• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Kristenisasi dan Modernisasi Meminggirkan ‘Agama Batak’

Kristenisasi dan Modernisasi Meminggirkan ‘Agama Batak’

  • Perspective
  • 16 November 2020, 19.47
  • Oleh: CRCS UGM
  • 1

Kristenisasi dan Modernisasi Meminggirkan ‘Agama Batak’

Zulfikar RH Pohan – 16 Nov 2020

Banyak anggapan umum yang mengidentikkan ‘agama Batak’ dengan Kristen Protestan. Bahkan ada ungkapan ‘kemana pun Orang Batak pergi ia akan selalu membawa gerejanya’. Anggapan ini turut dibuktikan dengan tersebarnya gereja Batak Protestan seperti HKBP, HKI, GKI dsb di seantero Indonesia.

Namun, sejarah masuknya Kristen di Batak tidak muncul semata-mata dari dinamika internal masyarakat Batak itu sendiri, tetapi juga melalui upaya Kristenisasi dari pihak kolonial Belanda yang berkali-kali bergesekan dengan politik kekuasaan lokal di Batak. Upaya Kristenisasi kolonial untuk mengkristenkan Batak secara total gencar terlaksana dengan datangnya missionaris RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) Jerman bernama Ludwig Ingwer Nommensen.

Nommensen dikenal sebagai ‘rasul orang Batak’ dan ia bisa disebut sebagai tokoh kunci dalam perubahan agama, kebudayaan, dan tradisi Batak. Nama Nommensen sendiri cukup dikenal di Sumatera Utara karena ialah yang membawa modernisasi ke Batak. Ia seringkali digambarkan sebagai misionaris yang menyelamatkan Batak dari kegelapan masyarakat pagan yang kanibal dan misterius. Bagaimana lebih detailnya modernisasi dan Kristenisasi ini berjalan dalam sejarahnya?

Dari Perang Padri hingga Kristenisasi

Munculnya niat untuk memperadabkan daerah jajahan Belanda sebagai politik hutang budi melatarbelakangi banyak kebijakan kolonial. Salah satu bentuk penerapan dari politik ini ialah pengiriman para missionaris ke Batak atau dikenal dengan Batakmission. Pada praktiknya, pengiriman missionaris ke Batak juga mempunyai misi melanggengkan kekuasaan kolonial seperti penguasaan tanah dan kontrol sosial. Namun, misi Kristenisasi ini harus waspada pada dua hal, yaitu agama adat pengikut Sisingamangaraja dan kelompok Islam Aceh dan Melayu yang mengapit Batak.

Untuk lebih dalam melihat sejarah Agama Batak, Jan S Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) menyebutkan pentingnya tahun 1818 sebagai momen pembuka dinamika agama di Batak. Pada tahun itu, kelompok ‘Islam puritan’ yang disebut golongan Padri melakukan ekspansi besar-besaran di Batak dibawah komando Tuanku Nan Receh dan menyebarkan Islam ke tanah Batak dengan jalan pedang.

Pasukan Padri membantai orang Batak yang enggan menukar agama mereka dengan Islam. Bahkan Sisingamangaraja X meninggal di tangan pasukan Padri. Pasukan Padri hanya takluk oleh wabah penyakit di pusat kekuasaan Raja Batak yang disebabkan oleh mayat-mayat manusia korban perang yang berserakan dan membusuk. Ekpansi Padri megislamkan pusat Batak gagal, sehingga pada 1820 pasukan Padri bergerak ke selatan dan secara berangsur-angsur mengislamkan daerah Sipirok, Angkola, Natal, dan Mandailing.

Tak lama setelah pasukan Padri hengkang dari pusat wilayah Batak, pada tahun 1834 dua misionaris dari Gereja Baptis Amerika bernama Samuel Munson dan Henry Lyman mencoba mengkristenkan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu. Namun kedatangan dua misionaris itu tidak diterima dengan baik. Malangnya, mereka dibunuh karena rasa trauma dakwah agama pada masa datangnya pasukan Padri. Dalam versi yang lebih ekstrem yang sering dikisahkan dalam cerita lokal Kristen Batak, mayat kedua penginjil tersebut dibawa ke pasar dan dimakan oleh penduduk lokal.

Dengan latar belakang seperti itu, diaturlah rencana matang pembagian wilayah pada tahun 1861 antara Zending Ermelo dan Zending RMG. Pembagian wilayah mempertimbangkan mana kelompok masyarakat yang masih beragama lokal dan mana yang beragama Islam. Kecenderungan para penginjil kolonial awal lebih mengutamakan orang Batak yang masih beragama Sipelebegu. Untuk memuluskan misi kristenisasi di Tanah Batak dari gangguan pasukan Padri yang telah berkembang di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menciptakan segregasi wilayah untuk memisahkan Aceh dan Sumatera Barat dari Batak (Sumatera Utara). Batak dengan demikian harus menjadi wilayah di bawah monopoli pemerintahan Hindia Belanda.

Dengan kondisi demikian, Nommensen hadir sebagai missionaris yang berbeda dari para pendahulunya. Ia digambarkan oleh Steenbrink dan Aritonang dalam A History of Christianity in Indonesia (2008) sebagai orang berkepribadiaan lugas, mampu berbahasa Batak, dan mengetahui serta menghormati adat Batak. Nommensen dengan identitas sebagai orang Jerman namun fasih berbahasa Batak berhasil merangkul Raja Pontas Lumbangtobing untuk membaptis masyarakat Batak di Silindung sampai menyebar ke Pearaja (Tapanuli Tengah).

