Lika-Liku Agama Buddha Meraih Pengakuan
Haris Fatwa Dinal Maula – 7 Januari 2021
Kurang lebih seperti yang terjadi pada Hinduisme dan Konghucu, Buddhisme—atau ‘agama Buddha’ sebagaimana disebut di Indonesia—mengalami dinamika tersendiri untuk mendapat ‘rekognisi’ dari pemerintah Indonesia. Pada awal kemerdekaan, sama seperti agama Hindu dan Konghucu, agama Buddha belumlah memiliki perwakilan di Kementerian Agama. Hingga tahun 1950-an, baru Islam, Kristen, dan Katolik yang diakui oleh negara.
Dari fakta sejarah yang sederhana ini saja kita bisa segera mengetahui bahwa pemapanan enam agama yang ‘diakui’ tidaklah terjadi begitu saja secara alamiah, tetapi melibatkan negosiasi politik dan relasi kuasa. Apa yang melatari semua ini? Esai ini akan secara kilas meninjau sejarah Buddha dari sejak abad pertengahan hingga mendapat rekognisi di era Indonesia modern.
Kejatuhan Majapahit Hingga Komunitas Teosofi
Hingga sekitar abad-14, agama Hindu dan Buddha masih mendominasi sebagian besar wilayah Nusantara. Iem Brown, dalam tulisannya The Revival of Buddhism in Modern Indonesia (2003), mengatakan bahwa mulai abad 14 masyarakat Buddha mendapati rival dari para pendakwah Islam yang telah menapakkan kaki di tanah Sumatera. Karel Steenbrink juga menggambarkan bahwa pada abad itu hal yang sama terjadi pula di Jawa akibat datangnya para pedagang Muslim yang masuk lewat pantai-pantai utara Jawa. Pada abad-abad setelahnya, akibat kian meluasnya pengikut Islam, komunitas Buddha terpinggirkan ke desa-desa. Kesultanan Islam Demak, sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, berkontribusi besar dalam runtuhnya patron politik Buddha dengan jatuhnya kekuasaan Hindu-Buddha, Majapahit, pada 1527 setelah berabad-abad menjadi kekuatan dominan di Jawa.
Setelah Majapahit runtuh dan disusul dengan datangnya kaum kolonial, lanjut Iem Brown, hadirnya Belanda turut mengaburkan Buddha sebagai salah satu agama yang dianut oleh masyarakat Nusantara. Belanda hanya mengakui dua agama, Islam dan Kristen. Menurut Brown, Belanda mengecualikan Buddha sebagai agama karena pengikutnya yang sedikit. Itulah mengapa Buddha semakin termarjinalkan. Pada akhirnya, Buddha hampir tidak terlihat di Nusantara pada pertengahan abad-19.
Pada paruh kedua abad-19, masih menurut cerita Iem Brown, agama Buddha mulai diminati oleh orang-orang Eropa. Seiring dengan ketertarikan Barat akan ‘Kebijaksanaan Timur’ (Wisdom of the East) ini, seorang berkebangsaan Rusia, Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891) dan seorang jenderal asal Amerika, Henry Steel Olcott (1832-1907), mendirikan sebuah perkumpulan yang mendedikasikan diri pada studi akademik terhadap ‘kebijaksanaan timur’. Perkumpulan ini bernama Theosofical Society. Blavatsky mewakili ketertarikan bangsa Eropa saat itu terhadap nilai-nilai ketimuran yang dibuktikan dalam bukunya, the Secret Doctrine (1888), yang dianggap sebagai buku induk komunitas teosofi. Dalam buku ini, ia memaparkan prinsip-prinsip dasar dari ajaran teosofi, yaitu melestarikan kebijaksanaan abadi yang yang diadopsi dari konsep-konsep filosofis Hinduisme-Vedanta dan Buddhisme.
