Konghucu dan Budaya Tionghoa: Pasang Surut Rekognisi
Haris Fatwa Dinal Maula – 6 Maret 2021
Konfusianisme atau Konghucu kini merupakan salah satu dari enam agama-dunia yang diakui negara—atau persisnya, memiliki perwakilan administratif di Kementerian Agama. Namun, status ini tidaklah didapat begitu saja, melainkan melalui perjuangan yang cukup panjang.
Dalam perjalanannya meraih pengakuan dari negara, Konghucu mengalami pasang surut: pada 1965 ia masih diakui, tetapi pada 1973 Konghucu terpinggirkan dan bahkan mengalami diskriminasi. Segregasi etnis masa kolonial turut berimbas pada persepsi masyarakat terhadap masyarakat peranakan Tionghoa hingga berujung pada masa kelam di era Orde Baru. Konghucu sebagai agama dan hak ekspresi kebudayaan Tionghoa di ruang publik baru mendapat pengakuan kembali setelah era Reformasi.
Pasang surut pengakuan negara terhadap Konghucu ini dipaparkan oleh Chambert-Loir dalam tulisannya Confucius Crosses the South Seas (2015). Esai ini akan meringkas isi tulisan Chambert-Loir tersebut dengan tambahan dari beberapa rujukan lain.
Segregasi ala Kolonial
Pada awal abad ke-19, komunitas peranakan Tionghoa di Nusantara mulai menjadi sasaran kebijakan penguasa kolonial. Persisnya pada tahun 1814, kolonial Belanda mengeluarkan konstitusi (grondwet) yang berisi tentang sistem stratifikasi rasial. Peraturan ini membuat kategorisasi penduduk Hindia-Belanda: kelas pertama adalah ras kulit putih (Eropa, Amerika, Jepang); kelas kedua adalah Timur Asing (Arab, India, Tionghoa); dan kelas ketiga adalah pribumi.
Peraturan itu berlanjut ke arah segregasi pemukiman yang didasarkan juga pada kelompok-kelompok etnis. Akibatnya, muncullah kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung India, dan Pecinan. Motivasi kolonial melakukan segregasi tersebut adalah untuk kontrol kekuasaan, keamanan, dan kepentingan dagang. Bahkan ada undang-undang wilayah yang disebut dengan wijkensetelsel (sistem pemusatan) dan passenstelsel (sistem paspor) yang khusus mengatur masyarakat etnis Tionghoa. Salah satu kebijakannya adalah mengharuskan orang Tionghoa untuk membawa paspor jalan jika hendak mengadakan perjalanan ke luar daerah atau ke pemukiman etnis lain.
Segregasi etnis ini membuat masyarakat peranakan menutup diri. Pemusatan mereka di Pecinan pada gilirannya menguatkan solidaritas kolektif tetapi sekaligus juga eksklusif, yang bahkan berimbas jauh hingga Indonesia merdeka. Hampir seabad sejak segregasi itu diterapkan, akhirnya pada 1911, kebijakan passenstelsel berakhir, dan disusul juga dengan dicabutnya kebijakan wijkensetelsel pada 1919.
Konstruksi Keagamaan
Mulai 1920-an kehidupan orang-orang peranakan Tionghoa di Indonesia berjalan membaik. Dalam soal tradisi dan keyakinan pun demikian pula. Ketegangan mulai pelan-pelan mengemuka ketika sebagian orang Tionghoa berpindah agama (Islam atau Kristen). Bagi sebagian kalangan masyarakat Tionghoa, konversi agama ini dipandang akan menggerus tradisi berkeyakinan mereka. Maka muncullah semangat untuk mengikat kembali identitas mereka. Ini kemudian dilembagakan melalui Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia, yang juga bermisi mempromosikan Konghucu sebagai agama leluhur orang Tionghoa.
Pelembagaan tradisi dan keyakinan orang Tionghoa itu kemudian direspons oleh Perkumpulan Misionaris Belanda (Nederlandsche Zending Vereeniging) yang mempertanyakan apakah Konghucu layak disebut agama. Parameter yang dipancangkan mencakup konsep ketuhanan dan konsep tentang surga dan neraka. Menanggapi pertanyaan para misionaris Belanda ini, THHK membentuk sebuah komisi khusus yang ‘merumuskan’ agama leluhur Tionghoa, yang meliputi konsep Tuhan dan kitab suci, sekaligus mereformasi tradisi Tionghoa dari campuran kultur lokal. Hasilnya, Konghucu kemudian memiliki kitab suci tertulis, yakni Si Shu dan Hauw Keng (Xiao Jing).
Menurut Charles A. Coppel dalam tulisannya The Origin of Confusianism as an Organized Religion in Java 1900-1923, komite khusus bentukan THHK itu juga menginvensi konsep ketuhanan dalam Konghucu, yakni Thian, yang disebutnya sebagai “satoe roh Agoeng jang soetji”, atau kadang disebut sebagai Thi Kong (Toehan Allah), dan Konfusius menjadi nabi bagi umat Konghucu.
Pengakuan oleh Soekarno
Pascakemerdekaan, Konghucu membentuk sebuah perkumpulan bernama Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Organisasi ini berjalan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi sebelumnya, THHK. Lembaga ini di kemudian hari masih berganti-ganti nama, hingga nanti akhirnya menjadi Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN). Organisasi ini didirikan sebagai upaya umat Konghucu dalam menentukan nasib dan memperjuangkan hak mereka sebagai salah satu agama di Indonesia.
Dalam salah satu upayanya, PKCHI mempromosikan Konghucu sebagai agama yang selaras dengan nilai-nilai keindonesiaan. Lebih dari itu, PKCHI juga menafsirkan ajaran-ajaran Konghucu dengan cara yang lebih rasionalis dibanding Konghucu tradisional yang syarat dengan nilai-nilai negeri asalnya, China. Ini ditunjukkan ketika PKCHI mengkampanyekan ‘neo-Konghucu’ sebagai agama yang kritis, berpikiran terbuka, dan memiliki semangat pembaruan.
Upaya lain yang mereka lakukan adalah mendukung sepenuhnya kebijakan Soekarno ketika mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin sebagai sistem pemerintahan Indoenesia. PKCHI bahkan sampai mengaitkan karakter kepemimpinan Soekarno dengan salah satu nilai yang ada dalam Konghucu, yaitu li (礼), yang mereka artikan sebagai pemimpin yang mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Setelah merasa cukup diterima oleh pemerintah Indonesia, sekaligus cukup percaya diri dengan konsep teologis yang bagi mereka sudah selaras dengan sila pertama Pancasila, PKCHI mulai mendekati Kementerian Agama dengan mengirim perwakilannya pada 1961 untuk meminta divisi khusus bagi agama Konghucu. Pada tahun yang sama, PKCHI mendeklarasikan Konghucu sebagai agama dan Konfusius sebagai nabi di depan publik dalam konvensi nasional mereka yang keenam.
Permintaan PKCHI tersebut pada mulanya tidak direspons dengan baik oleh Kemenag. Hingga empat tahun berselang, Soekarno tampaknya melihat sikap positif Konghucu terhadap pemerintahan sehingga ia menyebut Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui negara. Ini ditetapkannya melalui PNPS No.1 tahun 1965. PNPS ini menandai era baru bagi Konghucu sebagai agama yang diakui bersama dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
‘Desinisasi’ oleh Soeharto
Hubungan baik antara Konghucu dan negara itu tidak berlangsung lama. Maret 1967 menjadi awal masa kelam Konghucu di Indonesia. Penyebabnya cukup jelas: Soeharto menjadi presiden kedua Indonesia dengan semangat anti-komunisme, dan Konghucu dipandang memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Disertasi Evi Lina Sutrisno berjudul Negotiating the Confucian Religion in Indonesia: Invention, Resilience and Revival menyebutkan bahwa militer Indonesia menuduh orang-orang Tionghoa membantu PKI melakukan percobaan kudeta. Tuduhan ini melahirkan sentimen anti-Tionghoa yang kuat bukan hanya dari kalangan pemerintah, melainkan juga dari masyarakat sendiri. Puncaknya, pada 1967 Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 yang melarang ekspresi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di ruang publik.
Sebenarnya Kongucu pada titik itu masih diakui pemerintah sebagai agama. Ini dibuktikan dengan adanya kongres Gabungan Perkumpulan Agama Konghucu Se-Indonesia (GAPAKSI) pada Agustus 1967 yang dihadiri Soeharto. Dalam kongres ini, Soeharto menyebut Konghucu sebagai agama yang telah mapan, dalam arti sesuai dengan Pancasila. Agama, dalam pandangan Soeharto, diperlukan untuk memberantas komunisme.
