• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita Wednesday Forum
  • Masjid Ground Zero dan Manipulasi Simbol

Masjid Ground Zero dan Manipulasi Simbol

  • Berita Wednesday Forum
  • 27 December 2010, 00.00
  • Oleh:
  • 0

markWednesday Forum CRCS-ICRS 15 Desember 2010 lalu adalah semacam cerita kepulangan Mark Woodward, salah seorang pengajar di CRCS UGM asal Amerika Serikat. Bermula saat profesor dari Arizona State Uniersity ini, selama kepulangannya, mengamati perkembangan isu politik dalam negerinya. Ia menemukan polemik seputar rencana pembangunan pusat kebudayaan Islam di New York bernama Park51 atau Cordoba House yang, akibat sentimen politik, terkenal sebagai Ground Zero Mosque.

Dengan presentasi berjudul “Understanding the Lower Manhattan Cultural Center Controversy”, Mark mengawali cerita dengan menyebutkan bahwa polemik seputar Park51 adalah seramai polemik seputar Perang Vietnam. Pro dan kontra mencuat terhadap rencana pembangunan gedung yang hanya berjarak dua blok dari bekas reruntuhan World Trade Center (Ground Zero). Tak bisa dielakkan, rencana pembangunan Park 51 kemudian secara politis dikaitkan dengan insiden teror 9/11.

Apa yang dipahami masyarakat bukan lagi Park51, namun lebih sebagai Ground Zero Mosque, sebuah masjid yang sengaja dibangun berdekatan dengan situs insiden 9/11, sebagai sebuah simbol dan monumen kemenangan kaum teroris Muslim atas Amerika Serikat. Penolakan pun menguat. Apalagi didukung media yang turut mengingatkan tragedi 9/11. Jika demikian, menurut Mark, yang terjadi kemudian adalah berkait erat dengan simbolisme.

Dalam setiap kasus, segala bentuk simbol akan dikaitkan dengan kepentingan pihak tertentu. Pendukung atau penolak sebuah kebijakan akan cenderung berusaha memanipulasi simbol-simbol yang ada sesuai kepentingannya. Mark memberi contoh kasus di Indonesia, sekelompok Muslim di Bekasi beberapa waktu lalu berusaha menolak keberadaan sebuah monumen yang dianggap sebagai simbol dekadensi moral masyarakat. Sehingga persoalannya bukan pada monumennya, melainkan pada makna simbol. Demikianlah halnya yang terjadi dalam kasus Ground Zero Mosque.

Sesi dialog yang dimoderatori Fransiskus Borgias, mahasiswa ICRS, kemudian lebih mengarah kepada diskusi seputar manipulasi simbol. Beberapa peserta diskusi yang juga warga Amerika Serikat mengungkapkan bahwa memberikan pemahaman tentang simbolisme kepada masyarakat sekitar mereka membutuhkan kerja keras, termasuk melalui pendidikan. Masyarakat Amerika berasal dari beragam kultur, sehingga tak semua memiliki kemampuan analisa simbol yang sama.

Diskusi juga menyinggung persoalan media massa sebagai agen manipulasi simbol. Dengan nada bercanda, Mark menyatakan bahwa masyarakat butuh kemampuan periklanan dan pemasaran. Maksudnya, kepekaan terhadap cara penyajian media yang memiliki strategi pesan simbolis. Ia menyarankan, masyarakat yang akan melakukan ‘counter narration’ agar menggunakan pernyataan afirmatif, bukan pernyataan negatif.

Seorang peserta menyebutkan bahwa masyarakat Islam cenderung mengaitkan segala sesuatu dari luar sebagai simbol kekuasaan atas mereka, sedangkan simbol kekuasaan mereka atas orang lain selalu diperjuangkan. Sebaliknya, Mark berkomentar bahwa masyarakat Amerika Serikat juga cenderung mencari-cari, di dunia sekitarnya, simbol-simbol ‘musuh’, seperti misalnya Komunisme, Fasisme, juga Islamisme. Untuk itulah, kepekaan dan pemahaman mesti dimiliki oleh segenap pihak. [MoU]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju