Pergulatan ideologi transnasional di tengah kebebasan politik menyisakan dilema tersendiri. Salah satu gerakan transnasional yang berkembang pesat di Indonesia saat ini adalah Hizbut Tahrir yang masuk ke Indonesia pada 1980-an melalui kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Mereka menyuarakan penentangan terhadap sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, berusaha membebaskan masyarakat (muslim) dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir serta kampanye massif penegakkan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wednesday Forum CRCS – ICRS Rabu 30 November 2011 menghadirkan Muhammad Iqbal Ahnaf, Ph.D untuk membedah persoalan HTI dengan tajuk “From Revolution to Refolution: The Evolution of the Political Strategy of Hizbut Tahrir Indonesia”.
Hizbut Tahrir secara terbuka menyatakan diri sebagai partai politik yang berideologi Islam (Partai Islam Ideologis), walaupun secara yuridis formal organisasi yang didirikan Taqiyuddin an-Nabhani ini tidak terdaftar sebagai parpol peserta Pemilu di Kementerian Hukum dan HAM. Alasan yang sering diungkapkan oleh para petinggi HTI terkait pilihan tak mau terlibat dengan Pemilu adalah keenganan untuk ikut dalam proses demokrasi yang dicap sebagai sistem kufur.
Ketika mengambil posisi oposisi, HTI ternyata sering berinteraksi dengan Parlemen serta punya hubungan dekat dengan politisi di DPR dan para pejabat baik di level daerah maupun pusat. “Meskipun mengkritik keberadaan Partai dan Parlemen, HTI memberikan dukungan kepada calon yang konsen dengan penerapan syari’ah dan tertarik dengan ide-ide khilafah,” ungkap Iqbal.
Daya tarik HTI adalah kemampuan mereka menyampaikan pemikiran-pemikiran detail tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan kontak kerja perusahaan asing yang memang menjadi persoalan serius yang dihadapi Indonesia saat ini dengan artikulasi Islam sebagai solusi. Kekuatan ini dilatarbelakangi kehadiran para ilmuwan dan akademisi yang bergabung di struktur kepengurusan.
Interaksi HTI dengan umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah) dalam pengamatan lulusan Victoria University New Zealand ini cukup menarik. HTI sangat ambisius mengadakan forum yang melibatkan banyak orang seperti Konferensi Rajab 1432 yang acara puncaknya di Stadion Lebak Bulus Jakarta dihadiri 20.000-an kaum muslimin (29/6/2011) , Kongres Mahasiswa Islam Indonesia di Hall Basket Gelora Bung Karno Jakarta yang diikuti 5.000-an mahasiswa Islam dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia 18/10/2009, dan Liqo’ Syawal Ulama 1432 H yang berhasil mengumpulkan 11.000-an ulama, kiyai dan asatidz di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Wirowongso, Ajung, Jember (25/9/2011).
Gerakan-gerakan persuasif di atas dalam tataran tertentu punya kemiripan dengan Teori Hegemoni Gramsci. Pendekatan kepada tokoh-tokoh penting dalam masyarakat baik itu ulama, politisi maupun pejabat sangat kuat hubungan dalam upaya transfer ide-ide HTI dan juga bisa dijustifikasi sebagai dukungan kelas dominan (birokrasi – otoritas keagamaan). Apabila kelas dominan sudah terpegang maka proses penguasaan terhadap kelas bawah (masyarakat umum) bisa berjalan mudah dan mereka akhirnya bergerak menyokong ide-ide yang telah dipercayai sebagai nilai-nilai (ideologi) perjuangan bersama.
Tak sepenuhnya idealis, pemimpin HTI sangat rasional mencermati situasi khas Indonesia. Mereka menghindari konfrontasi retorika terkait Pancasila dan NKRI, tetapi ambigu dalam menyikapi Pemilu (Pemiihan Presiden dilarang – Pemilihan Kepala Negara dibolehkan) dan selalu menyuarakan penolakan terhadap demokrasi. Hal ini sangat erat hubungannya dengan strategi eksistensi organisasi dari ancaman pembubaran oleh pemerintah. (ANG)
Sumber Foto: Blogspot