Selaras dengan keberhasilan Nommensen, Belanda masuk ke Tapanuli dan mengubah paradigma hukum lokal dan sistem bius menjadi hukum-hukum liberal Agrarische Wet 1870. Upaya mengkapitalisasi tanah orang Tapanuli mustahil terjadi tanpa gerakan missionaris Kristen.

Di samping merangkul penduduk Tapanuli untuk mendukung hukum agraria liberal, Nommensen sebagai agamawan dan guru juga mengisi peran mengajari penduduk Tapanuli untuk bertukang, menjahit, berhitung, dan baca tulis agar dapat dipekerjakan sebagai buruh upahan di tanah garapan kolonial, sementara para perempuan diajari pengobatan modern untuk menggantikan peran para datuk dalam bidang obat-obatan tradisional.

Di Balik Kristenisasi Batak

Misi dekulturisasi dan depaganisasi yang dilakukan Nommensen disebut dalam A History of Christianity in Indonesia dengan cara melarang adat-adat yang berhubungan dengan identitas Batak dan ritual Sipelebegu seperti tor-tor dan gondang. Namun ada beberapa aspek adat Batak yang diadopsi menjadi bagian dari teologi Kekristenan Batak. Konsep spiritual lokal Batak mengenai Debata Natolu, misalnya, ditafsirkan ulang dengan mengacu pada konsep trinitas Kristen. Masuknya nama Debata sebagai nama pencipta di dalam Alkitab yang diterjemahkan oleh Nommensen dan P.H Johannsen pada tahun 1874 menjadi satu langkah agar teologi Kristen lebih diterima masyarakat Batak.

Suksesnya kolonialisasi di Batak dan upaya memodernkan Batak berbanding lurus dengan kuatnya agama Kristen Protestan di Batak. Dengan kata lain, kemana pun pengaruh Nommensen tersebar, kekuasaan kolonial menyertainya. Kristenisasi pun turut menjadi pemantik pecahnya perang Batak. Pengaruh Nommensen dalam mengubah adat, membuat pendidikan formal Kristen pada anak muda, dan memberikan stigma buruk pada kepercayaan lokal semakin besar. Dengan kekuatan itu pula, Nommensen dan rekan-rekannya sesama penginjil mencoba menyiasati Belanda untuk membangun benteng di Bahal Batu untuk melancarkan proyek kolonialisasi dan Kristenisasi dari gangguan dan upaya pengusiran oleh para pengikut Sisingamangaraja XII.

Membangun benteng di wilayah Sisingamangaraja XII sama saja mengumumkan perang. Pada 16 Februari 1878 Sisingamangaraja XII mengumumkan perang Batak, beraliansi dengan Sultan Aceh dan Raja Trumon. Namun perlawanan Sisingamangaraja pada akhirnya surut pada kisaran tahun 1900-an. Pasca-perang Batak, agama Kristen jauh lebih leluasa menyebar di tanah Batak. Pengaruh Nommensen telah sampai di Toba dan Angkola, daerah pusat kebudayaan Batak.

Wafatnya Sisingamangaraja XII pada 1907 menjadi puncak terlucutinya kekuasaan adat lokal dan pada gilirannya penyebaran agama Kristen lewat Zending RMG semakin gencar. Ini berdampak pada semakin terpinggirkannya pengikut Sisingamangaraja XII yang kemudian berhimpun dalam Ugamo Parmalim.

Di Balik Penyebaran Agama Dunia

Tak sepenuhnya gerakan Nommensen berupa dekulturisasi dan depaganisasi. Meskipun membawa tradisi Barat ke Batak, Nommensen berusaha mengawinkan ajaran Kristen dengan tradisi lokal Batak, sehingga secara sepintas tampak bahwa Kristen ‘menyempurnakan’ agama Batak. Di gereja Batak seperti HKBP, GKPI, HKI dsb yang menjadi warisan Nommensen, penganut Kristen bisa menampilkan kebatakannya dan kekristenannya sekaligus.

Untuk mengenang jasa Nommensen, dengan sokongan bantun dari Zending Jerman, jaringan gereja HKBP mendirikan monumen “Salib Kasih” di Silindung sebagai simbol rasa terimakasih kepada Nommensen. Namun demikian, monumen tersebut dapat dibaca juga dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sebagai tanda kukuhnya pengaruh Belanda dalam menggeser kekuatan pengikut Sisingamangaraja XII.

Seturut pola yang terjadi di banyak wilayah lain di Nusantara, sejarah perubahan agama di Batak juga merupakan sejarah penyebaran agama dunia yang ditopang oleh kekuasaan dengan kepentingan ‘memperadabkan masyarakat yang primitif’ dan menguasai sumber daya ekonomi. Dampaknya yang masih terasa hingga kini ada minimal dalam tiga aspek: terpinggirkannya kepercayaan lokal Batak sebagai representasi ‘agama Batak’, munculnya dikotomi antara agama Batak versus adat Batak, serta terpisahnya sejarah Batak dari Aceh-Melayu.

_______________________

Zulfikar Riza Haris Pohan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Zulfikar lainnya di sini.

Tags: zulfikar pohan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Comment (1)

  1. Dion 9 months ago

    such a nice paragraph tho

    Reply

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju