Mucha-Shim Quiling Arquiza |
Kehadiran Moro National Liberation Front (MNLF) yang didirikan Nur Misuari pada tahun 1969 menghadirkan semangat baru bagi bangsa Moro dalam rangka perjuangan dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri. Bangsa Moro adalah sebutan bagi 13 suku yang mendiami Filipina bagian selatan (Pulau Mindanao, kepulauan Sulu, Palawan, Basilan dan beberapa pulau di sekitarnya). MNLF mengorganisasi perjuangan bersenjata melawan Pemerintah Filipina untuk keadilan ekonomi, dan pendirian negara sendiri.
Cap sebagai pemberontak telah membuat suatu bangsa bereaksi secara berbeda terhadap kekuatan yang menyudutkannya. Kebencian, frustasi, dan kebanggaan primordial berkelindan dalam memori kolektif yang disuntikkan dan diteruskan dari generasi ke generasi. Tidak saja dimanifestasikan dalam perlawanan fisik tapi juga disalurkan lewat visual art, graphic art dan oral narratives.
Perspektif inilah yang coba diangkat oleh Mucha-Shim Quiling Arquiza, kandidat doktor ICRS UGM-UIN Sunan Kalijaga-UKDW Yogyakarta dalam penelitiannya di SEPHIS (South Exchange Program for the Research of History of Social Change). Rabu siang, 21 Desember 2011 kemarin, Wednesday Forum menghadirkan Mucha sebagai pembicara dengan presentasi “Timpu Masa Aktibis: Social Narratives of Home, Selfhood, and Faith in Arts of Memory”.
Mucha menyebut nama Rameer Tawasil, seorang pelukis kenamaan kelahiran Sulu sebagai “suara lain” di tengah suara mainstream kekerasan yang terus diteriakan para politisi dan militan Moro. Pertempuran antara MNLF dengan tentara pemerintah Filipina pada tahun 1974 yang meluluhlantakan kota kelahirannya (Jolo) meninggalkan kesan begitu kuat dalam jiwa Rameer. Peperangan hanya menyisakan kepiluan dan tangisan. Lewat karya-karyanya, Rameer hendak membawa visi perdamaian untuk Mindanao.
Setelah itu, lulusan master komunikasi dari Ateneo de Manila University ini menayangkan sebuah foto graffiti bertintakan darah yang bertuliskan, ““In kami parrangsabil by Talib. Nagbaugbug kami sin hulah, bangsa iban agama” (We are ‘parrangsabil’ by Talib. We are defending the homeland, self-identity and faith – Islam) hasil potretan Neldy Jolo, seorang seniman dari Sulu. Graffiti darah ini dibuat saat kota Jolo hancur oleh bom Angkatan Bersenjata Filipina pada Februari 1974 dan konon ditulis oleh seorang muhajahiddin MNLF yang bernama Abdulyakin Mandangan. Berbeda dengan semangat “mengobati luka lama” yang diseru oleh Rameer, foto graffiti ini seolah menghadirkan kembali permusuhan dan pengenangan atas kebiadaban tentara pemerintah Filipina.
Untuk konteks ini, bisa dikatakan seni menjadi senjata simbolis melawan penindas. Memperlihatkan pembantaian dan dendam, serta menyuarakan restorasi keadilan dan harapan teologis (kemenangan bagi ‘kita’ dan Tuhan akan menghukum ‘mereka’ yang salah). Seni digiring dalam lanskap mental perjuangan masyarakat lewat narasi kepahlawanan dan kesyahidan sekaligus repertoar kebencian atas intimidasi “musuh”.
Selain lukisan dan graffiti, ekspresi masyarakat Sulu ditunjukkan lewat “nyanyian rakyat” seperti Do’dang – lelleng (Sama) yang mengisahkan rintihan seorang Ibu yang melihat anak dan suaminya menjadi korban perang, serta Lelleng – Tausug yang menggambarkan kepiluan para gadis dan anak yatim. Kedua nyanyian ini menginternalisasikan sentimen dari perspektif korban, orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam perang tetapi merasakan kepahitan karena kehilangan banyak hal. Mereka merasa muak, unsympathy terhadap perang, namun harus menerima itu semua sebagai nasib. Bergulat dengan kemiskinan, pelacuran, single-parents, janda, hilangnya tempat tinggal sebagai realitas kehidupan yang tak mampu ditolak.
Mengutip Gadamer, Mucha mengatakan, melalui aspek linguistik yang beroperasi dalam pemahaman dari proses mediasi terus-menerus yang ditularkan lewat tradisi, manusia menyadari keberadaannya dan melihat dunia lebih arif. Meskipun anak-anak muda di Sulu masih dibayang-bayangi balutan keyakinan “kemuliaan perang suci melawan musuh”, namun Mucha optimis kedamaian bisa diwujudkan di Filipina Selatan jika mereka terus diberikan penyadaran. “Anak-anak itu ingin mati syahid, tetap mereka sesungguhnya tidak mengerti dengan apa yang mereka perjuangkan”, tutup Mucha. (ANG)