Meminimalkan Residu dengan Manajemen Satu Pintu
Chusnul C – 27 Juni 2023
Alih-alih mendapat kesejahteraan lebih, keberadaan pariwisata di kawasan adat Ammatoa Kajang menimbulkan masalah baru yang tak kalah pelik, dari rusaknya lingkungan hingga segregasi kelompok. Lantas apa yang bisa dilakukan?
Selepas Reformasi, masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba mendapat pengakuan secara legal dari Pemerintah. Pengakuan tersebut tidak hanya mencakup eksistensi identitas, tetapi juga hak-hak mereka sebagai kelompok masyarakat adat, salah satunya hutan adat sekira 313.99 ha. Meskipun demikian, masyarakat adat Ammatoa belum merasakan dampak signifikan atas pengakuan tersebut, khususnya dari segi ekonomi.
Sebenarnya, sejak tahun 1980-an, Pemerintah Daerah Bulukumba telah mengembangkan wisata budaya di kawasan masyarakat adat Ammatoa. Namun sayangnya, masyarakat adat dan budayanya masih diposisikan sebatas pajangan objek wisata. Di sisi lain, pengelolaan wisata budaya yang setengah hati justru membawa masalah baru. Banyak pengunjung yang datang ke Kawasan Adat Ammatoa membawa serta bungkusan plastik yang mereka bawa dari luar. Hal ini diperparah dengan ketidaksiapan infrastruktur kawasan wisata untuk mengelola sampah tersebut. Pengelolaan wisata yang dikembangkan pemerintah ini belum mampu mengakomodasi kebutuhan wisatawan maupun kewajiban untuk menjaga nilai-nilai lingkungan yang dijaga ketat di Kawasan Dalam.
Ancaman kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh sampah plastik pada dasarnya merupakan permasalahan laten yang dialami oleh hampir seluruh destinasi wisata. Seperti yang terjadi pada ekowisata di Australia Utara, permasalahan ini jika tidak diantisipasi dengan baik dalam jangka waktu panjang bisa menyebabkan kerusakan lingkungan (Fuller, Bultjens, dan Cummings, 2005). Selain sampah plastik, destinasi wisata yang tidak terkelola dengan baik juga memantik berbagai ancaman lingkungan lain seperti menipisnya sumber daya alam, polusi, erosi tanah, hilangnya ekosistem, hingga potensi kebakaran hutan (Manu, 2012).
Di samping masalah lingkungan, keberadaan wisata budaya tersebut menciptakan kecemburuan sosial dan segregasi masyarakat. Keuntungan materi yang dihasilkan dari pengembangan wisata budaya tersebut hanya menguntungkan segelintir pihak. Di sisi lain, keberadaan masyarakat adat Ammatoa sebagai komunitas dampingan dari berbagai lembaga—seperti universitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun dari berbagai dinas di Bulukumba—memunculkan dominasi pihak tertentu dari masyarakat adat yang memiliki akses. Kelompok masyarakat ini saling berkompetisi untuk menjadi mitra dampingan. Keberadaan broker program, yang seringkali terlalu fokus pada eksekusi program dan timbal balik yang didapat, membuat warga Ammatoa kian jauh dari nilai-nilai keberlanjutan pembangunan komunitas.
Berdaya melalui Ekowisata Berbasis Komunitas
Beranjak dari sengkarut permasalahan tersebut, pada tahun 2018, CRCS UGM bersama Dinas Pariwisata serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Bulukumba bekerja sama membuat program wisata berkelanjutan untuk memperkuat rekognisi masyarakat Ammatoa sebagai masyarakat adat. Salah satu pendekatan utamanya ialah melalui implementasi ekowisata berbasis komunitas atau community-based ecotourism (CBET) yang menekankan aspek-aspek pemberdayaan masyarakat.
