Membincang HAM, KBB, dan Islam bersama Prof. Syamsul Arifin: Dari Perdebatan Tafsir, Universalisme, hingga Intoleransi
Haris Fatwa Dinal Maula – 27 Agustus 2022
Sebagai sebuah norma sosial yang diniatkan berlaku universal, keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi bagian tak terpisahkan dalam diskursus maupun kehidupan umat Islam di dunia dewasa ini. Secara formal, negara-negara muslim yang menjadi bagian dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengafirmasi keberadaan nilai-nilai HAM melalui isi pembukaan Piagam Pedoman OKI pada 1972. Komitmen ini juga ditunjukkan dengan banyaknya negara muslim yang meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICSER) yang disahkan pada 1966. Namun, penerimaan formal tersebut tidak serta-merta membuat diskursus HAM diterima dengan mulus oleh dunia muslim. Salah satu poin krusial dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjadi perdebatan adalah tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Di sisi lain, pelaksanaan dan penegakan HAM di negara-negara muslim juga masih lemah dan tak jarang menjadi sorotan.
Dinamika inilah yang kami angkat dalam wawancara bersama Prof. Dr. Syamsul Arifin, Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Guru besar sosiologi agama ini menulis beberapa karya terkait wacana relasi HAM dan Islam, utamanya dalam konteks Indonesia. Di antaranya, Attitudes to Human Rights and Freedom of Religion or Belief In Indonesia (2010), “Indonesian Discourse on Human Rights and Freedom of Religion or Belief: Muslim Perspectives” (2012), dan “Interseksi Hak Asasi Manusia dan Sharī’ah di Indonesia” (2018). Mengenai isu spesifik tentang KBB, Arifin juga pernah menulis “Diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perspektif Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” (2011). Tulisan-tulisan tersebut mengurai beberapa kata kunci penting; HAM, Islam, syariat, serta KBB.
Bagaimana Anda melihat relasi HAM dalam perspektif Islam?
Sebenarnya yang menjadi masalah itu bukan soal apakah Islam itu kompatibel dengan HAM dan KBB atau tidak, melainkan apa konsep Islam tentang HAM dan KBB itu sendiri. Sebagai akademisi di bidang sosiologi agama, kaitannya dengan relasi ini, saya lebih memfokuskan pada bagaimana hubungan HAM, KBB, dan Islam ini dikonstruksi oleh umat Islam. Dalam tulisan saya, Attitudes to Human Rights and Freedom of Religion or Belief In Indonesia, saya mengatakan bahwa respons Islam terhadap HAM itu beragam. Ada pihak yang mengatakan bahwa Islam itu kompatibel dengan HAM, tapi ada yang kemudian menolak dengan alasan bahwa HAM adalah produk dari Barat dan bagian dari propaganda untuk menyerang Islam, terutama pada pengakuan terhadap kebebasan dan hak untuk pindah agama.
Dalam Universal Declaration of Human Rights, hak berpindah agama masuk dalam topik kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dikategorisasikan sebagai forum internum (non-derogable rights). Sedangkan dalam Islam, berpindah agama diistilahkan sebagai murtad. Bagi beberapa kalangan muslim, orang yang murtad bukan hanya sekedar berdosa, melainkan juga sebuah tindak kriminal. Sehingga HAM dan KBB dipersepsikan, oleh sebagian golongan ini, tidak relevan, tidak sesuai, tidak kompatibel, dan mengancam eksistensi Islam karena memberi ruang bagi orang untuk memilih agama atau keyakinannya tanpa risiko apa pun.
Saya sendiri mengatakan bahwa Islam itu kompatibel dengan HAM dan KBB. Bahkan, Islam itu harus memberi contoh. Mengapa? Karena Islam mempunyai banyak nilai-nilai fundamental penghargaan kepada manusia, termasuk prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinan. Bentuk komitmen Islam terhadap kebebasan ini banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya, Islam memberi pengakuan bahwa individu mempunyai hak untuk memeluk apa yang diyakininya, tanpa ada paksaan. Namun tentu, semuanya akan tergantung dari bagaimana umat Islam menginterpretasi ayat tersebut. Oleh karena itu, bagaimana memberikan interpretasi yang progresif juga perlu menjadi catatan. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh Abdullah Saeed dan Abdullahi An-Na’im.
Penafsiran dalil-dalil Islam yang melimpah dan multiperspektif juga turut berkontribusi pada diskusi Islam dan HAM, bagaimana Anda melihat ini?
