• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Headline
  • Konservatisme Agama dan Demokrasi

Konservatisme Agama dan Demokrasi

  • Headline, News, Opinions, Perspective
  • 23 June 2017, 21.17
  • Oleh:
  • 0

Zainal Abidin Bagir | CRCS | Opini

Kredit foto: portable soul, dari Flickr.com dengan lisensi creative commons.

Hari-hari ini ada kecemasan luar biasa di antara banyak orang ketika berbicara tentang agama, khususnya Islam. Sementara kekuatan “Islam moderat” Indonesia masih terus dipromosikan para pejabat negara, khususnya di luar negeri, banyak yang kini makin pesimistis.
Di antara banyak peristiwa, sulit dimungkiri bahwa rangkaian peristiwa yang dimulai hampir sembilan bulan silam menjelang Pilkada DKI, dengan beragam cabangnya, menjadi pemicu kecemasan itu. Dua putaran Pilkada DKI berlalu dengan kalahnya Ahok, keinginan Aksi 212 terpenuhi dengan masuknya Ahok ke penjara, namun ketegangan belum berakhir.
Tak sedikit pengamat atau orang awam yang melihat bahwa demokrasi pluralis ala Indonesia ternyata telah gagal ujian, dan Islam moderat sedang runtuh, digantikan Islam konservatif atau intoleran, bahkan radikal. Namun dalam kecemasan, banyak hal menjadi kabur. Sebenarnya apakah yang sedang dicemaskan? Konservatisme, gerakan politk Islam, intoleransi, radikalisme, vigilante atas nama Islam? Di sini penting menempatkan rangkaian peristiwa mutakhir ini dalam rentang historis yang lebih panjang. 
Ketegangan di antara sebagian kelompok muslim dengan kelompok muslim lain atau dengan negara sudah berusia seumur negara ini. Pertanyaan mengenai agama dan dasar negara diajukan oleh para pendiri negara dalam debat-debat keras. Berbagai macam kebijakan, mulai dari pendirian Kementerian Agama, pembuatan UU Penodaan Agama, yang dampaknya terasa hingga kini, adalah bagian dari tarik-menarik itu.
Pada masa Orde Baru, ketegangan tak usai mewarnai berbagai macam kebijakan mulai dari pendidikan, perkawinan, hingga hal yang tampak remeh seperti pencatatan agama dalam kartu tanda penduduk. Setelah 1998, Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, dan karakter negara Indonesia berubah secara signifikan. Beragam kelompok muslim, termasuk yang sebelumnya tak mendapat ruang, menggeliat dengan asertif bersama kekuatan-kekuatan lain. Ide “NKRI Bersyariah”, bukan “negara Islam”, tak bisa serta merta dibungkam.
Sementara partai politik Islam tak menunjukkan prestasi mengagumkan, baik dalam perolehan suaranya maupun kualitas agendanya, aspirasi politik Islam konservatif tampil cukup nyata, diperkuat oleh aliansi-aliansi dengan elit politik. Gagalnya memasukkan kembali penyebutan “syariat” dalam amandemen UUD 1945 dikompensasi dengan munculnya UU yang dianggap mewakili agenda muslim konservatif (misalnya Undang-Undang Pornografi), peraturan-peraturan daerah yang eksklusif, hingga upaya-upaya judicial review atas beberapa undang-undang (mulai dari isu poligami, penodaan agama, hingga, yang sedang berjalan, pasal terkait zina).
Di luar itu, garis-garis batas tentang apa yang dianggap “Islam arus utama” juga ditarik, dengan mengeksklusi kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok-kelompok “sesat” lain. Ini pun sebenarnya bukan fenomena baru. Namun demokrasi pasca-1998 memungkinkan upaya membentuk ulang ruang Indonesia itu berjalan dengan lebih leluasa tanpa ada penguasa yang memastikan siapa yang akan menang atau menjadi dominan. Yang juga baru adalah intensitas dan skalanya. Makin lama garis-garis batas itu tidak hanya ditarik dalam wacana yang keras, namun kerap dipaksakan melalui intimidasi dan kekerasan fisik—beberapa kasus bahkan melibatkan pembunuhan (seperti kasus Ahmadiyah di Cikeusik pada tahun 2011, atau Syiah di Sampang di tahun berikutnya).
Inilah kiranya yang (patut) membuat kita cemas: kekerasan, intimidasi, hasutan dan pemaksaan kehendak, meskipun berbaju tuntutan hukum. Meskipun disebut “Aksi Super Damai”, upaya memenjarakan Ahok mempertotonkan vigilante (pemaksaan atas nama hukum) yang masif, mendapat dukungan luas, bahkan liputan live TV nasional—dan berhasil mencapai tujuannya. Ini adalah puncak dari gerakan vigilante yang dalam skala lebih kecil telah berlangsung tanpa reaksi memadai selama lebih dari sepuluh tahun terakhir.
Seperti ditunjukkan di atas, perjuangan politik muslim sudah berusia panjang. Sebagian orang mungkin berharap bahwa politik berbasis ideologi keagamaan seharusnya sudah lama diganti dengan upaya “mengisi pembangunan”, mengupayakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun kenyataannya tidak demikian.
Maka yang perlu diingatkan adalah bahwa ada banyak cara mempejuangkan aspirasi politik. Meskipun memendam rasa cemas, kita seharusnya bisa membedakan antara perjuangan yang beradab (civil) dan tidak. Sejarah Indonesia kaya dengan khazanah perdebatan ideologis keagamaan yang bermutu tinggi, meskipun kontroversial dan kerap mengandung gesekan keras.
Dalam kaitan ini, pengamatan sejarawan Merle Ricklefs menarik dilihat. Sementara menilai bahwa satu dasawarsa setelah Reformasi 1998 “islamisasi” telah sampai pada titik yang tak bisa diputar balik, di ujung kajian historisnya yang komprehensif ia menstimulasi kita dengan debat filosofis-politis tentang dua pilihan pencapaian kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Yaitu antara kebebasan dan keadilan, yang masing-masing mengandung risiko. Masa depan Indonesia, menurutnya, sebagiannya akan ditentukan oleh filsafat politik mana yang akan lebih berpengaruh dalam masyarakat yang telah terislamisasi.
Tanpa memperdebatkan ini lebih jauh, setidaknya Ricklefs telah mengingatkan betapa penting dan dalamnya isu-isu yang dipertaruhkan. Debat semacam ini jauh lebih penting ketimbang kecenderungan yang kini muncul di kalangan pejabat negara hingga akademia dan masyarakat sipil untuk menegaskan kembali komitmen pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai watak dasar Indonesia. Reaksi ini bisa juga menjadi tidak sehat untuk demokrasi, jika Pancasila dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan bagi kebijakan tak demokratis—apakah itu pelarangan organisasi atau bahkan, yang sempat muncul di media, hingga mengubah cara pemilihan rektor!
Toh Bhinneka Tunggal Ika atau Pancasila tak pernah memiliki tafsir tunggal. Apalagi dalam konteks masa ini yang diwarnai tantangan-tantangan baru akibat globalisasi dan ruang kebebasan Indonesia yang lebih luas. Konservatisme tak perlu menjadi sumber kecemasan. Bagi Indonesia kini, isunya bukan hanya ideologis dan filosofis, tapi sangat praktis: bagaimana negara, khususnya aparat penegak hukum, mampu menjaga ruang deliberasi yang aman itu. Hanya dengan itulah debat yang berkualitas—meskipun keras—bisa berlangsung efektif dan membawa kita pada titik-titik yang lebih tinggi. Penegak hukum seharusnya secara profesional berkonsentrasi di sini. Sebab, taruhannya adalah demokrasi dan pluralisme Indonesia.
Zainal Abidin Bagir, adalah pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada. Artikel ini pertama kali terbit di Majalah Tempo edisi 19-25 Juni 2017.

Tags: aksi bela islam demokrasi indonesia konservatisme agama pilkada Jakarta Zainal Abidin Bagir

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Faith could be cruel. It can be used to wound thos Faith could be cruel. It can be used to wound those we might consider "the other". Yet, rather than abandoning their belief, young queer Indonesians choose to heal by re-imagining it. The Rainbow Pilgrimage is a journey through pain and prayer, where love becomes resistance and spirituality turns into shelter. Amidst the violence, they walk not away from faith, but towards a kinder, more human divine. 

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
H I J A U "Hijau" punya banyak spektrum dan metrum H I J A U
"Hijau" punya banyak spektrum dan metrum, jangan direduksi menjadi cuma soal setrum. Hijau yang sejati ialah yang menghidupi, bukan hanya manusia melainkan juga semesta. Hati-hati karena ada yang pura-pura hijau, padahal itu kelabu. 

Simak kembali perbincangan panas terkait energi panas bumi bersama ahli panas bumi, pegiat lingkungan, dan kelompok masyarakat terdampak di YouTube CRCS UGM.
T E M U Di antara sains yang mencari kepastian, a T E M U

Di antara sains yang mencari kepastian, agama yang mencari makna, dan tradisi yang merawati relasi, kita duduk di ruang yang sama dan mendengarkan gema yang tak selesai. Bukan soal siapa yang benar, melainkan  bagaimana kita tetap mau bertanya. 

Tak sempat gabung? Tak perlu kecewa, kamu dapat menyimak rekamannya di YouTube CRCS.
Dance is a bridge between two worlds often separat Dance is a bridge between two worlds often separated by distance and differing histories. Through Bharata Natyam, which she learned from Indu Mitha, Aslam's dances not only with her body, but also with the collective memory of her homeland and the land she now loves. There is beauty in every movement, but more than that, dance becomes a tool of diplomacy that speaks a language that needs no words. From Indus to Java, dance not only inspires but also invites us to reflect, that even though we come from different backgrounds, we can dance towards one goal: peace and mutual understanding. Perhaps, in those movements, we discover that diversity is not a distance, but a bridge we must cross together.

Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY