Kembalinya Eks-ISIS: Antara Keamanan Nasional dan Perlindungan HAM
A.A.A. Nanda Saraswati – 22 Februari 2020
Sejak Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dinyatakan “kalah”, dunia internasional banyak berbicara mengenai nasib para militan dan anggota keluarga mereka yang pernah bergabung dengan kelompok tersebut (eks-ISIS), mulai dari status kewarganegaraan mereka, hak-hak fundamental yang masih melekat, hingga ancaman dan bahaya yang dapat timbul jika mereka kembali ke negara asal.
Saat ini banyak negara, termasuk Indonesia, yang sedang menghadapi tantangan sulit, yakni antara menanggapi keinginan eks-ISIS untuk kembali ke negara asal dan, di sisi lain, adanya tanggung jawab negara untuk melindungi keamanan nasional dari ancaman terorisme. Sementara ini, pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan memulangkan eks-ISIS hingga ada kajian dari tim khusus presiden yang rencananya akan diumumkan hasilnya pada Mei atau Juni mendatang.
Memang pemulangan kembali (repatriasi) warga negara yang pernah bergabung dengan kelompok teroris merupakan persoalan rumit dan karena itu memerlukan kajian mendalam. Ketegangan antara pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan keamanan nasional kadang tidak mudah dijembatani. Tidak jarang negara yang memperlakukan keduanya secara eksklusif: HAM dipenuhi, tetapi keamanan dikorbankan, atau sebaliknya, keamanan terlindungi tetapi HAM diabaikan.
Maka pertanyaan kuncinya: tidak adakah cara yang bisa mengupayakan agar keduanya bisa berjalan beriringan? Tulisan ini hendak mengajukan beberapa alternatif untuk mengakomodasi keduanya, betapapun sulit untuk bisa sempurna terpenuhi semuanya. Tetapi sebelum itu, tulisan ini akan membahas sampai di mana keamanan bisa menjadi pembatas HAM dan soal hilang/tidaknya hak kewarganegaraan eks-ISIS.
Keamanan sebagai pembatas HAM
Alasan bahwa repatriasi eks-ISIS akan berpontensi mengancam keamanan nasional dapat dimengerti. Faktanya banyak dari orang-orang eks-ISIS itu yang mempunyai keahlian bertempur karena dididik dalam iklim peperangan dalam kurun waktu yang tak pendek. Di samping itu, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang cukup sering berhadapan dengan aksi terorisme, seperti dua peristiwa bom Bali, bom JW Mariot, bom kedutaan besar Australia, teror di Jakarta, bom bunuh diri di sejumlah markas Polisi, dan aksi teror lainnya. Tidak mengherankan bila pemerintah dengan segenap aparat intelijen dan militernya terus berupaya mengeliminasi berbagai potensi aksi teror.
Hanya saja, pada sisi lain, pembuatan dan penerapan kebijakan terkait pengelolaan keamanan nasional tetap harus mengacu pada standar hak asasi manusia, rule of law, dan demokrasi. Dalam konteks ini, prinsip dan standar HAM internasional menjadi kerangka pengaman agar pengelolaan dan penyelenggaraan keamanan nasional tidak mengkhianati dan melanggar tujuan tertingginya sendiri, yakni melindungi keamanan warga negaranya. Artinya dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya, negara tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang tanpa dasar dan batasan yang jelas dan pasti.
Dalam konteks HAM inilah, negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fullfil) hak setiap manusia. Benar bahwa tidak semua hak bersifat absolut sehingga dalam konteks tertentu hak tersebut dapat tunduk pada pembatasan. Namun demikian, sesuai dengan kesepakatan internasional, pembatasan HAM tetap harus (1) diatur sesuai dengan hukum, (2) untuk memenuhi tujuan yang sah, (3) dilakukan secara proporsional, dan (4) berdasarkan asas kebutuhan.
Keamanan nasional memang bisa menjadi salah satu alasan untuk menjustifikasi pembatasan terhadap sebuah hak, misalnya hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, tetapi negara tetap harus membuktikan bahwa pembatasan itu benar-benar perlu (necessary). Meskipun alasan pembatasan HAM diserahkan kepada masing-masing negara, pelaksanaannya tetap harus konsisten dengan hak-hak asasi lainnya. Terlebih lagi, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 12 (4) mengatur bahwa tidak ada seorangpun dapat dirampas haknya secara sewenang-wenang untuk memasuki negaranya sendiri.
Dari situlah muncul pertanyaan lain apakah para eks-ISIS, yang sering disebut sebagai foreign terrorist fighters (FTF), sudah hilang statusnya sebagai WNI sehinga hilang pula hak mereka untuk kembali ke tanah air?
Isu kewarganegaraan
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2006. Dengan mengacu kepada UU ini, status hilang/tidaknya kewarganegaraan eks-ISIS masih menimbulkan tanda tanya. Perdebatan muncul dari frasa “dinas tentara asing” di pasal 23 (d), yang bisa menjadi dasar hilangnya kewarganegaraan seorang WNI. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan dinas tentara asing adalah dinas tentara dari “negara” asing atau termasuk pula tentara asing yang berasal dari aktor non-negara (non-state actor). Frasa tersebut bisa memicu lebih dari satu tafsir sehingga harus diperjelas.
Menurut Resolusi DK PBB 2249 dan 2368, ISIS merupakan “kelompok” teroris yang mengancam perdamaian dan stabilitas internasional. Sementara itu, mereka yang berpandangan bahwa eks-ISIS hilang kewargangeraannya karena masuk dalam dinas tentara asing berarti mengakui ISIS sebagai suatu entitas “negara”. Padahal berdasarkan teori pengakuan konstitutif, sebuah negara tercipta bila ada pengakuan atau kemampuan untuk berhubungan dengan negara lain, satu kriteria yang tidak pernah dimiliki ISIS.
Di samping itu, pembakaran paspor yang dilakukan oleh sejumlah eks-ISIS dari Indonesia tidak serta merta membuat kewarganegaraannya menjadi hilang. Ada prosedur dan tata cara kehilangan kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pasal 34 mengatur bahwa Menteri menetapkan Keputusan Menteri tentang nama orang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, sedangkan pasal 38 mengatur bahwa Presiden menetapkan keputusan mengenai kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia. Peristiwa pembakaran paspor dapat menjadi pertimbangan presiden dan atau menteri untuk menilai itikad dari eks-ISIS serta sejauh mana kesetiaan mereka terhadap Indonesia, tetapi tidak secara otomatis membuat mereka kehilangan kewarganegaraan. Artinya harus ada proses hukum terlebih dahulu. Seperti halnya UU Kewarganegaraan, hendaknya ada beberapa perbaikan yang dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah tersebut.
Status anak-anak eks-ISIS
Dalam kajian terhadap isu kewarganegaraan eks-ISIS ini, kita juga perlu membedakan anak-anak dari orang dewasa. Benar bahwa, seperti halnya eks-ISIS yang dewasa, anak-anak eks-ISIS juga memiliki potensi mengancam keamanan nasional di masa yang akan datang. Faktanya ISIS telah secara paksa melakukan indoktrinasi, melatih, dan melibatkan anak-anak di bawah kendali mereka dalam aksi teror dan kekerasan.
Namun di bawah instrumen HAM internasional, baik ICCPR maupun Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), hak atas kewarganegaraan bagi anak-anak sangat dijunjung tinggi. Negara-negara didorong untuk dapat bekerja sama mengatasi hambatan material dan administratif untuk mengembalikan anak-anak yang merupakan warga negaranya, misalnya melalui penerbitan dokumen perjalanan sementara dan bekerja sama dengan organisasi seperti Komite Palang Merah Internasional. Perlakuan yang diberikan kepada anak-anak juga berbeda dengan orang dewasa. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan anak-anak harus menjadi langkah terakhir (last resort) untuk jangka waktu sesingkat mungkin.
Di luar status hukum mereka, pertanyaan tentang reintegrasi anak-anak dalam jangka panjang seyogianya juga menjadi perhatian pemerintah, yang meliputi pemulihan fisik dan psikologis serta proses reintegrasi sosial. Di sini, koordinasi antara pekerja sosial, psikolog, spesialis dan organisasi perlindungan anak, serta aktor hukum sangatlah penting. Sementara ketegangan antara memberikan perlindungan kepada anak-anak dengan memprioritaskan keamanan nasional terus menjadi perdebatan, harus diakui bahwa tindakan pembiaran (omission) terhadap anak-anak tanpa jalan yang jelas ke depan adalah skenario paling buruk yang harus dihindari.
Memang, kebijakan untuk tidak merepatriasi eks-ISIS tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Sejumlah negara lain juga melakukan hal yang sama. Tetapi beberapa negara memberikan kelonggaran kepada anak-anak. Amerika Serikat, misalnya, secara tegas menolak warga negaranya eks-ISIS untuk kembali. Inggris menegaskan akan mencabut kewarganegaraan mereka yang telah mendukung ISIS untuk kembali ke Inggris. Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku pada laki-laki dewasa, tetapi juga terhadap anak-anak. Pencabutan kewarganegaraan terhadap eks-ISIS juga dilakukan oleh Pemerintah Australia. Namun berbeda dengan Inggris, Australia masih memperhatikan nasib dari perempuan dan anak-anak eks-ISIS. Kebijakan mencabut kewarganegaraan tetapi masih memberikan kesempatan kepada anak-anak juga diambil oleh Prancis. Sebagian negara di Eropa menolak memulangkan eks-ISIS yang dewasa dengan mencabut kewarganegaraan mereka tetapi masih menerima kembali sejumlah anak-anak eks-ISIS dengan berbagai pertimbangan. Di antaranya adalah Italia, Belgia, dan Jerman. Rusia juga telah merepatriasi sejumlah anak tetapi tidak memiliki rencana untuk memulangkan mereka yang dewasa. Kebijakan untuk memulangkan atau tidak memulangkan eks-ISIS ini hendaknya dilakukan dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik anak-anak (the best interest of the child).