Ada dua sudut pandang tafsir yang mencolok: tafsir tekstual dan kontekstual, dalam tataran tertentu juga bisa disebut eksklusif dan inklusif. Namun, saya pikir itu tidak bisa kita hindari. Hal itu tidak terlepas dari watak teks yang memang meniscayakan terjadinya berbagai macam penafsiran. Corak penafsiran yang cenderung tekstual akan melahirkan sikap teologis yang eksklusif, pun dengan penafsiran yang cenderung kontekstual akan melahirkan sikap teologi yang inklusif. Perdebatan itu sudah menjadi kesepakatan umum karena masing-masing juga berangkat dengan argumen-argumennya sendiri.
Namun, saya kira yang paling penting adalah perbedaan itu tidak menimbulkan sikap intoleransi, persekusi kepada mereka yang dianggap tidak sesuai dengan penafsiran itu. Misalnya, ada yang berpandangan bahwa pindah agama adalah perbuatan dosa. Saya, misalnya, tidak menghendaki jika anak atau cucu saya berpindah agama. Namun, sikap kita ya hanya sampai situ saja. Tidak bisa kemudian melakukan hal-hal kriminal agar keluarga saya tidak pindah agama.
Negara dengan demikian juga perlu hadir untuk menjaga stabilitas masyarakat. Negara mempunyai peran-peran untuk melindungi, mengakomodasi, dan menghargai hak-hak dasar warga negaranya. Jangan sampai kemudian negara membiarkan jika ada tindakan-tindakan persekusi terhadap kelompok tertentu yang berbeda dengan kelompok dominan.
Indonesia sendiri telah mengatur HAM dan KBB dalam UUD 1945 Pasal 29, tetapi negara juga membatasi HAM dan KBB dalam pasal 28J, bagaimana Anda melihat pembatasan ini?
Yang dibatasi oleh negara itu sebenarnya pada ekspresi keberagamaan dalam konteks ruang dan waktu yang bisa menimbulkan kekacauan di tengah publik. Namun, mengutip Zainal Abidin Bagir, aturan-aturan itu juga harus jelas. Ini juga yang saya kira sedang dilakukan oleh Menteri Agama. Bapak Menteri Agama tidak menghalangi, tetapi mengelola ekspresi keberagamaan di ruang publik. Misalnya, azan yang menjadi bagian dari ritual keberagamaan Islam kemudian diatur agar tidak mengganggu kepentingan publik yang lain. Contoh lain adalah bagaimana negara melarang kegiatan keagamaan yang sampai menutup akses publik. Negara punya otoritas untuk melarang pengajian, misalnya, yang menutup jalan raya hingga berhari-hari.
Bagaimana pendapat Anda terkait frasa “menjaga ketertiban”? Apakah kasus pelarangan Ahmadiyah, pembubaran FPI dan HTI termasuk dalam rangka “menertibkan” itu?
Ini memang menjadi perdebatan panjang. Saya pernah ditanya soal pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya kira negara mempunyai sekian pertimbangan, misalnya, jika HTI ini dibiarkan maka mengganggu stabilitas nasional, terutama terkait Pancasila. Saya kira dalam hal ini pemerintah dibenarkan karena HTI dinilai menggunakan hukum dan ideologi yang tidak sesuai dengan keragaman masyarakat Indonesia. Pergerakan HTI sendiri juga dipandang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban. Yang penting adalah negara mendasarinya dengan ketentuan-ketentuan yang objektif, jelas, dan tentu saja melibatkan masyarakat .
Negara dalam hal ini juga perlu memperhatikan bagaimana cara mengomunikasikan kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan kepada masyarakat. Hal ini secara tidak langsung berkelindan dengan HAM itu sendiri. Cara masyarakat menerima dan menyikapi perbedaan akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana negara menyampaikannya kepada publik.
Apakah memungkinkan jika Indonesia menghilangkan seluruh pembatasan terhadap HAM dan KBB? Sebagai gantinya, negara hanya perlu menyosialisasikan bagaimana bersikap terhadap perbedaan?
Pada akhirnya, semua negara, tidak hanya Indonesia, akan sampai suatu fase ketika HAM dan KBB dianggap sebagai sebuah keniscayaan, sebuah realitas yang tidak bisa dihindari. Namun begini, bayangan semacam ini kadang hanya asyik di forum-forum, tetapi secara realitas kita menyaksikan kebijakan-kebijakan negara yang bias. Misalnya, kebijakan yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu. Dalam hal ini, negara sangat terasa sedang menciptakan polarisasi dengan menegaskan satu kelompok atas kelompok lainnya.
Negara dalam level ini cenderung tidak konsisten. Di satu sisi, negara banyak berbicara tentang moderasi beragama. Namun di sisi lain, banyak kebijakan negara yang bias. Hal ini bisa dirasakan secara jelas oleh beberapa pihak, terutama yang dirugikan. Realitas ini sedikit banyak berkaitan dengan politik agama yang terjadi pada masa Reformasi ini. Di satu sisi, negara mengkritik populisme, misalnya. Namun, di sisi lain, pemerintah melakukan praktik populis. Pemerintah oleh karena itu perlu menyediakan pendidikan kepada publik dengan memproduksi kebijakan-kebijakan yang objektif.
