Laine Berman | CRCS | Voices from America
Sejak tujuh belas tahun lalu, CRCS telah terhubung erat dengan para akademisi Amerika Serikat. Beberapa pelopor studi antaragama dari Amerika, seperti John Raines, Mahmud Ayoub, dan Paul Knitter, telah membantu dalam pendirian dan pengembangan CRCS. Banyak dosen tamu dan para pengajar bahasa Inggris dari Amerika telah mengajar di CRCS. Lebih dari 30 alumni CRCS kini juga telah melanjutkan studinya, untuk tingkat MA atau PhD, di universitas-universitas Amerika. Sehubungan dengan pelbagai kabar politik pascapemilu Amerika, juga fenomena yang serupa di negara-negara lain di Eropa dan Asia, kami mengundang para kolega dan relasi kami dari Amerika untuk menuliskan pandangan atau refleksi personal mereka di situs web CRCS. Artikel berikut ini, yang ditulis Laine Berman, adalah yang kedua untuk seri “Voices from America”. Versi orisinal dari tulisan ini dalam bahasa Inggris dapat dibaca di sini. Seri pertama dapat dibaca di sini.
***
Seperti orang lain, saya tak hanya heran, tapi juga betul-betul syok dengan kemenangan Donald J Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat. Meski saya tinggal di sini di Yogyakarta, yang amat jauh dari Amerika, dan bahasa serta kebiasaan sehari-hari saya saat ini sepenuhnya men-Indonesia, ‘rumah’ dan ikatan kultural saya masih utuh. Betapapun, saya berasal dan dibesarkan di New York, kota asal Trump. Selama masa muda, saya dan seluruh warga New York, kerap mendengar kelakar tentang Trump, kebangkrutannya, cerita perkawinannya, sikapnya yang vulgar terhadap para perempuan, hingga urusan bisnisnya yang sama sekali tak menghiraukan budaya lokal, lingkungan hidup, para kontraktornya, atau rakyat jelata. Orang-orang New York akrab dengan gambaran Trump sebagai badut yang super narsis. Bagaimana bisa dia jadi presiden?
Dalam ego pribadi, saya cukup lelah untuk lagi-lagi menumpahkan emosi dan sumpah serapah terhadap Amerika setelah bertahun-tahun menjadi ekspat di Indonesia. Saya pertama melalang buana sejak era Carter dan Reagan, era saat tiada internet dan saya tak tahu akan politik dunia dan keganasan kebijakan Amerika. Setidaknya bagi saya, zaman ketidaktahuan tersebut adalah kebahagiaan (ignorance is bliss). Ketidaktahuan itu hilang setelah kemudian Bush Senior (Republikan) yang menghina Irak dan media menyebarluaskan kebohongan demi menggalang dukungan bagi keterlibatan Amerika dalam perang yang tak berdasar itu. Rasa malu saya sebagai orang Amerika di luar negeri mulai menyeruak. Amerika yang dipimpin Clinton (Demokrat) beberapa tahun setelahnya sempat menunda kemuakan saya untuk sementara. Hingga kemudian yang lebih mengerikan, Bush Junior (Republikan), menduduki takhta dan mengobarkan perang dengan kampanye yang culas dan dusta dalam memburu “senjata pemusnah massal” di Irak. Ini kampanye yang tak hanya mendestabilisasi Timur Tengah dan menanamkan benih bagi kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), tapi juga menandakan era ‘terorisme Islam’ sebagai musuh nomor satu bagi Amerika, dan karenanya juga bagi dunia (yang sepertinya ikut-ikutan Amerika). Sebagian orang sadar bahwa musuh sebenarnya bukanlah orang-orang Islam. Yang terjadi sebenarnya adalah kepentingan ekonomi minyak yang berlindung di balik tuduhan ‘teroris’ terhadap orang-orang Arab dan kaum muslim—kecuali jika mereka adalah mitra bisnis Amerika. Setelah itu, setidaknya di Indonesia, ada rasa trendi di era Obama untuk menjadi orang Amerika lagi, walau Obama melancarkan serangan drone di Timur Tengah yang jelas tidak mengakhiri akibat kegilaan kedua Bush di atas.
Dan kini, muncullah Trump (Republikan).
Sebagai penduduk jangka lama (long-term resident) di Yogya, dulu saya suka bangun pagi untuk kemudian ke kebun mencari sinar matahari terbit dan mendengarkan kicauan burung. Kini, setelah bangun pagi, saya segera mengambil ponsel untuk membuka Facebook atau membaca berita dari berbagai media dunia demi mendapati apakah ada kegilaan baru datang dari Amerika. Dan ini baru di bulan-bulan pertama dari masa empat tahun kepresidenan Trump.
Amerika di saat saya dibesarkan adalah Amerika saat saya merengkuh perbedaan, dan bukan malah takut terhadapnya. Namun kini, saya harus merenungkan apakah kenangan masa kecil saya itu hanya mitos atau fantasi. Satu kebenaran yang tak mengenakkan ialah, hal-hal yang dikatakan Trump dalam kampanyenya—dan kemudian dijalankan setelah jadi presiden—adalah Amerika yang sebenarnya. Kampanye menakut-nakuti (fear-mongering) berbasis rasisme yang dilancarkan Trump bukanlah hal baru di Amerika, yang dalam sejarahnya telah ditempa perbudakan, Jim Crow, McCarthyism, chauvinism, dan keinginan untuk mengontrol tubuh perempuan. Sudah banyak penjelasan dari dunia akademik dan media tentang mengapa Trump dapat meraih popularitas yang sangat di luar dugaan banyak orang. Jika mau jujur, kita harus mengakui bahwa semua yang Trump lakukan adalah realitas budaya yang sudah ada (dan terlalu sering dielakkan dalam sejarah)—dan dengan kemunculan Trump kini, wajah bopeng budaya itu tak lagi malu menampakkan diri. Pagi ini, saat artikel ini ditulis, muncul berita tentang anggota legislatif yang ingin melarang buku sejarah favorit saya, A People’s History of the United States (1980). Karya Howard Zinn ini mengkaji ulang sejarah Amerika dengan menyibak mitos di balik citra kesempurnaan Amerika. Di samping soal demokrasi (ini salah satu mitos yg selalu diutarakan —Amerika tidak benar-benar demokratis), Zinn memaparkan sejarah Amerika yg dibangun atas fondasi ketidak-setaraan ras dan kelas dengan menekankan kenyataan pahit tentang perbudakan, genosida orang-orang pribumi Amerika, dan kebijakan-kebijakan yang salah fatal pada kelompok-kelompok tertentu. Rancangan undang-undang yang diajukan anggota legislatif itu menyatakan buku Zinn “berbahaya bagi anak-anak Amerika,” karena buku itu tak menekankan “kehebatan (exceptionalism) Amerika dan kesempurnaan ekonomi pasar bebas.”
Sementara itu, Trump melanjutkan kampanyenya yang bertajuk “Make America Great Again” dengan mengobarkan rasisme dan kebencian, dan dengan memainkan mitos “kehebatan Amerika” itu: Amerika yang makmur dengan/karena pasar bebasnya; Amerika yang sejahtera karena menyediakan kesempatan untuk semua (kecuali yang miskin, minoritas, perempuan).
Ya, Amerika boleh jadi telah menciptakan tata baru dunia setelah perang dunia, tapi ia bukanlah standar untuk dijadikan teladan. Dengan adanya orang gila kini di kursi presiden Amerika, saya hanya berharap Indonesia mulai menyadari fakta ini, dan lalu lebih fokus pada harapan dan impian sendiri ketimbang ingin merengkuh ‘keajaiban’ (fatamorgana?) bernama Amerika. Satu hal yang, saya ingin, Indonesia dapat meniru dari kegaduhan politik Amerika saat ini ialah maraknya humor-humor di media untuk mengkritik apa dan siapa yang pantas dikritik. Trump sebagai presiden telah memicu munculnya banyak meme berisi kritik-kritik jenaka. Humor juga adalah bagian dari tradisi Indonesia: memakai komedi sebagai alat kritik tajam. Ini adalah satu-satunya aspek dari Amerika yang saya ingin lihat di sini—kemerdekaan berbicara, mengekspresikan perbedaan pandangan, dan mengkritik secara terbuka—tanpa takut dilarang undang-undang.
Laine Berman, PhD, telah tinggal di Yogyakarta sejak 1981, tahun ketika ia kembali mengajar bahasa Inggris di UGM dan IKIP (kini UNY). Sejak saat itu, selain menjadi aktivis komunitas, ia bekerja sebagai dosen, peneliti, dan penulis.