Beberapa opsi
Instrumen HAM internasional, seperti yang mengejawantah dalam Konvensi tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan 1954 dan Konvensi tentang Pengurangan Statelessness 1961, memandatkan negara-negara untuk mencegah terjadinya “tanpa kewarganegaraan”. Harus diingat bahwa kewarganegaraan merupakan hak dasar setiap manusia, karena ia merupakan hak dari segala hak. Artinya, tanpa status kewarganegaraan, hak-hak lainnya mustahil untuk dilindungi oleh negara. Karena itu hukum internasional mengatur secara jelas bahwa keadaan tanpa kewarganegaraan harus dihindari. Prinsip ini juga telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional karena pada dasarnya setiap manusia berhak untuk memiliki hak (the right to have rights).
Itulah sebabnya mengapa dalam kasus eks-ISIS perlu ada upaya untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap keamanan nasional dengan pemenuhan HAM. Berdasarkan prinsip exhaustion of local remedies, mekanisme hukum nasional hendaknya diupayakan terlebih dahulu sepenuhnya sebelum ada mekanisme hukum di tingkat internasional. Upaya hukum nasional dapat dilakukan melalui prosedur penentuan status (status determination procedure) yang sejalan dengan kewajiban negara di dalam Konvensi Pengungsi 1951 dengan tujuan minimal memastikan keselamatan pengungsi.
Dalam konteks ini, mekanisme awal dapat dilakukan dengan proses penilaian (assessment) dengan evaluasi secara ketat dan bertahap status dari masing-masing eks-ISIS. Melalui proses tersebut, negara dapat melakukan identifikasi sekaligus menyaring mereka yang membutuhkan perlakuan berbeda. Informasi sejauh mana keterlibatan masing-masing orang di ISIS sangat dibutuhkan, misalnya siapa yang menjadi kombatan dan ikut di medan perang; siapa saja dan sejauh mana mereka terpapar paham kekerasan; siapa yang terpaksa ikut dan siapa yang sukarela bergabung; siapa yang menjadi pelaku atau justru korban; dan seterusnya. Setelah itu mekanisme pengadilan dengan menggunakan ketentuan pidana nasional baru dapat dilakukan. Bila negara mencabut kewarganegaraan mereka tanpa prosedur ini, negara dapat dianggap melakukan pelanggaran HAM dengan tidak memberikan peradilan yang adil (fair trial).
Opsi lain adalah pembentukan hybrid court atau peradilan campur/gabungan yang mengkombinasikan hukum dan peradilan nasional dan internasional, seperti yang pernah dilakukan di Kamboja dan Sierra Leone serta Indonesia (kasus Timor Timur) untuk menyelesaiakan kasus kejahatan HAM. Keterlibatan nasional dan internasional ada pada penyusunan, struktur dan fungsinya, serta dalam penerapan hukum dan prosedur pengadilan.
Hukum internasional juga memiliki sebuah mekanisme bila suatu negara tidak mau (unwilling) dan atau tidak mampu (unable) mengadili kejahatan HAM. International Criminal Court (ICC) atau mahkamah pidana internasional dibentuk untuk mengadili orang yang melakukan kejahatan internasional yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Kasus terorisme sesungguhnya bukan tidak mungkin untuk diadili di ICC bila kejahatannya memiliki pengaruh yang luas terhadap lebih dari satu wilayah dan dampaknya berskala global. Tafsir yang dilakukan adalah mengklasifikasikan elemen-elemen tindakan terorisme sebagai salah satu bentuk dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
Jadi, penentuan status seseorang harus melalui proses penegakan hukum, entah melalui mekanisme pengadilan nasional, hybrid court, atau bahkan pengadilan internasional yaitu ICC. Dengan kata lain, ada tuntutan hukum yang dilakukan tanpa mencabut hak-hak mendasar seperti hak kewarganegaraan. Pilihan mana pun yang diambil, upaya diplomasi dan kerja sama internasional harus dilakukan.
Penolakan sementara eks-ISIS untuk kembali ke Indonesia sedikit banyak telah dan akan mendapatkan tanggapan tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dunia internasional. Cara dan kebijakan yang diambil sangat berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Dalam hal ini, perhatian akan tertuju pada posisi Indonesia yang baru-baru ini terpilih sebagai angota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022. Dengan demikian, keputusan apapun yang nantinya akan diambil oleh pemerintah terhadap eks-ISIS akan dilihat sekaligus sebagai uji kelayakan Indonesia dalam menjalankan perannya tersebut.
_______________
A.A.A. Nanda Saraswati adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan salah satu fellow CRCS UGM-FORB Initiative angkatan I (2019)
Kredit gambar header: Delil Souleiman/AFP