• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Wednesday Forum Report
  • Kemarahan Penuh Kasih Sayang untuk Dunia yang Rusak

Kemarahan Penuh Kasih Sayang untuk Dunia yang Rusak

  • Wednesday Forum Report
  • 11 April 2022, 20.13
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Kemarahan Penuh Kasih Sayang untuk Dunia yang Rusak

Ihsan Kamaludin – 11 April 2022

Di kala kita sedang berdiskusi saat ini, atau membaca tulisan ini, ribuan bayi mati setiap hari dan puluhan ribu lainnya kekurangan air bersih. Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai akademisi?

Proses penanganan krisis di masa pandemi menjadi suatu topik kontroversial ketika banyak masyarakat yang mengalami kesenjangan sosial ekonomi terutama dalam pemenuhan hak dasar mereka. Hal ini diperparah dengan krisis spiritualitas yang menjadikan anggota masyarakat kurang dapat membangun sistem kesetaraan sosial yang mumpuni. Lalu, di mana posisi kita sebagai kaum terpelajar ketika semua hal ini terjadi di depan mata?

Pertanyaan reflektif tersebut dilontarkan Nadarajah Manickam, professor dari Layala College, saat presentasi Wednesday Forum (16/3) yang mengusung tema “Living in a Broken World: Prophetic Anger and Public Compassion”. Profesor yang akrab dipanggil Nat ini mengingatkan bahwa dunia saat ini tengah mengalami kemandegan dalam upaya kesetaraan sosial. Pemerintahan dunia saat ini memang sudah membuat fondasi standar kehidupan sosial dan “memaksa” masyarakat untuk ikut serta ke dalam standar sistem yang hanya indah di atas kertas. Ironisnya, pada saat yang sama wacana tandingan dan aksi kritik terhadap penguasa cenderung menurun, meski kegiatan literasi seperti konferensi dan juga penerbitan karya ilmiah kian meningkat. Kemandegan perbaikan sistem sosial itu diperparah dengan penyekatan disiplin ilmu yang bersifat parsial. Penyekatan ini menjadikan upaya perbaikan kondisi sosial menjadi tidak selaras dan bahkan kerap kali tumpang tindih.

Nat lalu mengajak semua audiens untuk berefleksi tentang perubahan iklim yang meningkat tajam semenjak abad ke-19. Disadari atau tidak, fenomena kerusakan iklim ini membuat banyak pihak geram, terlepas dari apa pun agama dan latar belakangnya. Perubahan  iklim ini juga diikuti dengan ketimpangan sosial yang terus berjalan. Di kala kita sedang berdiskusi hari ini, atau membaca tulisan ini, ribuan bayi mati setiap hari dan puluhan ribu lainnya kekurangan air bersih. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Menurut Nat, yang perlu kita lakukan pertama kali adalah mengakui dan merawat kemarahan tersebut. Namun, tidak berhenti di situ, kemarahan itu kita salurkan sebagai energi untuk mengubah keadaan. Nat mencontohkan kemarahan Nabi Musa atas penindasan yang dialami kaumnya sehingga hal ini membuatnya bergegas untuk memperbaiki kondisi tersebut. Inilah yang ia sebut sebagai propethic anger ‘kemarahan kenabian’. Nat juga menggarisbawahi bahwa praktik untuk menerima kerusakan dan memperbaikinya ini dapat ditemui pada berbagai kebudayaan. Salah satunya tradisi Kintsugi di Jepang. Tradisi Kintsugi merupakan sebuah “perayaan atas kerusakan” yang disimbolkan dengan perbaikan tembikar yang pecah atau rusak. Pecahan tembikar disusun ulang dan direkatkan kembali dengan taburan bubuk logam, seperti emas, perak, dan platina, sehingga menjadi sebuah benda baru yang tetap berguna dan semakin indah. Secara simbolik, praktik ini mengingatkan diri dan masyarakat untuk mengetahui dan menerima kondisi sebenarnya sehingga dapat melakukan introspeksi diri lalu memperbaiki kondisi tersebut.

