Berikut ini adalah wawancara Team Website CRCS dengan Melanie Budianta
CRCS: Sejauh mana kekuatan narasi itu mampu memberikan kekuatan suara kepada orang-orang yang terdiskriminasi khususnya kaum perempuan di Indonesia?
Melani: Jadi sesungguhnya narasi mereka itu ada di sekitar kita, tapi belum tersuarakan. Dia bisa dipendam saja. Ada ibu-ibu yang menyimpan dalam buku harian, atau dalam hati saja mengenai pengalaman mereka sehari-hari. Tapi kaum minoritas mempunyai kemampuan lebih dalam menyensor diri mereka sendiri. Padahal narasi itu berisi pengetahuan yang mungkin justru bisa mengisi narasi-narasi besar yang ada dari negara. Jadi penting untuk menemukan narasi dan menyuarakannya. Jika orang tersebut tidak punya posisi untuk menyuarakan, maka penting untuk menemukan orang lain untuk membantu suara mereka terdengar.
Sebagai misal, kakak saya Ibu Yunita itu kalau seminar tentang penelitiannya dia sering membawa petani ke kampus. Lantas petani tersebut bercerita di forum akademis tersebut. Seringkali justru menyentuh banyak orang, karena selama ini orang sering mendengar dari peneliti. Kemungkinan lain adalah kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi orang-orang tersebut untuk didengar narasinya. Memang ada masa dimana sangat sulit sekali untuk memecah satu narasi tunggal. Kalau suara itu sudah tersalurkan akan memperkaya wawasan kita, akan ada banyak persepektif tentang satu hal yang sama.
Dalam pemerkayaan narasi itu tergantung dari kita semua untuk menemukannya sebagai agency, karena diri kita masing-masing adalah agency yang aktif dalam menciptakan sebuah narasi.
CRCS: Bagaimana dengan muculnya narasi pada novel-novel perempuan terkini, seperti Dewi Lestari, Ayu Utami, apakah itu juga sudah mampu memberikan narasi pada kaum perempuan?
Melani: Sebagai misal adalah Ayu Utami, ketika ia menerbitkan novel persis bulan Mei 1998, dan apa yang dia tulis adalah sebuah perspektif lain melihat Orde Baru, dan berbagai soal yang sebenarnya sudah merupakan pengetahuan umum tapi tidak kita bicarakan pada waktu itu. Seperti bagaimana para aktivis yang dikejar-kejar dan penyalahgunaan kekuasaan, itu kan disuarakan oleh Ayu Utami. Selain itu, Ayu Utami juga memberikan ruang untuk perempuan berbicara tentang tubuhnya sendiri, meskipun hal tersebut digunakan oleh media untuk mensuarakan tentang berbagai stereotip tentang perempuan, seperti masalah keperawanan, dan munculnya isu sastra wangi. Sebenarnya itu justru mengkotakkan sastrawan seperti Ayu Utami, padahal sebenarnya apa yang dikatakan itu lebih dari itu, dimana perempuan punya hak atas tubuhnya, seksualitasnya yang terkungkung oleh sistem patriarki dan negara. Narasi yang disuarakan oleh Ayu Utami ini cukup memberikan dorongan kepada perempuan lain untuk bersuara.
Sedangkan Dewi Lestari punya sumbangan lain, karena ia meluaskan khalayak pembaca sastra. Dia bisa menangkap peluang, yakni kebutuhan masyarakat kelas menengah terdidik akan suatu bacaan yang cerdas, menyegarkan dan penuh wawasan. Banyak pembaca yang tadinya tidak membaca karya sastra kemudian membaca karya tersebut. Saya kira itu contoh dari sumbangan dua orang ini.
Terkadang kita belum mendapatkan bahasa yang tepat untuk menyuarakan narasi kita. Banyak sekali orang yang tidak bisa berbahasa secara literer, karena ia tidak mempunyai pendidikan cukup untuk mampu menarasikan kehidupan mereka. Sedangkan contoh seperti Dewi Lestari dan Ayu Utami adalah kelas menengah yang mempunyai modal kultural untuk menyuarakan tentang narasi mereka sendiri dan orang lain, khususnya kaum perempuan.
CRCS: Apa kritik ibu terhadap pendekatan feminisme selama ini di Indonesia, atau apakah ide feminisme justru menjadi sebuah penjajahan baru terhadap perempuan?
Melani: Prinsip feminisme itu untuk keadilan, jadi tidak mungkin keadilan digunakan untuk menjajah, kecuali kalau kita salah menafsirkan atau tidak setia pada prinsip feminisme itu sendiri. Tapi ide feminisme diterapkan bisa saja ia disalahartikan, karena dalam relasi pasti ada unsur kuasa, sehingga terkadang hubungan ketidakadilan ini seringkali dilembagakan. Inilah yang bertentangan dengan prinsip feminisme.
Tapi memang, ketika kita memperjuangkan perempuan bisa saja kita punya semacam kecenderungan untuk merasa lebih tahu dan lebih benar daripada orang lain, seperti merasa lebih feminis dari orang lain, kemudian menghakimi orang lain sebagai kurang feminis. Ini yang perlu kita kritik. Perempuan Indonesia itu hidup dalam infrastruktur lingkungan budaya yang sangat kompleks. Tidak semua bisa memilih melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang lain. Terkadang perempuan pada posisi tertentu hanya mempunyai pilihan sangat sempit, sehingga ia tidak bisa keluar dari tatanan yang mendiskriminasikan, sehingga ia hanya bisa bernegosiasi dan bersiasat di ruang tersebut. Hal ini tampak pada perempuan yang terkena kekerasan suami dalam rumah tangga. Apalagi jika secara ekonomi perempuan ini sangat tergantung pada suaminya, dan tidak bisa menghidupi dirinya sendiri, perempuan seperti ini tidak bisa keluar dari kungkungan meski telah ada undang-undang dan hukum legal lainnya. Banyak perempuan yang hanya bersiasat dalam kondisi ini. Jadi bagi aktivis-aktivis perempuan diperlukan kepekaan dalam melihat berbagai kondisi, dengan tidak langsung menghakimi.
CRCS: Saya membaca tulisan ibu yang sangat menyentuh tentang pengantar ibu untuk biografi Ibu Toeti Herati Ibu bercerita seperti dalam gaya analisis feminis Virginia Woolf, bahwa ruang privat pun ternyata itu politik bagi perempuan karena ada siasat didalamnya.
Melani: Pemisahan ruang itu memang berbeda dalam setiap konteks, kita tidak bisa menyamakan seperti yang ada di barat. Di Indonesia, ruang privat itu terkadang ruang sosial, seperti rumah dimana tetangga bisa masuk, selalu ada hajatan setiap kali, dapur tempat berkumpul. Jadi setiap kasus itu harus kita lihat konteksnya.
CRCS: Ibu menawarkan Multikulturalisme sebagai sebuah pendekatan dalam Cultural Studies, seperti apa itu?
Melani: Itu bukan sesuatu yang baru, karena istilah itu sendiri sudah dipakai tahun 1980an digunakan di Amerika, Inggris dlsb. Tapi ini sering dipakai dalam konteks kebijakan budaya. Nah, barangkali yang saya lakukan adalah menempatkannya dalam konteks multikulturalisme kritis, dimana menggunakan konsep-konsep identitas untuk membongkar konstruksi-konstruksi keragaman yang ada dalam wacana sosial masyarakat, seperti munculnya ide tentang putra daerahisme. Lantas kita perlu membaca fenomena ini dengan kritis. Jargon Multikulturalisme sudah sangat rancu karena digunakan oleh para praktisi kebijakan, sehingga yang disebut Multikulturalisme di berbagai wilayah itu berbeda-beda seperti Indonesia dan Malaysia yang berbeda menggunakan jargon ini.
CRCS: Lantas bagaimana kekuatan Cultural Studies itu sendiri di Indonesia?
Melani: Tidak ada satu pendekatan yang bisa jadi obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia. CS ini turunan dari teori kritis yang bisa membuat orang menjadi sadar pada kekuatan-kekuatan yang bermain disekitar dia dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada wilayah urban kontemporer. CS juga berbincang tentang gaya hidup anak muda, identitas dan budaya konsumsi. CS memberikan perangkat terhadap kajian sosial secara kritis dan bukan menjadi propaganda, meskipun dibalik itu semua kita tidak bisa lepas dari ideologi seperti toleransi, kesepakatan untuk menghargai hak orang lain dan keberpihakan terhadap orang yang terpinggirkan. Jadi kepekaan dalam melihat relasi kuasa itu menjadi dasar dalam pendekatan CS.
CRCS: Melihat dari kacamata multikulturalisme kritis, bagaimana masa depan hubungan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan, hingga kebebasan berekspresi dalam beragama?
Melani: Memang banyak tantangan untuk menghadapi kekuatan konservatif yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan agama secara lebih kaku. Padahal kita lihat dari sejarah, relasi sosial antar agama di Indonesia sangatlah cair, demikian juga hubungan sosial yang bersifat lintas batas. Ada kekuatan-kekuatan yang mencoba memagari ini dengan rambu-rambu yang kaku dan konservatif. Saya tetap percaya pada kemampuan masyarakat kita untuk hidup dalam keragaman, karena sejarah kita sudah begitu panjang dan sebetulnya integrasi masyarakat itu sudah cukup tangguh, meski ada beberapa konflik terjadi di berbagai tempat, kita masih bisa telusuri munculnya berbagai kepentingan yang lepas dari dasar budaya setempat. Jadi jika dinamika ini bisa terus dikawal untuk tidak terberangus oleh upaya pengkotak-kotakkan, saya yakin dinamika lintas budaya Indonesia masih akan terus berlanjut. Kita telah belajar dari banyak hal, yang tidak mungkin membuat kita untuk menghapus apa yang telah dipelajari lalu berjalan mundur. Artinya keragaman itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan yang ada disekitar kita, dan itu hadir dalam tingkat paling dasar sebuah komunitas, yakni keluarga. Kita punya latar belakang keluarga yang berdasarkan perbedaan etnis, agama dan lainnya.
CRCS: Apa yang pada saat ini menjadi tantangan terbesar dalam proyek multikulturalisme?
Melani: Membangun Indonesia dengan wawasan yang lebih jauh, artinya ketika kita bernegara dan berpolitik, kita harus memikirkan jangka panjang untuk generasi kita. Inilah permasalahan bangsa kita yang terletak pada sustainibilitas atau keberlangsungan dalam jangka panjang. Sering kepentingan politik bersifat jangka pendek, sehingga mengorbankan kepentingan yang lebih jauh. Sebagai misal menjaga keragaman hayati dan budaya, yang kemudian telah terbeli oleh modal. Godaan ini yang harus kita perangi dengan kesadaran. Politikus kita tidak bisa menjadi negarawan. Selain itu, kita harus punya rambu-rambu yang memungkinkan kita untuk tetap berdamai meski berbeda dan tidak ditunggalkan oleh satu aliran. Meski demikian, perbedaan seringkali menyebabkan perpecahan. Misalnya kelompok perempuan seringkali terpecah oleh isu poligami, isu Syariah Islam. Kita seringkali berkelahi antar kita sendiri. Tapi tidak memikirkan jangka panjangnya. Memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
CRCS: Lantas narasi apa yang paling penting untuk dimunculkan pada saat ini?
Melani: Menurut saya narasi ke-Indonesiaan yang demokratis, toleran, terbuka dan siap untuk menghadapi perubahan jaman, tapi tidak kehilangan harga dirinya. Memberikan peluang pada maksimal pada semua warganya, tanpa membedakan jenis kelamin dan agamanya. Bagi saya yang berkecimpung di masalah multikulturalisme tentu ini penting. Tentu saja ada narasi lain yang penting untuk dimunculkan seperti isu betapa negara seringkali tidak berfungsi. Indonesia kemudian seperti diserahkan pada pasar dan kepentingan-kepentingan lain. Bagaimana menjadikan negara yang tidak merepresi warga negaranya. Seringkali budaya kita disepelekan kemudian dijadikan komoditi untuk dijual. Padahal budayalah yang menjadi arah untuk menentukan identitas bangsa ini. Menarasikan budaya bisa melalui berbagai cara seperti fiksi, memoar, film, biografi dan wacana ilmiah.
CRCS: Bagaimana, orang tua ibu Melani, keluarga dan lingkungan membentuk kehidupan dan pemikiran ibu Melani?
Melani: Banyak yang membentuk kehidupan saya, seperti sekolah, lingkungan dan keluarga. Selalu terjadi pembelajaran dan unlearning, dua hal ini selalu terjadi terus menerus. Saya juga tidak lepas dari konteks sejarah. Saya lahir di tahun 1954, sebagian besar hidup saya dihabiskan di masa Orde Baru. Proses-proses ini lah yang membentuk kehidupan saya. Kemudian moment-moment penting dalam sejarah, seperti tahun 1998 itu membentuk saya. Pada moment tahun 1998 saya bertemu dengan banyak sekali aktivis, khususnya aktivis perempuan bergerak di lapangan. Saya mendukung para demonstran yang menentang harga kenaikan susu untuk ibu dan anak.
Keluarga saya adalah keluarga peranakan Tionghoa yang berbahasa Melayu campur Jawa Timur di rumah. Itu menjadi bahasa pengantar saya. Keluarga saya sangat dekat dengan budaya lokal. Sejak di Malang kami belajar tari Jawa. Inilah yang mau tidak mau membentuk pandangan-pandangan saya. Saya juga sempat mengikuti pandu yang berubah ke Pramuka, dengan mengusung visi-visi nasionalisme. Persentuhan saya dengan orang-orang multikultural itu juga membentuk saya. Ternyata saya menyadari perspektif saya itu kadang juga rasis, dalam bentuk ke Indonesiaan saya yang saya anggap benar itu belum tentu benar bagi orang lain. Dalam artian orang-orang yang tidak berperilaku seperti saya itu sebagai sesuatu yang salah. Jadi kalau saya lihat orang berbahasa Mandarin atau Hokkien saya cenderung melihat mereka sebagai orang yang salah.
Jadi saya sebenarnya juga belum multikultural pada waktu itu, artinya saya masih cenderung menghakimi orang berdasarkan perspektif pengalaman saya. Setelah 1998 saya baru belajar bahwa ternyata saya juga rasis, dan apa bedanya saya dengan Orde Baru. Jadi ketika melawan Orde Baru saya juga menyadari bahwa bagaimana konstruksi itu menjadi bagian dari diri saya. Saya juga belajar tentang Sastra Amerika, melihat bagaiman orang kulit hitam terkadang justru lebih rasis terhadap orang kulit hitam sendiri, dibanding terhadap orang kulit putih. Saya melihat banyak kontradiksi di Amerika Sendiri yang menjadi bagian dari pembelajaran saya. Jadi banyak proses yang akan terus saya pelajari dan memperbaiki posisi saya terus menerus.
CRCS: Baik ibu, terima kasih sekali buat waktunya.
(HAK)