Menurut Pornprasit dan Rurkkhum (2019, mengutip dari Ghidouche, K.A.Y., & Ghidouche, F. 2019), ekowisata berbasis komunitas menekankan beberapa karakter di antaranya penekanan pada kawasan lingkungan, manajemen, edukasi, serta partisipasi masyarakat. Di sisi lain, kebudayaan dan sumber daya alam milik masyarakat juga harus menjadi aset bagi atraksi wisata (Nelson, 2004). Karenanya, penerapan konsep ekowisata berbasis komunitas ini memerlukan partisipasi penuh dari masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga keberlanjutannya. Partisipasi ini memberikan kesempatan kepada seluruh kelompok masyarakat untuk berbagi pandangan, bergabung, serta terlibat dalam pengambilan keputusan termasuk pembagian keuntungan. Dengan kata lain, segala kegiatan ekowisata berbasis masyarakat harus melibatkan masyarakat lokal sekaligus memosisikan mereka sebagai aktor utama sekaligus operator wisata. Di samping memberdayakan dan memobilisasi kapasitas mereka (Sproule, 1996), partisipasi masyarakat secara luas ini merupakan upaya untuk pemerataan dan memitigasi sikap negatif yang terjadi akibat dari non-partisipasi (Manu et al, 2012). Partisipasi masyarakat dianggap penting karena berkaitan dengan minat, persepsi, dan nilai-nilai lokal dari setiap komunitas untuk memberdayakan diri mereka sendiri. Keterlibatan penuh dari anggota masyarakat harus didorong dari awal melalui dialog bersama yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan bagi hasil (Diamantis, 2004).
Syarat kedua agar program ekowisata berbasis komunitas ini berhasil, menurut Nelson (2004), ialah kolaborasi antarpemangku kepentingan baik individu, kelompok, maupun organisasi. Pemangku kepentingan dapat meliputi lembaga pemerintah dan non pemerintah seperti lembaga penelitian, LSM, masyarakat lokal, otoritas tradisi, dan juga agen pariwisata. Oleh karena ekowisata merupakan usaha yang kompleks dan dinamis, keterlibatan dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan yang memiliki pandangan yang berbeda nilai serta modal untuk pembangunan ini menentukan bentuk dan keberhasilan program ekowisata berbasis komunitas (Gray, 1989). Akan tetapi, yang penting untuk selalu diingat, keterlibatan utama mereka ialah untuk memberdayakan dan memperkuat kapasitas anggota masyarakat (Kiss, 2004).
Syarat ketiga suksesnya ekowisata berbasis komunitas ialah kualitas pengelolaan komite manajemen. Umumnya, yang menjadi titik krusial dalam pengelolaan ekowisata berbasis komunitas ialah pembagian hasil ekonomi dan daya dukung wisata (Bhoj dan Jan, 2007). Selain itu, masalah seperti kecemburuan dan pengucilan juga banyak dihadapi dalam usaha penerapan ekowisata berbasis komunitas. Beberapa masalah tersebut dapat diantisipasi dengan membentuk sebuah komite atau manajemen yang dikelola bersama secara transparan untuk menghindari tindakan korupsi (Sproule, 1996). Keberadaan manajemen tidak hanya berfungsi untuk mengatasi permasalahan internal masyarakat, tetapi juga untuk mengantisipasi berbagai masalah eksternal terkait pemangku kepentingan dan pengunjung. Dengan membuat komite manajemen yang diampu bersama, sebuah komunitas dapat membuat aturan khusus yang membuat pengunjung—baik anggota masyarakat, pemangku kepentingan, dan berbagai pihak lainnya—untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai adat setempat (Ormsby dan Edelman, 2010).
Bersinergi Melalui Manajemen Satu Pintu
Pada dasarnya masyarakat adat Ammatoa tidak lagi asing terhadap pengunjung yang datang ke Kawasan Adat mereka. Karenanya, keberadaan ekowisata berbasis komunitas ialah untuk mengantisipasi berbagai residu dan dampak dari kunjungan tersebut. Upaya pertama yang dilakukan ialah membuat kelompok sadar wisata (pokdarwis) sebagai komite manajemen ekowisata. Pokdarwis menjadi wadah aspirasi dan kegiatan masyarakat adat Ammatoa untuk melakukan improvisasi, pengelolaan agenda, dan seluruh hal terkait program. Dengan kata lain, pokdarwis ini merupakan subjek sekaligus pemilik program ekowisata berbasis komunitas. Namun, pokdarwis tidak bekerja sendiri. Mereka ditemani dan difasilitasi oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan yaitu Dinas Pariwisata (Dispar) Bulukumba dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bulukumba (DLHK), dan Pemerintah Desa Ammatoa. Pokdarwis ini juga mengupayakan integrasi program dengan pemangku adat dan pemerintah Desa Tanah Toa.