Permasalahan lingkungan saat ini memang pelik dan membutuhkan peran dari berbagai pihak. Menurut Nat, universitas sebagai lembaga pembuka wawasan dan pencetak pengetahuan berperan besar dalam upaya ini. Karenanya, ia menyayangkan begitu banyak kerusakan berasal dari aktivitas manusia yang “diproduksi” oleh universitas—terutama semenjak fragmentasi ilmu pengetahuan terjadi. Memudarnya ilmu pengetahuan yang holistik mengakibatkan pola pikir dan kerangka kerja yang dilakukan oleh lulusan universitas tersebut tidak terintegrasi dengan baik. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi dari sisi akademis, tetapi juga berimplikasi sosial pada generasi selanjutnya. Nat mencontohkan terkait kasus pencemaran lingkungan yang semakin masif. Tak kurang dari 11 triliun ton limbah mencemari tanah, arus air, dan udara setiap harinya. Limbah-limbah tersebut diproduksi oleh para pekerja lulusan berbagai universitas di dunia. Perguruan tinggi saat ini cenderung membentuk generasi buruh yang lebih berfokus pada fragmentasi ilmu pengetahuan dan penyediaan tenaga kerja daripada generasi terpelajar yang penuh kesadaran atas kehidupan umat manusia di masa depan.

Namun demikian, Nat tidak sedang menumpahkan segala kesalahan pada pundak universitas atau menunjuk universitas sebagai biang kerok yang memperparah masalah sosial di masyarakat. Ia menjadikan kasus universitas tersebut sebagai contoh bahwa sistem yang hadir saat ini saling terkoneksi dan dapat memengaruhi pola pikir generasi selanjutnya. Lebih lanjut, Nat berpandangan bahwa fragmentasi yang terjadi di universitas dan banyak institusi cenderung berfokus pada bingkai material semata seperti indeks pertumbuhan atau pencapaian yang sifatnya bersifat angka. Hal ini sering kali kontradiktif karena pertumbuhan sendiri tidak dapat mengakomodasi berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat secara merata. Pada akhirnya, angka-angka pertumbuhan tersebut sekadar bersifat parsial. Di sisi lain, menurut Nat, banyak akademisi yang membahas kemiskinan tetapi tidak membahas sistem untuk mengentaskan orang-orang dari jurang kemiskinan.

Karenanya, Nat menghimbau kepada universitas untuk melakukan gerakan perubahan yang bersifat totalitas dengan cara memberikan ruang pada disiplin ilmu lain untuk bisa berkolaborasi aktif dengan disiplin ilmu lain. Ketika satu disiplin ilmu bertransformasi kepada multidisiplin dan bahkan mencapai tahap interdisipliner serta transdisipliner, Nat yakin lembaga pendidikan akan berkontribusi lebih besar pada produksi ilmu pengetahuan yang holistik. Interkonektivitas tersebut dapat menjadi gerbang awal dalam perbaikan produksi ilmu pengetahuan yang membawa berbagai kebaikan pada generasi selanjutnya. Dengan demikian, generasi selanjutnya akan mampu melihat teknologi dan modernitas tidak sekadar sebagai alat pemenuhan kepentingan, tetapi juga implikasi lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.

Pernyataan Nat tersebut ditanggapi oleh salah satu peserta diskusi dengan pertanyaan: bagaimana solusi untuk keluar dari krisis spiritual tersebut? Nat meyakini bahwa agama memiliki sumbangsih besar terkait dengan nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Namun, yang perlu menjadi perhatian, implementasi dari konsep belas kasih tersebut kerap kali tidak dilakukan karena terlalu berfokus kepada aspek politis dan nilai pragmatis. Lebih lanjut, Nat menegaskan bahwa perbaikan produksi ilmu pengetahuan yang dilakukan di lembaga pendidikan dapat menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan pengetahuan yang menjunjung nilai kasih sayang terhadap manusia dan alam. Nilai-nilai kasih sayang itulah yang menjadi kunci untuk keluar dari krisis spiritual tersebut.

_______________________

Ihsan Kamaludin adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Kamal lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini oleh TAPAS KUMAR HALDER/Wikimedia Commons (2019)

Rekaman Wednesday Forum “Living in a Broken World: Prophetic Anger and Public Compassion” oleh Nadarajah Manickam

Tags: Ihsan Kamaludin

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju