Wednesday Forum CRCS-ICRS 15 Desember 2010 lalu adalah semacam cerita kepulangan Mark Woodward, salah seorang pengajar di CRCS UGM asal Amerika Serikat. Bermula saat profesor dari Arizona State Uniersity ini, selama kepulangannya, mengamati perkembangan isu politik dalam negerinya. Ia menemukan polemik seputar rencana pembangunan pusat kebudayaan Islam di New York bernama Park51 atau Cordoba House yang, akibat sentimen politik, terkenal sebagai Ground Zero Mosque.
Dengan presentasi berjudul “Understanding the Lower Manhattan Cultural Center Controversy”, Mark mengawali cerita dengan menyebutkan bahwa polemik seputar Park51 adalah seramai polemik seputar Perang Vietnam. Pro dan kontra mencuat terhadap rencana pembangunan gedung yang hanya berjarak dua blok dari bekas reruntuhan World Trade Center (Ground Zero). Tak bisa dielakkan, rencana pembangunan Park 51 kemudian secara politis dikaitkan dengan insiden teror 9/11.
Apa yang dipahami masyarakat bukan lagi Park51, namun lebih sebagai Ground Zero Mosque, sebuah masjid yang sengaja dibangun berdekatan dengan situs insiden 9/11, sebagai sebuah simbol dan monumen kemenangan kaum teroris Muslim atas Amerika Serikat. Penolakan pun menguat. Apalagi didukung media yang turut mengingatkan tragedi 9/11. Jika demikian, menurut Mark, yang terjadi kemudian adalah berkait erat dengan simbolisme.
Dalam setiap kasus, segala bentuk simbol akan dikaitkan dengan kepentingan pihak tertentu. Pendukung atau penolak sebuah kebijakan akan cenderung berusaha memanipulasi simbol-simbol yang ada sesuai kepentingannya. Mark memberi contoh kasus di Indonesia, sekelompok Muslim di Bekasi beberapa waktu lalu berusaha menolak keberadaan sebuah monumen yang dianggap sebagai simbol dekadensi moral masyarakat. Sehingga persoalannya bukan pada monumennya, melainkan pada makna simbol. Demikianlah halnya yang terjadi dalam kasus Ground Zero Mosque.
Sesi dialog yang dimoderatori Fransiskus Borgias, mahasiswa ICRS, kemudian lebih mengarah kepada diskusi seputar manipulasi simbol. Beberapa peserta diskusi yang juga warga Amerika Serikat mengungkapkan bahwa memberikan pemahaman tentang simbolisme kepada masyarakat sekitar mereka membutuhkan kerja keras, termasuk melalui pendidikan. Masyarakat Amerika berasal dari beragam kultur, sehingga tak semua memiliki kemampuan analisa simbol yang sama.
Diskusi juga menyinggung persoalan media massa sebagai agen manipulasi simbol. Dengan nada bercanda, Mark menyatakan bahwa masyarakat butuh kemampuan periklanan dan pemasaran. Maksudnya, kepekaan terhadap cara penyajian media yang memiliki strategi pesan simbolis. Ia menyarankan, masyarakat yang akan melakukan ‘counter narration’ agar menggunakan pernyataan afirmatif, bukan pernyataan negatif.
Seorang peserta menyebutkan bahwa masyarakat Islam cenderung mengaitkan segala sesuatu dari luar sebagai simbol kekuasaan atas mereka, sedangkan simbol kekuasaan mereka atas orang lain selalu diperjuangkan. Sebaliknya, Mark berkomentar bahwa masyarakat Amerika Serikat juga cenderung mencari-cari, di dunia sekitarnya, simbol-simbol ‘musuh’, seperti misalnya Komunisme, Fasisme, juga Islamisme. Untuk itulah, kepekaan dan pemahaman mesti dimiliki oleh segenap pihak. [MoU]