Kristenisasi dan Modernisasi Meminggirkan ‘Agama Batak’
Zulfikar RH Pohan – 16 Nov 2020
Banyak anggapan umum yang mengidentikkan ‘agama Batak’ dengan Kristen Protestan. Bahkan ada ungkapan ‘kemana pun Orang Batak pergi ia akan selalu membawa gerejanya’. Anggapan ini turut dibuktikan dengan tersebarnya gereja Batak Protestan seperti HKBP, HKI, GKI dsb di seantero Indonesia.
Namun, sejarah masuknya Kristen di Batak tidak muncul semata-mata dari dinamika internal masyarakat Batak itu sendiri, tetapi juga melalui upaya Kristenisasi dari pihak kolonial Belanda yang berkali-kali bergesekan dengan politik kekuasaan lokal di Batak. Upaya Kristenisasi kolonial untuk mengkristenkan Batak secara total gencar terlaksana dengan datangnya missionaris RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) Jerman bernama Ludwig Ingwer Nommensen.
Nommensen dikenal sebagai ‘rasul orang Batak’ dan ia bisa disebut sebagai tokoh kunci dalam perubahan agama, kebudayaan, dan tradisi Batak. Nama Nommensen sendiri cukup dikenal di Sumatera Utara karena ialah yang membawa modernisasi ke Batak. Ia seringkali digambarkan sebagai misionaris yang menyelamatkan Batak dari kegelapan masyarakat pagan yang kanibal dan misterius. Bagaimana lebih detailnya modernisasi dan Kristenisasi ini berjalan dalam sejarahnya?
Dari Perang Padri hingga Kristenisasi
Munculnya niat untuk memperadabkan daerah jajahan Belanda sebagai politik hutang budi melatarbelakangi banyak kebijakan kolonial. Salah satu bentuk penerapan dari politik ini ialah pengiriman para missionaris ke Batak atau dikenal dengan Batakmission. Pada praktiknya, pengiriman missionaris ke Batak juga mempunyai misi melanggengkan kekuasaan kolonial seperti penguasaan tanah dan kontrol sosial. Namun, misi Kristenisasi ini harus waspada pada dua hal, yaitu agama adat pengikut Sisingamangaraja dan kelompok Islam Aceh dan Melayu yang mengapit Batak.
Untuk lebih dalam melihat sejarah Agama Batak, Jan S Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) menyebutkan pentingnya tahun 1818 sebagai momen pembuka dinamika agama di Batak. Pada tahun itu, kelompok ‘Islam puritan’ yang disebut golongan Padri melakukan ekspansi besar-besaran di Batak dibawah komando Tuanku Nan Receh dan menyebarkan Islam ke tanah Batak dengan jalan pedang.
Pasukan Padri membantai orang Batak yang enggan menukar agama mereka dengan Islam. Bahkan Sisingamangaraja X meninggal di tangan pasukan Padri. Pasukan Padri hanya takluk oleh wabah penyakit di pusat kekuasaan Raja Batak yang disebabkan oleh mayat-mayat manusia korban perang yang berserakan dan membusuk. Ekpansi Padri megislamkan pusat Batak gagal, sehingga pada 1820 pasukan Padri bergerak ke selatan dan secara berangsur-angsur mengislamkan daerah Sipirok, Angkola, Natal, dan Mandailing.
Tak lama setelah pasukan Padri hengkang dari pusat wilayah Batak, pada tahun 1834 dua misionaris dari Gereja Baptis Amerika bernama Samuel Munson dan Henry Lyman mencoba mengkristenkan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu. Namun kedatangan dua misionaris itu tidak diterima dengan baik. Malangnya, mereka dibunuh karena rasa trauma dakwah agama pada masa datangnya pasukan Padri. Dalam versi yang lebih ekstrem yang sering dikisahkan dalam cerita lokal Kristen Batak, mayat kedua penginjil tersebut dibawa ke pasar dan dimakan oleh penduduk lokal.
Dengan latar belakang seperti itu, diaturlah rencana matang pembagian wilayah pada tahun 1861 antara Zending Ermelo dan Zending RMG. Pembagian wilayah mempertimbangkan mana kelompok masyarakat yang masih beragama lokal dan mana yang beragama Islam. Kecenderungan para penginjil kolonial awal lebih mengutamakan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu. Untuk memuluskan misi kristenisasi di Tanah Batak dari gangguan pasukan Padri yang telah berkembang di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menciptakan segregasi wilayah untuk memisahkan Aceh dan Sumatera Barat dari Batak (Sumatera Utara). Batak dengan demikian harus menjadi wilayah di bawah monopoli pemerintahan Hindia Belanda.
Dengan kondisi demikian, Nommensen hadir sebagai missionaris yang berbeda dari para pendahulunya. Ia digambarkan oleh Steenbrink dan Aritonang dalam A History of Christianity in Indonesia (2008) sebagai orang berkepribadiaan lugas, mampu berbahasa Batak, dan mengetahui serta menghormati adat Batak. Nommensen dengan identitas sebagai orang Jerman namun fasih berbahasa Batak berhasil merangkul Raja Pontas Lumbangtobing untuk membaptis masyarakat Batak di Silindung sampai menyebar ke Pearaja (Tapanuli Tengah).
Selaras dengan keberhasilan Nommensen, Belanda masuk ke Tapanuli dan mengubah paradigma hukum lokal dan sistem bius menjadi hukum-hukum liberal Agrarische Wet 1870. Upaya mengkapitalisasi tanah orang Tapanuli mustahil terjadi tanpa gerakan missionaris Kristen.
Di samping merangkul penduduk Tapanuli untuk mendukung hukum agraria liberal, Nommensen sebagai agamawan dan guru juga mengisi peran mengajari penduduk Tapanuli untuk bertukang, menjahit, berhitung, dan baca tulis agar dapat dipekerjakan sebagai buruh upahan di tanah garapan kolonial, sementara para perempuan diajari pengobatan modern untuk menggantikan peran para datuk dalam bidang obat-obatan tradisional.
Di Balik Kristenisasi Batak
Misi dekulturisasi dan depaganisasi yang dilakukan Nommensen disebut dalam A History of Christianity in Indonesia dengan cara melarang adat-adat yang berhubungan dengan identitas Batak dan ritual Sipelebegu seperti tor-tor dan gondang. Namun ada beberapa aspek adat Batak yang diadopsi menjadi bagian dari teologi Kekristenan Batak. Konsep spiritual lokal Batak mengenai Debata Natolu, misalnya, ditafsirkan ulang dengan mengacu pada konsep trinitas Kristen. Masuknya nama Debata sebagai nama pencipta di dalam Alkitab yang diterjemahkan oleh Nommensen dan P.H Johannsen pada tahun 1874 menjadi satu langkah agar teologi Kristen lebih diterima masyarakat Batak.
Suksesnya kolonialisasi di Batak dan upaya memodernkan Batak berbanding lurus dengan kuatnya agama Kristen Protestan di Batak. Dengan kata lain, kemana pun pengaruh Nommensen tersebar, kekuasaan kolonial menyertainya. Kristenisasi pun turut menjadi pemantik pecahnya perang Batak. Pengaruh Nommensen dalam mengubah adat, membuat pendidikan formal Kristen pada anak muda, dan memberikan stigma buruk pada kepercayaan lokal semakin besar. Dengan kekuatan itu pula, Nommensen dan rekan-rekannya sesama penginjil mencoba menyiasati Belanda untuk membangun benteng di Bahal Batu untuk melancarkan proyek kolonialisasi dan Kristenisasi dari gangguan dan upaya pengusiran oleh para pengikut Sisingamangaraja XII.
Membangun benteng di wilayah Sisingamangaraja XII sama saja mengumumkan perang. Pada 16 Februari 1878 Sisingamangaraja XII mengumumkan perang Batak, beraliansi dengan Sultan Aceh dan Raja Trumon. Namun perlawanan Sisingamangaraja pada akhirnya surut pada kisaran tahun 1900-an. Pasca-perang Batak, agama Kristen jauh lebih leluasa menyebar di tanah Batak. Pengaruh Nommensen telah sampai di Toba dan Angkola, daerah pusat kebudayaan Batak.
Wafatnya Sisingamangaraja XII pada 1907 menjadi puncak terlucutinya kekuasaan adat lokal dan pada gilirannya penyebaran agama Kristen lewat Zending RMG semakin gencar. Ini berdampak pada semakin terpinggirkannya pengikut Sisingamangaraja XII yang kemudian berhimpun dalam Ugamo Parmalim.
Di Balik Penyebaran Agama Dunia
Tak sepenuhnya gerakan Nommensen berupa dekulturisasi dan depaganisasi. Meskipun membawa tradisi Barat ke Batak, Nommensen berusaha mengawinkan ajaran Kristen dengan tradisi lokal Batak, sehingga secara sepintas tampak bahwa Kristen ‘menyempurnakan’ agama Batak. Di gereja Batak seperti HKBP, GKPI, HKI dsb yang menjadi warisan Nommensen, penganut Kristen bisa menampilkan kebatakannya dan kekristenannya sekaligus.
Untuk mengenang jasa Nommensen, dengan sokongan bantun dari Zending Jerman, jaringan gereja HKBP mendirikan monumen “Salib Kasih” di Silindung sebagai simbol rasa terimakasih kepada Nommensen. Namun demikian, monumen tersebut dapat dibaca juga dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sebagai tanda kukuhnya pengaruh Belanda dalam menggeser kekuatan pengikut Sisingamangaraja XII.
Seturut pola yang terjadi di banyak wilayah lain di Nusantara, sejarah perubahan agama di Batak juga merupakan sejarah penyebaran agama dunia yang ditopang oleh kekuasaan dengan kepentingan ‘memperadabkan masyarakat yang primitif’ dan menguasai sumber daya ekonomi. Dampaknya yang masih terasa hingga kini ada minimal dalam tiga aspek: terpinggirkannya kepercayaan lokal Batak sebagai representasi ‘agama Batak’, munculnya dikotomi antara agama Batak versus adat Batak, serta terpisahnya sejarah Batak dari Aceh-Melayu.
_______________________
Zulfikar Riza Haris Pohan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Zulfikar lainnya di sini.
such a nice paragraph tho