• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Academic Documents
    • Student Satisfaction Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Masyarakat Adat dan Ideologi Pembangunan yang Gagal

Masyarakat Adat dan Ideologi Pembangunan yang Gagal

  • Perspective
  • 20 February 2023, 12.34
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Masyarakat Adat dan Ideologi Pembangunan yang Gagal

Andi Alfian – 20 Februari 2023

Masyarakat adat adalah salah satu komunitas yang telah (dan terus akan) menjadi sasaran berbagai program pembangunan di Indonesia, baik dari institusi pemerintah maupun oleh lembaga nonpemerintahan. Berdasarkan catatan Christopher R. Duncan, dalam Civilizing the Margins: Southeast Asian Government Policies for the Development of Minorities (2008), program pembangunan pemerintah Indonesia yang menyasar masyarakat adat—atau dalam bahasa Duncan, “isolated tribes” atau “isolated communities”—mulai marak sejak 1970-an. Meski berbagai persoalan dan kritik terus bermunculan, proyek pembangunan tersebut terus berlanjut hingga hari ini.

Salah satu kritik yang sering muncul ialah pendekatan pembangunan yang berbasis top-down dan bertendensi untuk menjadikannya misi peradaban—seolah-olah masyarakat adat tidak punya peradaban. Alih-alih menguatkan, pendekatan semacam ini malah mencerabut masyarakat adat dari konteks hidupnya, tak cuma aset-aset fisik tetapi juga pengetahuan adat.

Tania Murray Li dalam dua bukunya, The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007) dan Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier mengupas dengan cermat berbagai kegagalan “proyek pembangunan” kepada masyarakat adat. Dua buku itu, bagi saya, menjadi lampu yang menyingkap sisi paradoks dari pembangunan sekaligus palu godam yang memecahkan kejumudan anggapan bahwa pembangunan adalah selalu tentang hal baik. Keduanya mengajak kita untuk berpikir ulang: Apa yang kita maksud dengan membangun masyarakat adat? Apa yang kita bayangkan dengan memberdayakan komunitas pinggiran?  Dari sinilah, saya berangkat.

Ideologi Modernisasi dalam Pembangunan Masyarakat Adat

Sebagai salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam praktik pembangunan masyarakat adat, modernisasi mengandaikan sebuah perubahan sosial pada masyarakat adat agar mereka bisa menyesuaikan dengan perkembangan dunia modern. Pendekatan ini menekankan pada pemajuan ekonomi dan teknologi masyarakat adat dengan tujuan utama memenuhi standar dan ciri khas masyarakat modern.

Ideologi modernisasi ini mendapat legitimasinya dari teori evolusi yang lahir pasca-Revolusi Industri (1760—1840) dan Revolusi Perancis (1789—1799). Berdasarkan teori ini, masyarakat akan berkembang dari bentuknya yang sederhana ke bentuknya yang kompleks. Auguste Comte, salah satu pemikir penting dari teori evolusi sosial, merumuskan perubahan sosial dalam tiga fase utama: fase teologis, ketika masyarakat dikuasai oleh pendeta dan digerakkan oleh nalar keagamaan; fase metafisik, ketika masyarakat digerakkan oleh pemikiran filosofis manusia; dan fase ilmiah atau positivis, ketika masyarakat telah memahami hukum dan eksperimen ilmiah. Dengan kata lain, ideologi modernisasi mengasumsikan perubahan masyarakat selalu bersifat linear, dari masyarakat primitif  ke masyarakat modern.

Sialnya, indikator tentang “modern” atau “maju dan berperadaban” adalah tentang Barat. Para penganut ideologi modernisasi dengan arogan menempatkan komunitas yang digerakkan oleh nilai-nilai leluhur (seperti masyarakat adat) sebagai masyarakat yang masih berada di tahapan perkembangan paling buntut. Dengan demikian, masyarakat adat selalu dipandang sebagai masyarakat “terbelakang” yang perlu ditransformasi atau disesuaikan dengan yang “modern”. Dengan logika ini, tentu saja pembangunan yang dilakukan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai lokal masyarakat adat. Alih-alih membangun, hal ini justru jadi merugikan.