Namun demikian, Soeharto kemudian mulai merasa gerah dengan masyarakat peranakan Tionghoa yang menurutnya terlalu menutup diri dalam bersosialisasi dengan pribumi, yang sedikit banyak merupakan imbas dari politik segregasi kolonial. Orde baru, karenanya, berupaya men-“desinisasi” agama dan tradisi Tionghoa dengan cara mengasimilasikan tradisi Tionghoa dengan ‘kultur Indonesia’ dan mempromosikan tri-dharma dari agama Buddha, alih-alih dari ajaran Konghucu, dengan alasan bahwa ajaran Buddha telah mengakar lama dan menyumbang nilai-nilai luhur bagi peradaban Nusantara.
Sejak 1973, pemerintah Orde Baru secara bertahap mulai mengikis eksistensi Konghucu sebagai agama yang diakui negara dengan mula-mula menghapus divisi Konghucu di Kemenag. Menurut Evi Sutrisno, ada dua sebab mengapa Konghucu mulai tidak diakui, yaitu sebab kultural dan religius. Sebab kulturalnya adalah bahwa Konghucu dianggap cenderung lebih dekat pada budaya Tionghoa alih-alih Indonesia. Oleh karenanya, mereka dipandang sebagai masyarakat yang eksklusif terhadap tradisi-tradisi lokal. Dalam konteks agama, pemerintahan Soeharto melihat Konghucu sebagai agama yang tidak memiliki perhatian terhadap konsep eskatologis dan nilai-nilai spiritual. Menteri Agama saat itu, sebagaimana ditulis Suryadinata dalam Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, bahkan melegitimasi pandangan tersebut dengan menyebut Konghucu sebagai suatu filsafat hidup di China, alih-alih sebagai agama. Puncaknya, MATAKIN dibubarkan pada 1979.
Pascabubar, MATAKIN berupaya menafsirkan ulang konsep teologis Konghucu, terutama menyangkut eskatologi. Sejak 1980-an dan seterusnya, MATAKIN telah menugaskan pemimpin keegamaan tingkat tertinggi (xueshi) mereka untuk merumuskan konsep eskatologis ini. Namun, upaya-upaya MATAKIN agar mampu berkompromi dengan standar definisi agama yang dipancangkan Orde Baru tidak membuahkan hasil. Pun demikian, di rentang masa itu hingga jatuhnya Orde Baru, MATAKIN dengan sengaja mempertahankan sematan kata ‘agama’ di nama Konghucu meskipun tidak diakui.
Konghucu Pasca-Reformasi
Di luar konsep eskatologis, pada dasarnya Konghucu telah mempunyai konsep teologis yang sudah memenuhi standar definisi agama di Indonesia. Namun, konteks sosio-politik era Orde Baru menjadikan Konghucu terdepak dari daftar agama-agama yang diakui negara. Masa kelam ini baru berakhir ketika B.J. Habibie menjabat sebagai presiden selepas jatuhnya Soeharto. Mempertimbangkan relevansi UU. PNPS No. 5 Tahun 1969, Menteri Agama pada era B.J. Habibie, Malik Fajar, memberikan pengakuan kembali kepada agama Konghucu, walau kebijakan ini belum secara langsung dapat memperbaiki status politik dan hak sipil umat Konghucu. Misalnya, orang Konghucu pada saat itu masih tidak boleh menjadi anggota MPR, di samping mengalami kesulitan dalam akses terhadap pencatatan sipil.
Keleluasaan baru benar-benar dirasakan oleh umat Konghucu di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada hari-hari pertama pemerintahannya, Gus Dur berdiskusi dengan perwakilan MATAKIN, yakni Bingky Irawan, seorang pemuka Konghucu di Surabaya. Ia meminta Gus Dur untuk mencabut Inpres 14/1967 yang melarang ekspresi publik dari para penganut Konghucu. Permintaan itu disambut oleh Gus Dur dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 tentang penghapusan Inpres No. 14 Tahun 1967. Sejak saat itu hingga kini, perayaan Imlek dapat diselenggarakan di ruang publik.
Semangat Gus Dur untuk mengakhiri diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa dan para penganut Konghucu ini diteruskan oleh presiden-presiden selanjutnya. Megawati (2001 – 2004) menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional dalam Kepres No. 19 Tahun 2002. Saat ini, Konghucu sebagai agama menikmati hak-hak yang kurang lebih setara sebagaimana yang dimiliki agama-agama yang diakui lainnya. Tantangan yang masih berlangsung kini ialah stigma-stigma negatif anti-Tionghoa yang masih berkembang di sejumlah kalangan dan acap kali terungkit tatkala ada momen pemilu yang kental dengan politik identitas.
_______________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.