Di sisi lain, pokdarwis perlu menyinergikan program-program mereka dengan pemangku kepentingan lainnya agar program tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri atau bahkan tumpang tindih dan meninggalkan masalah baru seperti sampah plastik di Kawasan Dalam serta eksistensi broker program. Upaya sinergi program tersebut dapat diwadahi melalui manajemen satu pintu. Konsep manajemen satu pintu merupakan sebuah sistem manajemen terpadu yang transparan dan dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat lokal dari mulai perumusan, proses eksekusi program, hingga evaluasi. Melalui sistem ini, pokdarwis yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat menjadi pintu yang mengelola berbagai kepentingan dari pihak yang terlibat sekaligus membangun sistem kontrol terpadu untuk meminimalkan dan mengantisipasi berbagai residu wisata.
Kedudukan manajemen satu pintu ini kemudian diperkuat melalui Peraturan Desa (perdes). Isi perdes tersebut memuat berbagai poin penting di antaranya mengenai ruang lingkup ekowisata desa (pengelolaan dan penataan); maksud, tujuan, fungsi; strategi dan model pembangunan serta pengembangan desa ekowisata; hingga pengembangan bisnis dan sistem bagi hasil. Melalui perdes, masyarakat membuat kesepakatan bersama dan membagi sistem kerja secara merata. Pembagian keuntungan pun disepakati dan diketahui bersama untuk meminimalkan kecemburuan sosial dan segregasi masyarakat. Adanya keterlibatan berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda-beda dapat memantik beragam ide dan kreativitas dalam pengembangan wisata. Dengan demikian, wisata di Kawasan Ammatoa, sebagaimana yang dikatakan Scheyvens (1999), didasarkan pada kebutuhan dan minat anggota komunitas, alih-alih pengunjung dari luar.
Sistem manajemen satu pintu juga sekaligus dapat menjadi pusat informasi terkait ekonomi wisata berbasis komunitas. Di samping mengelola seluruh transaksi, pusat informasi ini akan menghimpun berbagai informasi terkait ekowisata dan memberikan informasi yang diperlukan pengunjung. Untuk mendapatkan berbagai informasi terkait ekowisata di Ammatoa Kajang, pengunjung bisa datang langsung maupun menghubungi pihak manajemen melalui berbagai cara seperti media sosial ataupun kontak langsung. Pusat informasi inilah yang kemudian mengarahkan pengunjung ke divisi terkait berdasarkan layanan yang mereka butuhkan. Selain mempromosikan layanan ekowisata berbasis komunitas, pusat informasi ini juga sebagai penghubung dengan jaringan eksternal seperti di antaranya dengan asosiasi wisata.
Komunitas Ammatoa Kajang bukanlah masyarakat adat yang menutup diri ataupun bersikap anti terhadap kunjungan dari masyakarat di luar komunitasnya. Akan tetapi, perlu ada regulasi dan strategi agar kunjungan tersebut tidak malah merusak lingkungan alam dan sosial masyarakat adat. Keberadaan ekowisata berbasis komunitas merupakan salah satu jalan yang terus diupayakan dan dijalankan oleh masyarakat adat di kawasan Ammatoa Kajang untuk menyeimbangkan keduanya. Melalui sistem manajemen satu pintu, mereka tidak hanya mengelola informasi tetapi juga berusaha mengelola konflik dan meminimalkan residu dari kunjungan wisata.
Artikel ini disarikan dari tesis berjudul “Creative Economy for Indigenous Tradition and Environment Preservation: A Community-Based Ecotourism (CBET) Program in the Ammatoan Indigenous Community of Bulukumba, South Sulawesi” tahun 2020. Penelitian dilakukan sejak tahun 2019-2020 sebelum CBET Ammatoa Kajang diresmikan pada tahun 2021 yang sebelumnya sempat tertunda karena adanya pandemi Covid-19 di awal tahun 2020.
______________________
Chusnul C adalah alumnus CRCS UGM angkatan 2018. Baca tulisan Icus lainnya di sini.