yang berbeda memicu intoleransi dan diskriminasi. Geert Wilders, misalnya, berkampanye menentang pertumbuhan populasi muslim di Barat. Anggota parlemen Belanda itu menyebut Islam sebagai ancaman bagi perempuan dan peradaban Eropa. Pada saat yang sama, di berbagai wilayah Eropa semakin sering ditemukan individu atau kelompok yang memaksa orang untuk menganut kepercayaan atau praktik keagamaan tertentu. Hal ini menegaskan temuan PEW Research Center pada tahun 2017 yang menyatakan bahwa jumlah negara Eropa yang melaporkan tren ini meningkat dari 4 menjadi 15 negara.

Untuk memahami perkembangan terkini kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Eropa, kami melakukan wawancara dengan Lena Larsen—direktur The Oslo Coalition of Freedom of Religion or Belief, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norwegia—pada 19 Juli 2022 saat kunjungannya ke International Conference on Religion and Human Rights 2022: Pedagogical Opportunities and Challenges in Higher Education in Indonesia. Menurut Larsen, realitas kehidupan beragama dan jaminan negara bagi minoritas di Eropa mengungkapkan situasi kompleks yang tidak dapat dijelaskan dalam satu gambaran utuh. Ini karena status kebebasan beragama di Eropa bervariasi dari satu negara ke negara lain. Perbedaan kondisi demografi dan karakter kehidupan sosial politik sangat memengaruhi sikap setiap negara terhadap kelompok minoritas.

Baginya, hampir tidak mungkin untuk memiliki satu gambaran tunggal tentang model kebebasan beragama Eropa. Alasan pertama dan terpenting adalah bahwa Eropa bukanlah entitas tunggal. Benua ini terdiri dari 50 negara, masing-masing dengan identitas nasional mereka sendiri yang memengaruhi tingkat kebebasan beragama. Identitas-identitas ini juga menentukan derajat sekularisasi yang melaluinya kebijakan kebebasan beragama dibangun dan digunakan.

Sekularisme vs Agama

Larsen, yang aktif mempromosikan inisiatif lintas agama di Norwegia, melihat hubungan antara negara dan agama sebagai salah satu faktor yang memengaruhi perbedaan derajat toleransi dan kebebasan beragama di Eropa. Sekularisme yang menempatkan agama pada ruang privat berperan penting dalam membentuk kebijakan pemerintah dan sosial budaya. Prancis, dengan laïcité-nya, misalnya, terus menunjukkan sikap bermusuhan terhadap agama. Prancis yang membanggakan diri sebagai negara sekuler telah melarang penggunaan simbol-simbol agama di lembaga-lembaga publik seperti sekolah dan layanan pemerintah sejak tahun 2004. Meskipun pada prinsipnya larangan ini ditujukan untuk semua agama, dalam praktiknya hanya jilbab dan model busana muslim yang dipermasalahkan. Pada akhir 2021, Senat Prancis secara terbuka memilih untuk melarang simbol agama seperti jilbab dan burkini (dari kata “burqah” dan “bikini”) di kompetisi olahraga dan area pemandian.

Begitu pula Norwegia, yang semenjak 2012 mulai memisahkan agama dan negara, belum sepenuhnya menunjukkan rasa hormat terhadap minoritas—meski menurut Larsen ada beberapa perubahan yang terjadi. Norwegia pada awalnya adalah sebuah monarki berdasarkan agama Injili-Lutheran. Konstitusi Norwegia tahun 1814 tidak memberikan kebebasan berkeyakinan dan beragama. Regulasi ini melarang warga negaranya untuk mengadopsi agama lain yang bertentangan dengan agama resmi yang dianut gereja negara. Tidak hanya itu, orang Yahudi dan kaum Yesuit juga ditolak masuk ke Norwegia. Baru pada tahun 1840-an terjadi perubahan bertahap dalam konstitusi, di antaranya mencabut beberapa paksaan terkait agama dan memungkinkan berbagai komunitas iman, dan juga ateisme, untuk mendirikan komunitas atau jemaat mereka tanpa batasan. Pengecualian dibuat hanya untuk keluarga kerajaan Norwegia dan pejabat negara yang diwajibkan oleh konstitusi untuk menjadi penganut Lutheran. Akan tetapi, pengecualian konstitusi ini kemudian juga diamandemen pada 21 Mei 2012. Pengurangan hubungan antara gereja dan negara terus dilakukan hingga puncaknya pada 1 Januari 2017 Norwegia menerapkan pemisahan penuh. Gereja tidak lagi berfungsi sebagai lembaga negara dan pendeta tidak lagi menjadi pegawai negara.

