Zainal Abidin Bagir | CRCS | Opini
Hari-hari ini ada kecemasan luar biasa di antara banyak orang ketika berbicara tentang agama, khususnya Islam. Sementara kekuatan “Islam moderat” Indonesia masih terus dipromosikan para pejabat negara, khususnya di luar negeri, banyak yang kini makin pesimistis.
Di antara banyak peristiwa, sulit dimungkiri bahwa rangkaian peristiwa yang dimulai hampir sembilan bulan silam menjelang Pilkada DKI, dengan beragam cabangnya, menjadi pemicu kecemasan itu. Dua putaran Pilkada DKI berlalu dengan kalahnya Ahok, keinginan Aksi 212 terpenuhi dengan masuknya Ahok ke penjara, namun ketegangan belum berakhir.
Tak sedikit pengamat atau orang awam yang melihat bahwa demokrasi pluralis ala Indonesia ternyata telah gagal ujian, dan Islam moderat sedang runtuh, digantikan Islam konservatif atau intoleran, bahkan radikal. Namun dalam kecemasan, banyak hal menjadi kabur. Sebenarnya apakah yang sedang dicemaskan? Konservatisme, gerakan politk Islam, intoleransi, radikalisme, vigilante atas nama Islam? Di sini penting menempatkan rangkaian peristiwa mutakhir ini dalam rentang historis yang lebih panjang.
Ketegangan di antara sebagian kelompok muslim dengan kelompok muslim lain atau dengan negara sudah berusia seumur negara ini. Pertanyaan mengenai agama dan dasar negara diajukan oleh para pendiri negara dalam debat-debat keras. Berbagai macam kebijakan, mulai dari pendirian Kementerian Agama, pembuatan UU Penodaan Agama, yang dampaknya terasa hingga kini, adalah bagian dari tarik-menarik itu.
Pada masa Orde Baru, ketegangan tak usai mewarnai berbagai macam kebijakan mulai dari pendidikan, perkawinan, hingga hal yang tampak remeh seperti pencatatan agama dalam kartu tanda penduduk. Setelah 1998, Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, dan karakter negara Indonesia berubah secara signifikan. Beragam kelompok muslim, termasuk yang sebelumnya tak mendapat ruang, menggeliat dengan asertif bersama kekuatan-kekuatan lain. Ide “NKRI Bersyariah”, bukan “negara Islam”, tak bisa serta merta dibungkam.
Sementara partai politik Islam tak menunjukkan prestasi mengagumkan, baik dalam perolehan suaranya maupun kualitas agendanya, aspirasi politik Islam konservatif tampil cukup nyata, diperkuat oleh aliansi-aliansi dengan elit politik. Gagalnya memasukkan kembali penyebutan “syariat” dalam amandemen UUD 1945 dikompensasi dengan munculnya UU yang dianggap mewakili agenda muslim konservatif (misalnya Undang-Undang Pornografi), peraturan-peraturan daerah yang eksklusif, hingga upaya-upaya judicial review atas beberapa undang-undang (mulai dari isu poligami, penodaan agama, hingga, yang sedang berjalan, pasal terkait zina).
Di luar itu, garis-garis batas tentang apa yang dianggap “Islam arus utama” juga ditarik, dengan mengeksklusi kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok-kelompok “sesat” lain. Ini pun sebenarnya bukan fenomena baru. Namun demokrasi pasca-1998 memungkinkan upaya membentuk ulang ruang Indonesia itu berjalan dengan lebih leluasa tanpa ada penguasa yang memastikan siapa yang akan menang atau menjadi dominan. Yang juga baru adalah intensitas dan skalanya. Makin lama garis-garis batas itu tidak hanya ditarik dalam wacana yang keras, namun kerap dipaksakan melalui intimidasi dan kekerasan fisik—beberapa kasus bahkan melibatkan pembunuhan (seperti kasus Ahmadiyah di Cikeusik pada tahun 2011, atau Syiah di Sampang di tahun berikutnya).
Inilah kiranya yang (patut) membuat kita cemas: kekerasan, intimidasi, hasutan dan pemaksaan kehendak, meskipun berbaju tuntutan hukum. Meskipun disebut “Aksi Super Damai”, upaya memenjarakan Ahok mempertotonkan vigilante (pemaksaan atas nama hukum) yang masif, mendapat dukungan luas, bahkan liputan live TV nasional—dan berhasil mencapai tujuannya. Ini adalah puncak dari gerakan vigilante yang dalam skala lebih kecil telah berlangsung tanpa reaksi memadai selama lebih dari sepuluh tahun terakhir.
Seperti ditunjukkan di atas, perjuangan politik muslim sudah berusia panjang. Sebagian orang mungkin berharap bahwa politik berbasis ideologi keagamaan seharusnya sudah lama diganti dengan upaya “mengisi pembangunan”, mengupayakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Namun kenyataannya tidak demikian.
Maka yang perlu diingatkan adalah bahwa ada banyak cara mempejuangkan aspirasi politik. Meskipun memendam rasa cemas, kita seharusnya bisa membedakan antara perjuangan yang beradab (civil) dan tidak. Sejarah Indonesia kaya dengan khazanah perdebatan ideologis keagamaan yang bermutu tinggi, meskipun kontroversial dan kerap mengandung gesekan keras.
Dalam kaitan ini, pengamatan sejarawan Merle Ricklefs menarik dilihat. Sementara menilai bahwa satu dasawarsa setelah Reformasi 1998 “islamisasi” telah sampai pada titik yang tak bisa diputar balik, di ujung kajian historisnya yang komprehensif ia menstimulasi kita dengan debat filosofis-politis tentang dua pilihan pencapaian kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Yaitu antara kebebasan dan keadilan, yang masing-masing mengandung risiko. Masa depan Indonesia, menurutnya, sebagiannya akan ditentukan oleh filsafat politik mana yang akan lebih berpengaruh dalam masyarakat yang telah terislamisasi.
Tanpa memperdebatkan ini lebih jauh, setidaknya Ricklefs telah mengingatkan betapa penting dan dalamnya isu-isu yang dipertaruhkan. Debat semacam ini jauh lebih penting ketimbang kecenderungan yang kini muncul di kalangan pejabat negara hingga akademia dan masyarakat sipil untuk menegaskan kembali komitmen pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai watak dasar Indonesia. Reaksi ini bisa juga menjadi tidak sehat untuk demokrasi, jika Pancasila dijadikan alat untuk mendapatkan dukungan bagi kebijakan tak demokratis—apakah itu pelarangan organisasi atau bahkan, yang sempat muncul di media, hingga mengubah cara pemilihan rektor!
Toh Bhinneka Tunggal Ika atau Pancasila tak pernah memiliki tafsir tunggal. Apalagi dalam konteks masa ini yang diwarnai tantangan-tantangan baru akibat globalisasi dan ruang kebebasan Indonesia yang lebih luas. Konservatisme tak perlu menjadi sumber kecemasan. Bagi Indonesia kini, isunya bukan hanya ideologis dan filosofis, tapi sangat praktis: bagaimana negara, khususnya aparat penegak hukum, mampu menjaga ruang deliberasi yang aman itu. Hanya dengan itulah debat yang berkualitas—meskipun keras—bisa berlangsung efektif dan membawa kita pada titik-titik yang lebih tinggi. Penegak hukum seharusnya secara profesional berkonsentrasi di sini. Sebab, taruhannya adalah demokrasi dan pluralisme Indonesia.
Zainal Abidin Bagir, adalah pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada. Artikel ini pertama kali terbit di Majalah Tempo edisi 19-25 Juni 2017.