Komunitas teosofi berhasil memikat sebagian masyarakat Jawa, khususnya di Jawa Tengah, untuk bergabung. Dari situ berdirilah gerakan teosofi pertama di Hindia-Belanda yang mulai beraktivitas di Pekalongan pada 1881. Berkat ajaran teosofi itu, menurut Brown, kolonial Belanda tidak memberikan pengawasan berarti atas kebangkitan dan pertumbuhan kembali pengikut Buddha di Indonesia. Justru dukungan Belanda untuk kebangkitan tersebut berdatangan dari orang-orang Belanda yang secara langsung tertarik pada agama tersebut atau orang Belanda yang menjadi anggota komunitas teosofi sendiri.
Brown menegaskan bahwa kebangkitan kembali Buddha di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari perkembangan komunitas teosofi dari masyarakat lokal, yang pada gilirannya membuka mata Belanda bahwa Asia Tenggara, khususnya Jawa, memiliki akar budaya India yang kuat di masa pra-kolonial. Kesadaran akan hal ini memunculkan suatu wacana baru akan kebudayaan Jawa-India di masa lalu yang dianggap mewakili identitas kebangsaan yang sedang tumbuh di kawasan tersebut. Nantinya, salah seorang tokoh penting yang mengantarkan Buddha menjadi salah satu agama yang diakui negara berasal dari komunitas teosofi lokal.
Buddha dalam Upaya Adaptasi
Teosofi berhasil mengantar Buddha di Indonesia menuju kebangkitan kembali dan tanpa represi berarti dari Belanda. Namun, setelah masa kolonialisme berakhir dan Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, kebangkitan ini menemui jalan buntu. Iem Brown dalam karyanya yang lain, Contemporary Indonesian Buddhism and Monotheism (1987), menyebutkan bahwa Pancasila menciptakan masalah baru bagi agama-agama non-teistik, termasuk Buddha. Buddha, yang dipandang tidak memenuhi standar ‘agama’ dalam pemahaman monoteis, pada awal kemerdekaan belumlah diakui sebagai agama.
Dilatari konteks politik yang demikian itu, pengikut Buddha mesti memperjuangkan agamanya agar diakui dengan cara menunjukkan kompatibilitas ajaran Buddha dengan Pancasila. Episode menuju adaptasi ini dimulai pada 1949 ketika Perhimpunan Pemuda Teosofi Indonesia mengangkat seorang wakil ketua baru, seorang intelektual keturunan Cina yang lahir di Bogor pada 1923, bernama The Boan An. Setahun kemudian, ia memeluk agama Buddha. Ia merupakan pemegang otoritas pertama kepemimpinan Buddha di Indonesia pascakemerdekaan. Pada Desember 1953, The Boan An pergi ke Burma untuk menuntut ilmu Vipassana kepada guru meditasi ternama bernama Mahasi Sayadaw. The Boan An kemudian ditasbihkan sebagai biksu Theravada di Burma di akhir tahun 1954 dan berganti nama menjadi Ashin Jinarakkhita.
Meskipun Ashin Jinarakkhita merupakan biksu Theravada, pada kenyataannya, menurut Wilis Rengganiasih dalam tulisannya, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita’s Interpreting and Translating Buddhism in Indonesian Cultural and Political Contexts (2012), ia melakukan kompromi atas dua aliran besar Buddha, yakni Theravada dan Mahayana, yang akan memengaruhinya dalam merumuskan pemahaman Buddha yang luwes kelak setelah ia mempunyai otoritas lebih tinggi dalam komunitas Buddha di Indonesia. Ketika kembali ke Indonesia, Ashin Jinarakkhita mendirikan sebuah organisasi masyarakat Buddha pertama di Indonesia yang bernama Perhimpunan Buddha Indonesia (Perbuddhi) pada 1958. Perbuddhi menginisiasi pembangunan wihara-wihara, layanan-layanan berkaitan dengan Buddha, pembacaan paritta, dan praktik meditasi.
Peran Biksu Ashin Jinarakkhita (1923-2002)
Kembali sejenak pada era kolonial, imigran Cina dan Belanda sangat berkontribusi dalam kebangkitan dan perkembangan Buddha. Terlalu kuatnya dominasi Islam dan Kristen membuat banyak pengikut Buddha berasal dari luar Nusantara dan pada gilirannya nilai-nilai Perbuddhi didominasi oleh kultur Cina. Meski demikian, sebagaimana dinarasikan Brown, Ashin Jinarakkhita banyak mengadopsi bentuk Buddhisme yang ia pelajari dan pahami sendiri saat di Burma sehingga Perbuddhi di bawah kepemimpinannya kemudian mereformasi total cara orang-orang yang telah lebih dahulu mengamalkan Buddha. Akibatnya, Perbuddhi kehilangan nilai-nilai kultur Cina yang pada mulanya melekat padanya. Dari sinilah kemudian terjadi perpecahan, antara pihak yang mendukung Ashin Jinarakkhita dan mereka yang keluar dari Perbuddhi, terutama keturunan Tionghoa, dan menjadi musuhnya karena kecewa atas reduksi nilai-nilai tersebut.
Iem Brown lebih lanjut menceritakan bahwa kulminasi perpecahan ini terjadi ketika seturut peristiwa 1965. Pemerintah Indonesia melihat antitesis alami untuk melawan komunisme adalah agama. Karena Ashin Jinarakkhita dan Perbuddhi sudah menjadi organisasi agama yang mapan, walau belum diakui penuh, ia mengkritik mantan pendukungnya dengan narasi pemerintah tersebut. Jinarakkhita memandang mereka yang keluar dari Perbuddhi sebagai orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Implikasi dari hal ini ialah pemerintah akan menganggap mereka sebagai bagian dari komunisme sehingga harus diperangi. Jika Ashin Jinarakkhita menyerang rivalnya dengan narasi anti-Tuhan, berarti ia harus mempunyai konsep ketuhanan dalam Perbuddhi sebagai komitmennya terhadap negara yang anti-komunis.
Ashin Jinarakkhita tidak main-main dalam mengonsepsi ketuhanan dalam Buddha, walau pada umumnya di banyak belahan dunia lain konsep tentang Tuhan bukanlah ajaran sentral dalam Buddhisme. Ia merekonstruksi pemahaman Buddha yang menurutnya akan relevan dengan iklim Nusantara, yaitu Buddha Indonesia. Melalui konsepsi ini, Ashin Jinarakkhita berusaha mengakomodasi seluruh kepercayaan dan praktik Buddha yang telah ada di Nusantara seperti umat Buddha Tionghoa yang sinkretis, umat Buddha yang masih percaya pada Buddhisme Jawa kuno yang mistis, dan umat Buddha yang tertarik pada modernitas karena baru masuk agama Buddha. Keluwesan Buddha ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya, berangkat dari kompromi Ashin Jinarakkhita antara doktrin Theravada dan Mahayana sehingga tidak terpaku pada satu aliran saja. Kareel Steenbrink, dalam Buddhism in Muslim Indonesia (2013), menulis bahwa Ashin Jinarakkhita memberi istilah atas pemahaman baru tersebut dengan nama ‘Buddhayana’ dan menyebut Buddha Indonesia sebagai ‘Buddhisme teistik’. Inilah kemudian yang menjadikan Buddha di Nusantara berbeda dengan Buddha yang tersebar di luar Indonesia, seperti Sri Lanka dan Thailand yang tidak mengakui sentralitas ajaran tentang eksistensi Tuhan.
Steenbrink mengutip pesan yang disampaikan oleh seorang Biksu Sri Lanka, Narada Thera, kepada sekretaris Ashin Jinarakkhita, Parwati, bahwa “tidak ada Tuhan dalam Buddha.” Akan tetapi, Ashin Jinarakkhita tetap pada pendiriannya dengan merespons bahwa apa yang disampaikan Narada Thera mungkin benar dan relevan untuk Buddha di Sri Lanka, tetapi Buddha Indonesia tetap akan mengakui eksistensi Tuhan karena itulah yang relevan dengan konteks Nusantara.
Untuk membuktikan komitmen Buddha terhadap Pancasila sekaligus menegaskan Buddha Indonesia yang ia konsepsikan, Ashin Jinarakkhita memunculkan istilah “Sang Hyang Adi Buddha” sebagai paralel untuk konsep ketuhanan sebagaimana disebut di sila pertama Pancasila. Ia merujuk kitab Buddha Jawa kuno Sang Hyang Kamahayanikan sebagai referensi utama.
Buddha Memperjuangkan Rekognisi
Pada 1965, salah satu murid Ashin Jinarakkhita yang bernama Dhammaviriya mempublikasikan sebuah buku kecil yang berjudul Ke-Tuhanan dalam Agama Buddha yang berisi tentang prinsip-prinsip ajaran Buddha Indonesia, yakni 1) mempunyai Tuhan yang Maha Esa, bernama Adi Buddha; 2) mempunyai dua nabi, yaitu Gautama dan Bodhisatva; dan 3) mempunyai tiga kitab suci, yaitu Tipitaka, Dhammapada, dan Sang Hyang Kamahayanikan.
Melalui buku kecil itu, Perbuddhi seolah hendak menegaskan bahwa Buddha adalah agama yang mempunyai komitmen terhadap negara dan sesuai dengan asas Pancasila, sehingga layak untuk diakui. Perbuddhi juga mengkampanyekan prinsip ketuhanan Adi Buddha dengan istilah Namo Sang Hyang Adi Buddhaya dengan menjadikannya sebagai salam pembuka di setiap kitab suci yang mereka sebarkan ke pengikut-pengikutnya. Pada 1973, Kementerian Agama Republik Indonesia mempublikasikan terjemahan terbaru kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Publikasi ini semakin menegaskan status Adi Buddha sebagai Tuhan agama Buddha dan bahwa agama Buddha sesuai dengan Pancasila.
Puncaknya adalah pada tahun 1980 ketika Direktorat Khusus Urusan Buddha dibentuk di Kementerian Agama dengan Oka Diputhera sebagai direktur pertama hingga pensiun pada tahun 1991. Direktorat tersebut menandai awal mula Buddha sebagai salah satu agama yang diakui negara. Pemapanan rekognisi terhadap agama Buddha, menurut Steenbrink, juga dilatari kebijakan Orde Baru yang harus melibatkan agama di institusi pendidikan. Kebijakan ini menuntut Buddha untuk menyelenggarakan pendidikan agama di berbagai jenjang, dari taman kanak-kanak hingga pendidikan tinggi. Pada 1979, sekolah Buddhayana milik Perbuddhi sudah tersebar di 16 provinsi.
Tampak dari kilas uraian sejarah Buddha meraih pengakuan ini bahwa hingga tingkatan tertentu ada transformasi di internal komunitas Buddha akibat relasi kuasa yang posisi dominannya dipegang pemeluk agama-agama monoteistik. Pola yang kurang lebih sama sebenarnya juga dapat kita temui di agama non-teistik lain seperti Hindu dan Konghucu. Kasus dalam komunitas yang saat ini jamak disebut sebagai ‘aliran kepercayaan’ bahkan mengandung lebih banyak lika-liku. Ini semua menuju pada satu tesis besar yang disebut di muka esai ini, bahwa apa yang disebut ‘agama (dan kepercayaan) yang diakui’ bukanlah suatu hal yang muncul secara alamiah, melainkan hasil dari kontestasi politik.
______________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.
Gambar header: Bisku Ashin Jinarakkhita di tengah-tengah pengikutnya. Sumber: situs web Majelis Buddhayana Indonesia.