Lakoat.Kujawas dan Ikhtiar Revitalisasi Desa Berbasis Adat di NTT
Inasshabihah – 15 Jan 2019
Dalam presentasinya di Wednesday Forum CRCS-ICRS pada 28 November 2018, Dicky Senda berbagi pengalaman dalam merevitalisasi desa yang ia lakukan melalui Lakoat.Kujawas, komunitas berisi para pemuda Timor yang bertujuan memberdayakan masyarakat lokal di sekitar Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dengan mengembangkan literasi dan wirausaha sosial berbasis adat. Dicky sendiri adalah seorang penulis yang telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya buku puisi berjudul Cerah Hati (2011) dan buku kumpulan cerita pendek berjudul Kanuku Leon (2013). Buku terbarunya berjudul Sai Rai terbit tahun lalu.
Menguraikan budaya Mollo, Dicky memaparkan bahwa di masa lampau masyarakat lokal Mollo percaya pada kekuatan arwah yang hidup di hutan, sungai, gunung, dan bebatuan. Dulu, mereka hidup di gua, lalu pindah ke luar gua dan mendirikan rumah berbentuk bulat yang mereka sebut umekebubu. Lebih dari sekadar rumah, umekebubu dianggap sakral karena merepresentasikan para leluhur, sehingga mereka pun menunduk tiap kali memasuki rumah ini sebagai bentuk hormatnya kepada leluhur yang diyakini menghuni rumah.
Selain sakral, umekebubu mencerminkan konsep kesetaraan. Anak-anak, perempuan, dan lelaki duduk dalam posisi yang sama. Setiap rumah tradisional ini memiliki tiang utama yang disebut “tiang perempuan” dan di situlah kompor berada. Tradisi ini dapat dimaknai bahwa perempuan atau istri memegang posisi penting dalam rumah tangga. Merekalah yang mengatur keberlangsungan kehidupan di dalam rumah, utamanya dalam hal persediaan makanan. Selain sebagai tempat tinggal, umekebubu juga mencerminkan nafas tradisi Mollo, yang seiring berjalannya waktu turut digerus oleh perubahan-perubahan yang dibawa gelombang modernisasi.
Perubahan pertama dibawa masuk di era kolonial. Belanda memasuki Mollo dan membangun jalan sehingga masyarakat harus pindah ke tempat yang lebih jauh dari hutan dan gunung. Perpindahan ini otomatis mengubah pola perkampungan adat. Meski terlihat sepele, perpindahan masyarakat dari kehidupan yang lekat dengan gunung, mata air, bebatuan, dan umekebubu pada gilirannya juga mengubah pola hidup dan praktik tradisi.
Peristiwa tahun 1965 di Indonesia juga punya peran dalam perubahan dan rentetan masalah yang timbul setelahnya. Tradisi masyarakat adat pelan-pelan terkikis karena mereka diharuskan memilih satu dari agama-agama yang diakui di Indonesia pada era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, tutur Dicky, rumah-rumah tradisional umekebubu dibakar, digantikan oleh Rumah Sehat yang merupakan program pemerintah, didirikan dengan semen dan atap. Perubahan makin masif seiring munculnya kebijakan perkebunan industri dan masuknya pertambangan ke Mollo. Hutan-hutan adat hancur digantikan lahan proyek pemerintah bernama Hutan Tanaman Industri (HTI).
Perubahan ini berakibat pada tergerusnya identitas adat masyarakat Mollo. Dengan digilasnya hutan, hilangnya situs sakral, dan paksaan memeluk agama tertentu menjadikan kepercayaan adat dan tradisi mereka memunah. Hilangnya hutan juga berarti perubahan pola pekerjaan. Para pemuda berganti profesi menjadi karyawan industry, dan banyak yang memilih merantau menjadi tenaga kerja di negeri jiran atau pekerja perkebunan sawit di daerah lain, satu hal yang ditemukan komunitas Lakoat Kujawas kala melakukan pemetaan di desa kecil Taiftob.