Akan tetapi, setelah mengalami masa penyatuan negara dan agama yang cukup lama, pemerintah Norwegia belum benar-benar memisahkan diri dari agama. Dalam beberapa kebijakan, negara tampaknya masih mengontrol praktik keagamaan. Pasal 16 Konstitusi Kerajaan Norwegia yang menyatakan,

“Semua penduduk kerajaan memiliki hak untuk menjalankan agama mereka secara bebas. Gereja Norwegia, sebuah gereja Injili-Lutheran, akan tetap menjadi Gereja yang Didirikan di Norwegia dan dengan demikian akan didukung oleh Negara. Ketentuan rinci mengenai sistemnya akan diatur dengan undang-undang. Semua komunitas agama dan kepercayaan harus didukung dengan syarat yang sama,”

menyiratkan bahwa pemerintah nasional dan kota setempat memberikan dukungan keuangan kepada gereja Norwegia. Hal yang sama juga diberikan kepada umat beragama yang ada dengan mendaftarkan kelompoknya serta memenuhi persyaratan yang diberikan, di antaranya pelaporan ajaran agama, peraturan dan kegiatan, pelaporan nama pengurus dan tanggung jawab ketua komunitas, proses pengoperasian aturan hak suara, hingga proses perubahan status dan pembubaran. Hanya komunitas agama dengan anggota sekitar 500 penduduk yang akan mendapat bantuan keuangan dari negara.

Larsen melihat meskipun pemerintah Norwegia dan beberapa negara di Eropa telah secara hukum menetapkan kebebasan beragama, penegakan hukum tersebut tidak selalu konsisten. Di Norwegia, praktik diskriminatif yang menunjukkan dominasi mayoritas terhadap minoritas masih terjadi. Dengan pengaruh kaum humanis, kerangka politik telah berhasil membawa politik Norwegia ke privatisasi agama. Meskipun memberikan kesempatan bagi minoritas untuk berlibur dan menikmati hari besar keagamaan mereka, Norwegia tidak mengizinkan penyembelihan hewan dilakukan kecuali dengan memberikan anestesi hewan sebelum disembelih, membuat penyembelihan tradisional halal dan halal.

Meskipun tampaknya memberikan dukungan keuangan kepada kelompok agama, akomodasi yang diberikan merupakan bagian dari mekanisme kontrol. Menurut Larsen, akomodasi semacam ini dilakukan dalam rangka memerangi ekstremisme, agar umat beragama dapat mandiri dari pengaruh dunia luar, baik secara finansial maupun ideologis. Melalui akomodasi ini, pemerintah mewajibkan kaum minoritas untuk berasimilasi dengan lingkungan sosial politik Norwegia yang kini mengadopsi nilai-nilai baru berupa benevolent secularism atau ‘sekularisme ramah’—seperti yang diistilahkan Larsen. Ini adalah model negara yang mengembangkan politik semisekuler yang tidak sepenuhnya abai terhadap agama.

Intervensi pemerintah dalam kehidupan beragama memang semakin meningkat di berbagai belahan dunia, terutama di Eropa. Banyak negara telah membatasi model pakaian wanita dan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007 tercatat ada lima negara yang memiliki aturan pembatasan dan jumlah ini meningkat empat kali lipat menjadi dua puluh negara pada tahun 2017. Namun, dengan banyaknya kasus diskriminasi terhadap agama, percakapan dan diskusi publik tentang hal tersebut juga semakin tumbuh.