Apakah universalitas HAM akan terus berkontestasi dengan relativisme budaya yang menjadi karakter utama di banyak negara-negara mayoritas muslim?
Universalisme dan relativisme kultural merupakan perdebatan yang sudah terjadi sejak lama. Namun, perlu dicatat, bahwa universalisme HAM tidak hanya dipersoalkan oleh kalangan Islam, tapi juga kalangan lain yang biasanya memiliki komitmen keagamaan begitu kuat. Di Indonesia, konsep universalisme ini menurut saya juga sukar diterima karena bertentangan dengan konsep budaya, yang termasuk di dalamnya bingkai-bingkai keberagamaan. Namun, saya kira perdebatan antara universalisme dan relativisme budaya merupakan realitas yang tidak mungkin terhindarkan. Perdebatan ini saya kira tidak akan berakhir.
Yang penting adalah bagaimana mengelola kontestasi wacana semacam. Jangan sampai kemudian melahirkan persekusi, kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang berpandangan berbeda.
Menurut Anda, bagaimana cara menanamkan kesadaran HAM dan KBB dalam konteks perguruan tinggi, terutama menggunakan konsep living values yang pernah Anda tulis?
Living values adalah pendekatan sistemik yang komprehensif. Living values berangkat dari satu konsep tentang nilai-nilai fundamental. Nilai-nilai tersebut kemudian diinternalisasi menggunakan satu pendekatan environment atau atmosfer yang berbasis nilai. Misalnya, penyediaan fasilitas untuk kelompok difabel dan lingkungan kampus yang antiperundungan, antikekerasan seksual, serta antikorupsi. Salah satu contoh sederhana, misalnya, saya sebagai Wakil Rektor I mengusulkan peraturan masalah “etika bimbingan mahasiswa” kepada Rektor, yaitu bimbingan harus dilaksanakan di kampus. Kemudian, mahasiswa tidak boleh menyampaikan pemberian dalam bentuk apa pun kepada dosen, dan sebaliknya dosen tidak boleh menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari mahasiswa. Mekanisme ini adalah cara agar nilai itu benar-benar hidup. Harus ada sarana atau ekosistem yang diciptakan agar nilai-nilai itu bisa terwujud.
Kita tidak bisa mengatakan “dilarang merokok” di kampus tetapi tidak disertai dengan tindakan-tindakan jika ada orang merokok di kampus. Living values harus dipahami secara utuh mulai dari konseptualisasi hingga implementasi. Living values pada akhirnya harus menjamin keterciptaan atmosfer yang berbasis nilai-nilai itu. Bahkan orang-orang di dalamnya harus menjadi living curriculum (kurikulum hidup). Bicara soal toleransi akan menjadi omong kosong, misalnya, jika dosennya tidak mencerminkan sikap yang toleran. Jadi semuanya harus utuh dan komprehensif.
Terkait KBB misalnya, saya sering bilang kepada dosen-dosen agama, terutama, di UMM bahwa harus dipastikan ketika mengajar, audiens atau mahasiswa itu nyaman dan aman secara teologis. Jangan sampai kemudian, dosen menyampaikan ujaran-ujaran provokatif yang membuat audiens yang berbeda agama atau keyakinan menjadi tidak aman dan tidak nyaman.
Terkait hal itu, apakah perlu mengajarkan secara khusus, misalnya mata kuliah Islam, HAM, dan KBB di perguruan tinggi?
HAM dan KBB merupakan tema yang menarik, terutama terkait dengan kompatibilitas, relasi, dan interseksi [titik temu]-nya dengan Islam. Saya berpikir perlu ada satu forum besar yang memproduksi wacana HAM dan KBB, dari segi relasi dan irisannya dengan Islam. Forum tersebut mempunyai output semacam kelas bernama “Master Course on Shari’ah and Human Rights”. Fungsi utamanya adalah untuk memberi wawasan-wawasan akademik yang memadai kepada mahasiswa di perguruan tinggi terkait titik temu antara syariah dan HAM, konflik, kompatibilitasnya, serta isu-isu terkait di Indonesia. Forum ini juga berfungsi sebagai wadah untuk berdiskusi tentang perbedaan-perbedaan pendapat kaitannya dengan HAM, KBB, dan Islam dalam sebuah ruang akademik. Ini akan melahirkan satu produk keilmuan dan pemikiran yang nanti apa pun hasilnya akan menjadikan kita lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan.
______________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.