Namun demikian, bukan berarti tak ada perlawanan sama sekali. Pada 2004, ratusan perempuan Mollo menenun di antara mesin-mesin tambang sebagai bentuk perlawanan budaya mereka terhadap keserakahan industri. Dicky dan kawan-kawannya memikirkan persoalan ini dan mulai menyusun upaya merevitalisasi desa dan memberdayakan kembali warganya dengan berdasar pada tradisi adat masyarakat Mollo sendiri.
Ikhtiar-ikhtiar Lakoat.Kujawas
Dicky memaparkan bahwa Lakoat.Kujawas ingin membuka ruang-ruang kesempatan yang lebih besar terutama bagi perempuan dan anak-anak. Selama 10 tahun Dicky menyelami konsep aktivitasme komunitas di Yogyakarta dan Kupang. Dari sinilah ia belajar dan mulai merencanakan lahirnya Lakoat.Kujawas. Dicky dan kawan-kawannya berusaha memastikan ide-ide dasar mengenai identitas, nilai, dan perkara organisasional memiliki pijakan yang kuat. Lakoat Kujawas akhirnya lahir menyatukan masyarakat yang aktif dalam suatu ekosistem yang kreatif. Nama Lakoat.Kujawas sendiri diambil dari dua kata, yaitu lakoat yang berarti buah dan kujawas yang berarti jambu.
Dulu, masyarakat Mollo memiliki tradisi bernama elaf, semacam pesta adat tempat masyarakat berkumpul guna membaca puisi dan pantun yang berisi cerita sejarah masyarakat mereka. Tradisi ini telah hilang. Kini, Lakoat.Kujawas mengadaptasi elaf, menjadikannya sebuah “sekolah budaya” tempat anak-anak mengembangkan kemampuan mereka melalui kegiatan membaca, menulis, menyanyi, menari, dan bermain teater. Kegiatan ini bertujuan menumbuhkan literasi anak didik dan memupuk rasa percaya diri dan kebanggaan pada adat dan tradisi mereka sendiri.
Lakoat.Kujawas memberi kesempatan bagi anak-anak muda untuk mempelajari lagi seni tradisional, salah satunya seni berbicara, langsung dari para pemuka tradisi yang menguasai tradisi oral, seperti bonet dan natoni. Bagi remaja, kelas menenun dibuka secara gratis, bekerja sama dengan sekolah-sekolah di desa. Anak-anak muda juga terlibat dalam diskusi, menonton film bersama, dan pagelaran pameran foto yang mempertunjukkan foto-foto lawas dari desa mereka. Lakoat.Kujawas juga mengundang arsitek untuk mendirikan kembali umekebubu, karena mereka yakin melalui rumah itulah mereka dapat merekonstruksi bukan hanya memori tetapi juga pengetahuan mengenai identitas adat mereka. Bersama masyarakat sekitar, komunitas ini juga menanam kembali sorgum yang sebelumnya dilarang akibat politik nasi rezim Soeharto.
Dengan menggali kekayaan budaya lokal, Lakoat.Kujawas ingin menguatkan memori manis tentang masa kecil di desa untuk memberdayakan generasi muda. Gerakan lokal ini menerima sambutan hangat dari masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa modernisasi tak seharusnya menghilangkan identitas budaya lokal.
Yang tak kalah menarik, Lakoat.Kujawas membuka program residensi setiap tahun. Seniman dari Yogyakarta, Makassar, hingga Birmingham (Inggris) datang dan bekerja sama dengan masyarakat lokal. Program ini dibuka juga bagi peneliti, arsitek, mahasiswa, atau pengajar. Ini menjadi kesempatan istimewa bagi orang-orang Indonesia terutama untuk mempelajari budaya negeri sendiri sekaligus memahami perjuangan suatu masyarakat mempertahankan identitas di tengah gempuran modernisasi.
Sebagai organisasi nonprofit, Lakoat.Kujawas mengadaptasi sistem kewirausahaan sosial (social enterprise). Mereka menjual produk lokal seperti kopi, jagung bose, sambal lu’at, dan kain tenun melalui media sosial untuk mendukung keseluruhan program-program komunitas. Selain disisakan sepuluh hingga lima belas persen untuk peyelenggaraan program, laba dari penjualan tentunya dibagi kepada para pemilik usaha.
Menulis: Merekam Tradisi
Jalan lainnya dalam kerangka kewirausahaan sosial ini ialah dengan menulis dan menerbitkan buku yang ditulis langsung oleh masyarakat lokal. Salah satu di antara yang sudah terbit adalah buku berjudul Berawal dari Tanda Salib di Rumah Sang Klerek, yang berisi sejarah desa dari perspektif gereja Katolik. Ada juga buku Dongeng dari Kap Na’m to Fena, sebuah kumpulan cerita pendek sebagai hasil dari program Lighthouse, tempat komunitas ini menyelenggarakan kelas menulis kreatif bekerja sama dengan sekolah-sekolah. Buku ketiga yang saat ini sedang dalam proses penulisan adalah sebuah kumpulan dongeng. Untuk menjadikannya berbeda, Lakoat.Kujawas mengundang orang-orang tua di desa untuk datang dan bercerita, sedangkan anak muda menulis kisah itu. Pada akhirnya, Lakoat.Kujawas merevitalisasi desa dengan mempererat hubungan anak muda dan orang tua.
Lakoat.Kujawas juga menyusun program napak tilas warisan kayu cendana (Sandalwood Heritage Trail) yang diniatkan untuk mengenang kembali apa yang terjadi di masa lalu ketika masyarakat berdagang menggunakan kayu cendana. Mereka menulis ulang cerita-cerita itu, sehingga program ini bisa jadi bagian dari sekolah budaya bagi masyarakat lokal, juga guna menjadi sarana bagi para turis untuk mengenal Mollo lewat rumah-rumah adat, hutan, atau bebatuan yang menjadi titik-titik untuk menapaktilasi sejarah.
Saat sesi tanya jawab, seorang peserta diskusi bertanya bagaimana masyarakat Mollo menghadapi eksploitasi pertambangan. Dicky menjelaskan bahwa sebelumnya, pada tahun 1980-an, penambang masuk ke Mollo bersamaan dengan HTI. Bisa ditebak, organisasi ini kemudian menggerus tradisi adat. Mereka yang berpegang pada filosofi bahwa “batu adalah tulang, tanah adalah dagung, hutan adalah rambut, dan air adalah darah”, menjadi hilang identitasnya setelah diterjang korporasi. Mereka kehilangan gunung Nausus (yang berarti “yang menyusui”), sebuah gunung berbentuk payudara yang dianggap sakral sebagai sumber mata air. Korporasi menghancurkan salah satu gunung Nausus, yang pada gilirannya juga menghilangkan akses untuk menjalankan ritual, terutama sejak hutan ulayat mendapatkan status baru sebagai hutan lindung. Dicky menambahkan bahwa kini kondisinya makin rumit seturut adanya beberapa pihak dari masyarakat Mollo yang berdiri di dua pihak; mereka seolah membela masyarakat Mollo, tetapi juga mendukung proyek korporasi. Inilah yang menurut Dicky berpotensi memecah soliditas masyarakat dalam mempertahankan tradisi.
Namun demikin, Lakoat.Kujawas terus bergerak memperluas jaringan mereka dan menyebarkan pesan mengenai pentingnya memberdayakan masyarakat lokal dan menerima modernisasi dengan tanpa mengorbankan tradisi lokal. Lakoat.Kujawas mengajarkan kita akan satu hal: perubahan dimulai dari hal paling kecil dan paling dekat.
_________________
Penulis, Inasshabihah, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2018.
Gambar header: Mama Mety dan Mama Nati memberikan kursus menenun untuk generasi muda desa Taiftob, tempat aktivitas Lakoat.Kujawas. Kunjungi blog komunitas ini di sini dan instagramnya di sini.