Di Norwegia sendiri, kesadaran akan pluralisme mulai muncul. Seperti yang dikisahkan Larsen, kaum muda muslim kini mengambil bagian dan terlibat aktif dalam kegiatan sosial masyarakat. Banyak perempuan bahkan menjadi anggota dewan komunitas masjid tempat mereka mulai berinisiatif untuk memperjuangkan kebebasan beragama di dalam dan di luar komunitas agama mereka.

Menerima Pluralisme

Apa yang terjadi di Prancis, Norwegia, dan tempat lain di kawasan ini merupakan gambaran kompleksnya kehidupan beragama di Eropa. Setiap negara menetapkan aturan dan kebijakannya sendiri berdasarkan identitas nasional mereka. Oleh karena itu, menurut Larsen, tidak tepat menggunakan salah satu model kebebasan beragama untuk merepresentasikan kehidupan beragama di Eropa. Sejarah panjang hubungan negara-agama justru tumbuh menjadi karakter budaya yang tidak bisa hilang sama sekali. Meskipun memproklamasikan diri sebagai sekuler, baik pemerintah Prancis maupun Norwegia tidak bisa lepas dari bayang-bayang agama.

Menurut Larsen, sekularisme tidak menjamin kebebasan beragama. Dalam banyak kasus, itu justru merusaknya. Beberapa negara yang secara resmi menyatakan diri sebagai penjamin kebebasan telah gagal menjamin pemenuhan hak ini. Meningkatnya jumlah pemerintah Eropa yang menetapkan pembatasan agama adalah bukti bagaimana sekularisme gagal memfasilitasi hak untuk meyakini dan menjalankan agama seseorang.

Alih-alih menerapkan hubungan antiagama, Larsen berpendapat bahwa merangkul sikap positif terhadap pluralisme menunjukkan langkah yang cukup menjanjikan baik untuk kemanusiaan maupun kerukunan antaragama. Mengatasi keragaman dengan menghapuskan perbedaan justru akan melahirkan friksi dan ketegangan sosial. Perbedaan bukan untuk dihapus, melainkan untuk didamaikan. Mempromosikan kebebasan beragama berarti menerima pluralisme. Ia berkata, “Menerima pluralisme adalah untuk menerima kualitas diri pada setiap manusia, menerima bahwa diri Anda tidak lebih ataupun tidak kurang. Menerima pluralisme adalah untuk memiliki rasa hormat yang mendalam dan pendekatan kritis.”

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat perisakan yang tinggi terhadap agama minoritas merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Dialog antaragama untuk kebebasan beragama di Eropa dan di tempat lain di dunia harus fokus pada kerja sama. Larsen menyebutkan, “Di Norwegia, kami memiliki contoh dialog dan kerja sama. Kami tidak mencari kebenaran agama. Kami melihat kemanusiaan satu sama lain dan bagaimana kami dapat menyepakati prinsip-prinsip umum dan praktik-praktik umum.” Larsen mengusulkan bahwa komunitas agama harus terlibat satu sama lain untuk memelihara budaya penerimaan (culture of acceptance). Melalui kerja dan kolaborasi bersama, umat beragama dapat mendorong politik dan budaya Eropa untuk merangkul pluralisme, menghormati kebebasan beragama, dan menjamin persamaan hak bagi semua orang tanpa diskriminasi.

*Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari artikel Maurisa Zinira berjudul “Freedom of Religion and Belief in Europe: An Interview with Lena Larsen” yang sebelumnya telah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris di situs web ICRS. Diterjemahkan oleh m r. abdi, cantrik di divisi pendidikan publik CRCS UGM.

______________________

Maurisa Zinira adalah alumnus CRCS UGM angkatan 2011 dan mahasiswa Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), angkatan 2019.

Tags: KBB Maurisa Zinira

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju