Kemarahan Penuh Kasih Sayang untuk Dunia yang Rusak
Ihsan Kamaludin – 11 April 2022
Di kala kita sedang berdiskusi saat ini, atau membaca tulisan ini, ribuan bayi mati setiap hari dan puluhan ribu lainnya kekurangan air bersih. Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai akademisi?
Proses penanganan krisis di masa pandemi menjadi suatu topik kontroversial ketika banyak masyarakat yang mengalami kesenjangan sosial ekonomi terutama dalam pemenuhan hak dasar mereka. Hal ini diperparah dengan krisis spiritualitas yang menjadikan anggota masyarakat kurang dapat membangun sistem kesetaraan sosial yang mumpuni. Lalu, di mana posisi kita sebagai kaum terpelajar ketika semua hal ini terjadi di depan mata?
Pertanyaan reflektif tersebut dilontarkan Nadarajah Manickam, professor dari Layala College, saat presentasi Wednesday Forum (16/3) yang mengusung tema “Living in a Broken World: Prophetic Anger and Public Compassion”. Profesor yang akrab dipanggil Nat ini mengingatkan bahwa dunia saat ini tengah mengalami kemandegan dalam upaya kesetaraan sosial. Pemerintahan dunia saat ini memang sudah membuat fondasi standar kehidupan sosial dan “memaksa” masyarakat untuk ikut serta ke dalam standar sistem yang hanya indah di atas kertas. Ironisnya, pada saat yang sama wacana tandingan dan aksi kritik terhadap penguasa cenderung menurun, meski kegiatan literasi seperti konferensi dan juga penerbitan karya ilmiah kian meningkat. Kemandegan perbaikan sistem sosial itu diperparah dengan penyekatan disiplin ilmu yang bersifat parsial. Penyekatan ini menjadikan upaya perbaikan kondisi sosial menjadi tidak selaras dan bahkan kerap kali tumpang tindih.
Nat lalu mengajak semua audiens untuk berefleksi tentang perubahan iklim yang meningkat tajam semenjak abad ke-19. Disadari atau tidak, fenomena kerusakan iklim ini membuat banyak pihak geram, terlepas dari apa pun agama dan latar belakangnya. Perubahan iklim ini juga diikuti dengan ketimpangan sosial yang terus berjalan. Di kala kita sedang berdiskusi hari ini, atau membaca tulisan ini, ribuan bayi mati setiap hari dan puluhan ribu lainnya kekurangan air bersih. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?
Menurut Nat, yang perlu kita lakukan pertama kali adalah mengakui dan merawat kemarahan tersebut. Namun, tidak berhenti di situ, kemarahan itu kita salurkan sebagai energi untuk mengubah keadaan. Nat mencontohkan kemarahan Nabi Musa atas penindasan yang dialami kaumnya sehingga hal ini membuatnya bergegas untuk memperbaiki kondisi tersebut. Inilah yang ia sebut sebagai propethic anger ‘kemarahan kenabian’. Nat juga menggarisbawahi bahwa praktik untuk menerima kerusakan dan memperbaikinya ini dapat ditemui pada berbagai kebudayaan. Salah satunya tradisi Kintsugi di Jepang. Tradisi Kintsugi merupakan sebuah “perayaan atas kerusakan” yang disimbolkan dengan perbaikan tembikar yang pecah atau rusak. Pecahan tembikar disusun ulang dan direkatkan kembali dengan taburan bubuk logam, seperti emas, perak, dan platina, sehingga menjadi sebuah benda baru yang tetap berguna dan semakin indah. Secara simbolik, praktik ini mengingatkan diri dan masyarakat untuk mengetahui dan menerima kondisi sebenarnya sehingga dapat melakukan introspeksi diri lalu memperbaiki kondisi tersebut.
Permasalahan lingkungan saat ini memang pelik dan membutuhkan peran dari berbagai pihak. Menurut Nat, universitas sebagai lembaga pembuka wawasan dan pencetak pengetahuan berperan besar dalam upaya ini. Karenanya, ia menyayangkan begitu banyak kerusakan berasal dari aktivitas manusia yang “diproduksi” oleh universitas—terutama semenjak fragmentasi ilmu pengetahuan terjadi. Memudarnya ilmu pengetahuan yang holistik mengakibatkan pola pikir dan kerangka kerja yang dilakukan oleh lulusan universitas tersebut tidak terintegrasi dengan baik. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi dari sisi akademis, tetapi juga berimplikasi sosial pada generasi selanjutnya. Nat mencontohkan terkait kasus pencemaran lingkungan yang semakin masif. Tak kurang dari 11 triliun ton limbah mencemari tanah, arus air, dan udara setiap harinya. Limbah-limbah tersebut diproduksi oleh para pekerja lulusan berbagai universitas di dunia. Perguruan tinggi saat ini cenderung membentuk generasi buruh yang lebih berfokus pada fragmentasi ilmu pengetahuan dan penyediaan tenaga kerja daripada generasi terpelajar yang penuh kesadaran atas kehidupan umat manusia di masa depan.
Namun demikian, Nat tidak sedang menumpahkan segala kesalahan pada pundak universitas atau menunjuk universitas sebagai biang kerok yang memperparah masalah sosial di masyarakat. Ia menjadikan kasus universitas tersebut sebagai contoh bahwa sistem yang hadir saat ini saling terkoneksi dan dapat memengaruhi pola pikir generasi selanjutnya. Lebih lanjut, Nat berpandangan bahwa fragmentasi yang terjadi di universitas dan banyak institusi cenderung berfokus pada bingkai material semata seperti indeks pertumbuhan atau pencapaian yang sifatnya bersifat angka. Hal ini sering kali kontradiktif karena pertumbuhan sendiri tidak dapat mengakomodasi berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat secara merata. Pada akhirnya, angka-angka pertumbuhan tersebut sekadar bersifat parsial. Di sisi lain, menurut Nat, banyak akademisi yang membahas kemiskinan tetapi tidak membahas sistem untuk mengentaskan orang-orang dari jurang kemiskinan.
Karenanya, Nat menghimbau kepada universitas untuk melakukan gerakan perubahan yang bersifat totalitas dengan cara memberikan ruang pada disiplin ilmu lain untuk bisa berkolaborasi aktif dengan disiplin ilmu lain. Ketika satu disiplin ilmu bertransformasi kepada multidisiplin dan bahkan mencapai tahap interdisipliner serta transdisipliner, Nat yakin lembaga pendidikan akan berkontribusi lebih besar pada produksi ilmu pengetahuan yang holistik. Interkonektivitas tersebut dapat menjadi gerbang awal dalam perbaikan produksi ilmu pengetahuan yang membawa berbagai kebaikan pada generasi selanjutnya. Dengan demikian, generasi selanjutnya akan mampu melihat teknologi dan modernitas tidak sekadar sebagai alat pemenuhan kepentingan, tetapi juga implikasi lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.
Pernyataan Nat tersebut ditanggapi oleh salah satu peserta diskusi dengan pertanyaan: bagaimana solusi untuk keluar dari krisis spiritual tersebut? Nat meyakini bahwa agama memiliki sumbangsih besar terkait dengan nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Namun, yang perlu menjadi perhatian, implementasi dari konsep belas kasih tersebut kerap kali tidak dilakukan karena terlalu berfokus kepada aspek politis dan nilai pragmatis. Lebih lanjut, Nat menegaskan bahwa perbaikan produksi ilmu pengetahuan yang dilakukan di lembaga pendidikan dapat menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan pengetahuan yang menjunjung nilai kasih sayang terhadap manusia dan alam. Nilai-nilai kasih sayang itulah yang menjadi kunci untuk keluar dari krisis spiritual tersebut.
_______________________
Ihsan Kamaludin adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Kamal lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh TAPAS KUMAR HALDER/Wikimedia Commons (2019)
Rekaman Wednesday Forum “Living in a Broken World: Prophetic Anger and Public Compassion” oleh Nadarajah Manickam