Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas judicial review UU No. 1/PNPS/1965 semakin dekat. Proses persidangan atas UU ini masih berlangsung hangat, bahkan pada bulan Maret lalu suasana persidangan sempat diwarnai bentrokan antara pendukung UU tersebut dan yang menolaknya. Di tengah proses itu, CRCS turut ambil bagian dengan membuat sebuah makalah posisi (position paper) terhadap keberadaan UU yang problematis ini.
Makalah posisi yang telah disampaikan ke MK ini ditulis oleh tim CRCS yang terdiri dari Zainal Abidin Bagir, Suhadi Cholil, Mustaghfiroh Rahayu, Ali Amin, Endy Saputro, dan Budi Ashari. Selama beberapa bulan terakhir mereka terus mengikuti dan mengkritisi proses persidangan yang berlangsung.
Ide untuk menulis makalah ini berawal dari Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia yang CRCS keluarkan, untuk 2008 dan 2009. Pada kedua laporan itu tim menemukan bahwa beberapa peristiwa keagamaan di Indonesia terkait erat dengan keberadaan UU ini. Peristiwa keagamaan itu di antaranya kasus Ahmadiyah, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan yang terkait pula dengan UU Adminduk 2006, serta meningkatnya kecenderungan wacana penyesatan.
Dalam makalahnya, CRCS menekankan 2 hal penting yang membuat tim berada pada kesimpulan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 ini layak untuk dicabut.
Pertama, Tim melihat UU No. 1/PNPS/1965 dari perspektif multikultural, yakni hukum tidak seharusnya mendominasi kehidupan keagamaan yang sehat. Dominasi hukum akan berakibat dinafikannya usaha konsensus yang dialogis pada masyarakat. Hal itu ditandai dengan terlalu cepatnya penisbahan “penodaan” atau “penyimpangan” agama di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Kedua, UU yang dikaji ini dilihat sebagai produk hukum yang tidak konstitusional. CRCS melihat bahwa UU itu bertentangan dengan UUD 1945, karena terdapat beberapa nilai yang menunjukkan pertentangan tersebut. .”Tidak ada alasan hukum yang menghalangi dicabutnya UU itu, karena bertentangan dengan konstitusi,” tegas makalah posisi itu. Selain itu, pengaturan posisi agama dan negara di dalamnya menjadi kabur. Agama yang memiliki otoritas besar akan sangat berperan dalam menentukan standar tindakan kriminal atas dasar pokok-pokok ajarannya. Dengan demikian, menurut CRCS, telah terjadi diskriminasi dalam UU ini.
Kedua hal tersebut pada dasarnya menekankan perbedaan sebagai realitas yang tidak dapat direduksi di negara-bangsa ini. Perbedaan itu telah dijamin oleh konsensus UU 1945. Penggunaan UU No. 1/PNPS/1965 justru membuat pengakuan dan penjaminan terhadap perbedaan itu menjadi tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam penanganan kasus di lapangan, UU itu dipertanyakan pula batas-batas dari suatu tindakan yang dapat dipidanakan dan apa yang tidak.
Secara prinsip, judicial review terhadap UU ini menjadi penting karena pada sosialisasi SKB 3 Menteri tentang kasus Ahmadiyah, pemerintah sendiri pernah merekomendasikannya. Pada sosialisasi itu dijelaskan bahwa jika Jamaah Ahmadiyah tidak puas dengan keputusan SKB tersebut, mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan beberapa hal, termasuk judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965.
Ketika diwawancarai, Zainal Abidin Bagir menjelaskan bahwa makalah sebanyak 17 halaman ini adalah bagian dari usaha CRCS memahami dan menjawab kekhawatiran yang dirasakan oleh beberapa kalangan apabila UU itu dicabut.
“Kalau tidak konstitusional, ya dicabut. Misalnya ada kekhawatiran kalau tidak ada UU ini, kalau untuk itu sudah ada UU untuk pencemaran nama baik, ada tentang hasutan, kebencian, segala macam. Kalau perlu menyebut hasutan, kebencian atas nama agama, on religious ground, boleh saja, dibikin UU itu, tapi dengan syarat mesti jelas apa yang bisa dipidanakan, apa yang tidak. Sudah pasti tidak boleh menyebut soal pokok-pokok ajaran agama, karena akan menjadi penyimpangan,” ungkap Zainal.
Lebih jauh Zainal menjelaskan bahwa CRCS masih akan mengawal isu ini dengan bentuk diseminasi ke masyarakat melalui beberapa aktivitas yang akan dilakukan CRCS ke depan.
Partisipasi CRCS terhadap proses penentuan kebijakan pemerintah RI ini dapat dilihat sebagai proses pendidikan dan peran serta dalam mendorong Good Governance di tanah air. Selain elemen penelitian dan pendidikan dalam tri dharma perguruan tinggi yang telah diusahakannya, pengabdian masyarakat tampak pula dalam wujud advokasi keberagaman itu.
Semoga keberagaman tidak menjadi momok yang menakutkan dan perlu dibatasi dengan acuan yang diskriminatif.
(JMI)