Mansour Fakih dalam bukunya Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (2002) menegaskan bahwa ideologi modernisasi yang banyak dianut oleh gerakan pembangunanisme di Indonesia sebetulnya telah tiba pada titik yang rapuh sekaligus mengerikan. Rapuh karena berdiri di atas paradigma yang pada dasarnya telah usang; Mengerikan karena pada akhirnya keberhasilan ideologi modernisasi ini akan mengantarkan kita pada cara pandang tunggal yang mengontrol apa yang bisa kita anggap sebagai komunitas yang maju dan berperadaban.

Singkatnya, menarik satu garis lurus dan meletakkan masyarakat adat di titik belakang, lalu memaksa mereka semua maju ke titik depan adalah bentuk lain dari penjajahan. Maka institusi pemerintah, lembaga nonpemerintah, atau siapa pun yang mengusahakan pembangunan masyarakat adat tetapi masih menganut ideologi modernisasi semacam itu sebetulnya adalah penjajah.

Lantas, apa yang bisa dilakukan?

Salah satu cara yang bisa kita tempuh untuk mengakhiri penjajahan itu adalah menawarkan pendekatan lain yang lebih cocok, satu di antaranya ialah mengelaborasi pengetahuan adat dalam praktik pembangunan masyarakat adat.

Pengetahuan Adat dalam Pembangunan Masyarakat Adat

Pengetahuan adat ialah pengetahuan berbasis komunitas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Biasanya, pengetahuan adat ini bersifat unik, nonformal, dinamis, dan mencakup berbagai segi kehidupan. Pengetahuan adat berfungsi membantu masyarakat adat dalam memecahkan persoalan keseharian yang mereka alami sebagai suatu komunitas. Kiwari, istilah pengetahuan adat lebih banyak dikenal dengan istilah “kearifan lokal” atau “pengetahuan lokal”.

Pengetahuan adat  merupakan sumber kearifan dan landasan bagi masyarakat adat untuk merumuskan aturan-aturan yang menjamin keberadaan, keberlangsungan, dan interaksi sosial antaranggota komunitas, baik berupa pemikiran maupun tindakan. Karenanya, atensi terhadap pengetahuan adat dalam program pembangunan masyarakat adat adalah suatu keharusan. Pengetahuan adat bisa digunakan sebagai basis dalam pembangunan berbagai sektor, misalnya untuk basis pembangunan berkelanjutan (Saha & Bhattacharya, 2011; Sultana dkk., 2018); pelestarian alam (Maarif, 2015, 2019), basis produksi pangan (Dewalt, 1994), pembangunan kehutanan (Zhao & Liu, 2021), kedokteran (Febriyanti, 2016; Mangare & Li, 2018; Nurbaya dkk., 2020; Padmasiri, 2018; Redvers & Blondin, 2020), mitigasi bencana (McAdoo dkk., 2009; Rautela & Karki, 2015), pembangunan pendidikan (Nichol, 2011), dan sebagainya.

Berbagai temuan itu menunjukkan bahwa pengetahuan adat, pada akhirnya, sangat vital perannya bagi pembangunan masyarakat adat di berbagai sektornya. Pengetahuan itu membantu para aktor pembangunan untuk memahami lebih baik identitas sosial dan budaya sebuah komunitas adat sehingga dapat merumuskan strategi yang tepat untuk merawat keberlangsungan dan kelestarian lingkungan di komunitas adat yang dikembangkan. Tak jarang, seperti yang juga diutarakan di beberapa penelitian itu, pengetahuan adat dapat memberikan solusi inovatif untuk masalah pembangunan yang ditemui.

Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa pembangunan masyarakat adat kemudian akan sangat mudah dilakukan. Tidak sama sekali. Pembangunan masyarakat adat, bagaimana pun, selalu punya kompleksitas dan kerumitannya sendiri. Tantangannya terletak pada proses perumusan nilai-nilai pengetahuan adat yang dinamis ke dalam sebuah program pembangunan dan pemilihan pendekatan yang multidimensional. Pada akhirnya, apa pun program pembangunan yang hendak dilakukan, jika ingin berhasil ia harus mampu menjawab, “Sejauh mana program pengembangan tersebut sejalan dengan paradigma masyarakat adat?”

_______________________

Andi Alfian adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Andi lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini merupkan dokumentasi dari Jelle Visser/Flickr/CC-By-SA 2.0 (2010)

Tags: adat andi alfian

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A R S I P Arsip-arsip Tionghoa di Nusantara adala A R S I P 
Arsip-arsip Tionghoa di Nusantara adalah ingatan yang bernafas pelan di antara debu dan waktu. Ia adalah sebuah fragmen tentang perjumpaan budaya, iman, dan keberanian untuk menetap di tanah yang kadang menolak untuk mengingat. Dalam lembar-lembar rapuh itu tersimpan bukan hanya doa dan bahasa, melainkan  juga cara bangsa ini bernegosiasi dengan lupa. 
CRCS UGM meluncurkan sebuah ruang arsip digital terkait agama dan budaya Tionghoa. Mari menyambut bersama ruang jumpa ini agar digitalisasi arsip tidak berhenti di bita-bita dunia maya. Dari kelenteng, rumah ibadah, hingga ruang digital, masa lalu menemukan napas barunya.
Bangsa yang Bergerak Setelah tujuh film panjang d Bangsa yang Bergerak

Setelah tujuh film panjang dan enam film pendek menjelajah layar dan ruang diskusi di berbagai penjuru tanah air dan dunia, kini Indonesian Pluralities hadir dengan kisah di baliknya. Buku ini menyingkap perjalanan riset, proses kreatif, dan refleksi yang tak sempat tertuang dalam medium film, disertai pula wawancara eksklusif, foto-foto, dan dokumentasi pemutaran.
Sebuah persembahan dari CRCS UGM, Pardee School of Global Studies Boston University, dan WatchdoC Documentary, dengan dukungan Henry Luce Foundation. Mari menelusuri bagaimana Indonesian Pluralities bergerak di layar, di lapangan, dan dalam kehidupan kita bersama.
K I S A H Sejarah perjuangan gender di Indonesia a K I S A H
Sejarah perjuangan gender di Indonesia adalah kisah panjang tentang tubuh, ingatan, dan perlawanan.
Kini, perjuangan itu hadir dalam banyak wajah: perempuan adat, gerakan queer, hingga ulama perempuan. Kesemuanya itu menantang warisan kolonialitas, patriarki, dan kapitalisme, sambil merumuskan ulang masa depan yang lebih adil bagi semua. 
Mari bergabung dalam ruang bincang lintas gerakan ini untuk menapaktilasi jejak perjuangan  dan menenun kembali makna kebebasan dan keadilan gender hari ini.

Selasa, 21 Oktober 2025, Pukul 15:15 WIB
di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM
B E R S I H “Bersih” tidak cukup berarti hanya B E R S I H
“Bersih” tidak cukup berarti hanya ramah lingkungan.
Energi yang benar-benar berkelanjutan juga harus adil bagi manusia dan semesta. Upaya penghadiran energi bersih sudah selayaknya menyatu dengan kearifan lokal, relasi sosial, dan spiritualitas yang hidup di dalamnya.
Mari bergabung dalam sesi ini untuk menimbang ulang makna “energi bersih” yang sejati:
energi yang tidak hanya mengalirkan listrik, tetapi juga kehidupan. ⚡️

Selasa, 21 Oktober 2025, Pukul 13:30 WIB
di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY