Mendayung Keberagaman di Festival Peh Cun
Vikry Reinaldo Paais– 11 Juli 2022
Hari itu, Jumat, 3 Juni 2022, saya dan beberapa sejawat menuju Paris, sebutan akrab warga Yogyakarta untuk Pantai Parangtritis. Pantai yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa ini kental dengan cerita tentang Ratu Pantai Selatan. Ya, mitos Nyi Roro Kidul sempat terlintas dalam benak saya. Namun, kedatangan kami tidak ada kaitannya dengan hal tersebut. Tujuan kami ke sana untuk mengikuti Peh Cun, salah satu festival tahunan agama Konghucu. Evi Sutrisno, dosen mata kuliah Advanced Study of Confucianism yang akrab dipanggil mbak Evi, menjadi pemandu kami. Setibanya di Paris, kami disambut dengan lantunan musik khas Tionghoa yang bergema di telinga. Dari kejauhan terlihat sebuah meja tertutup kain merah di bibir pantai. Meja tersebut dihiasi sesajian berupa buah-buahan, bunga, serta beberapa makanan yang dibungkus dengan daun. Ternyata itu adalah meja altar yang akan digunakan sebagai bagian dari prosesi Peh Cun. Posisi meja yang membelakangi pantai selatan tidak sekadar menambah kesan estetis tetapi juga memberi nuansa sakral tersendiri. Bagi saya, ini merupakan pengalaman pertama menghadiri festival agama nonmonoteis. Sebagai seorang Kristen yang lahir dan dibesarkan di kepulauan Maluku, saya jarang menemui festival atau ekspresi keagamaan selain Islam dan Kristen. Mungkin ada, tetapi tidak dalam skala publik seperti di Yogyakarta. Karenanya, menghadiri dan turut serta dalam festival Peh Cun merupakan pengalaman yang sangat berbeda dan mengagumkan.
Makna dan Sejarah: Berawal dari Qu Yuan
Peh Cun adalah salah satu festival umat Konghucu yang rutin dirayakan tiap tanggal 5, bulan 5, menurut kalender Cina. Istilah Peh Cun mungkin tidak terlalu familiar bagi telinga orang awam, termasuk saya. Masyarakat luas biasanya mengenal festival ini sebagai festival perahu naga karena perahu yang digunakan memiliki ornamen naga. Secara istilah, Peh Cun—yang berasal dari kata Peh berarti ‘dayung’ atau ‘mendayung’, dan Cun berarti ‘perahu’—memiliki arti ‘mendayung perahu’. Sepintas, hal ini mengingatkan saya dengan salah satu festival Teluk Ambon di Maluku, yaitu arumbae manggurebe yang adalah ajang perlombaan mendayung perahu. Keduanya tampak sama, hanya arumbae tidak memiliki ornamen naga. Dapat terbayang seperti apa keseruannya jika menyaksikan langsung perahu naga. Namun sayangnya, perlombaan perahu naga tidak dilaksanakan tahun ini karena pandemi Covid-19 belum berakhir. Biasanya, pada tahun-tahun sebelumnya, perlombaan perahu naga digelar di laguna Depok.
Menurut Evi Sutrisno, Peh Cun merupakan perayaan yang dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada Qu Yuan (340-278 SM), seorang menteri yang setia dan loyal kepada negaranya pada masa Zhou akhir. Namun, pergolakan politik membuatnya difitnah dan diusir oleh kerajaan ke daerah pembuangan. Meski kecewa dan sakit hati, Qu Yuan tidak lantas membenci negaranya. Di tempat pembuangan, Qu Yuan juga sangat disayangi oleh penduduk sekitarnya. Kendati demikian, kesemuanya itu tidak lantas membuat Qu Yuan merasa lebih baik. Qu Yuan yang masih memendam kecewa akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke sungai. Para warga yang menyadari bahwa Qu Yuan menghilang, lantas berusaha mencarinya dengan perahu naga. Namun sayangnya, jasad Qu Yuan tidak pernah ditemukan. Karena jasadnya tidak ditemukan, warga lantas melemparkan nasi berbentuk segitiga yang dibungkus dengan daun bambu ke sungai untuk mengalihkan ikan-ikan agar tidak mengganggu jasad Qu Yuan. Nasi yang dibungkus daun bambu itulah yang saat ini disebut sebagai bacang dan aktivitas mendayung perahu naga ini terus dilestarikan sebagai festival Peh Cun.
Sebuah Ritual Peh Cun yang Inklusif
Sebenarnya rangkaian acara peringatan terhadap Qu Yuan ini tidak dimulai pada siang hari. Dalam percakapan via telepon dengan Alfincent Aprilio (Koko Jogja 2020), ia menyampaikan bahwa perayaan Peh Cun telah dimulai tepatnya pada tengah malam pergantian hari, atau yang disebut malam ritual. Saat malam ritual umat Konghucu akan melakukan meditasi dan doa tengah malam. Proses ini merupakan awal dari seluruh rangkaian acara yang nantinya berlanjut pada siang hari.
Siangnya, sekitar pukul 11.30 WIB, di bawah terik matahari yang menyengat, festival Peh Cun di pantai pun dimulai dengan ritual sembahyang Peh Cun. Terdengar imbauan dari panitia acara bahwa siapa pun yang ingin mengikuti sembahyang Peh Cun dipersilakan mengambil tempat di bagian tengah. Saya kaget, ternyata orang non-Konghucu boleh berpartisipasi langsung dalam ritual sembahyang Peh Cun. Tidak banyak orang non-Konghucu yang bergabung dalam sembahyang Peh Cun. Sebagian besar menyaksikan ritual tersebut dari pinggiran. Berbeda dengan saya dan rekan-rekan, acara setahun sekali ini tidak boleh disia-siakan. Mengikuti dan merasakan secara langsung seperti apa sembayang Peh Cun merupakan momen yang cukup langka dan sayang jika dilewatkan. Bersama dengan kawan-kawan serta dosen, saya mengambil posisi di bagian tengah, menghadap meja altar, dikelilingi oleh kerumunan orang yang hendak menyaksikan keseruan festival ini. Saya kemudian diberikan dupa oleh rekan-rekan Konghucu. Ketika doa dimulai, untuk pengalaman pertama ini, saya tidak berfokus pada rapalan doa melainkan pada gerakan doa. Dengan tangan terangkat sambil memegang dupa, saya mengikuti gerakan orang-orang di sekitar. Meskipun wajah saya menatap ke depan, tetapi gerakan mata sesekali menoleh ke samping kiri dan kanan. Tentu saja agar tidak kelihatan “salah gerakan”. Dalam hati saya, tidaklah lucu jika melakukan kesalahan sambil dilihat bahkan direkam oleh banyak orang.
Salah seorang rekan kuliah yang juga mengikuti ritual ini adalah seorang perempuan berjilbab. Busana muslimahnya terlihat mencolok di antara para peserta sembahyang Peh Cun. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk berpartisipasi. “Ini bagian dari studi. Studi kan tidak harus sedang kuliah,” paparnya. Baginya, berpartisipasi dan mengalami langsung adalah bagian dari proses belajar.
Selepas sembahyang Peh Cun, terdapat penampilan atraksi dan tarian yang memukau. Barongsai yang dipertontonkan oleh kelompok laki-laki benar-benar memukau semua pengunjung. Tak mau ketinggalan, kelompok perempuan—lewat Chinese dance dan ladies dragon—juga menunjukkan kepiawaiannya dalam menari sekaligus mengendalikan sosok naga. Berbeda dengan laki-laki yang memainkan barongsai dengan cara masuk ke dalamnya, perempuan menggunakan tongkat untuk menegakkan naga yang seolah terlihat sedang terbang, bergerak ke sana-ke mari. Sontak, semua orang bertepuk tangan, termasuk saya.
Tidak sampai di situ, keseruan lainnya dalam festival Peh Cun adalah permainan “mendirikan telur”. Seperti namanya, dalam kegiatan ini peserta berusaha memosisikan telur secara vertikal pada permukaan yang datar. Awalnya sukar bagi saya untuk percaya, bagaimana mungkin telur dapat didirikan tanpa penyangga? Karena rasa penasaran tersebut, saya lantas segera mengambil sebutir telur yang sudah disediakan dan mencoba mendirikannya di atas meja. Ternyata, telur bisa berdiri tegak lurus tanpa penyangga. Saya pun keheranan. Karena masih bingung dan penasaran, saya mencoba mendirikannya di tempat yang lebih sulit, tepatnya di pinggiran keranjang telur yang dibuat dari kayu. Lebarnya tidak lebih dari 1 cm. Hasilnya lebih mengejutkan lagi, saya berhasil mendirikan empat butir telur secara berurutan, tanpa satu pun terjatuh.
Umat Konghucu punya penjelasan tersendiri untuk fenomena tersebut. Menurut kepercayaan, saat tengah hari posisi matahari yang cenderung tegak lurus dengan khatulistiwa akan berpengaruh pada keseimbangan gravitasi yang menyebabkan telur dapat berdiri. Sebaliknya, jika posisi matahari telah bergeser atau menyerong, telur akan sangat sulit didirikan. Antusiasme untuk mendirikan telur tidak hanya datang dari kalangan Konghucu, tetapi juga dari masyarakat umum. Mereka berbondong-bondong mencari permukaan datar untuk mendirikan telur. Banyak dari mereka yang berhasil dan tidak sedikit juga yang gagal. Dalam kepercayaan Konghucu, siapa pun yang berhasil mendirikan telur, maka berkat akan melimpah atas kehidupannya. Berarti, apakah jika berhasil mendirikan lebih dari satu telur menandakan bahwa akan banyak berkat yang melimpah? Haha, semoga!
Berikan kepada Alam Apa yang Menjadi Milik Alam
Puncak festival Peh Cun ditandai dengan proses melarung ke laut. Demi menyaksikan proses melarung, tak sedikit pengunjung yang rela basah-basahan akibat tersapu ombak pantai selatan. Menurut Alfincent Aprilio, melarung memiliki dua makna. Pertama, sebagai peringatan dan pengulangan atas peristiwa sejarah yang dilakukan masyarakat terhadap sosok Qu Yuan. Kedua, melarung merupakan wujud upaya manusia mengembalikan kepada alam apa yang bukan menjadi miliknya. Berkat yang didapat adalah pemberian dari alam, bukan sepenuhnya milik manusia. Dengan kata lain, festival Peh Cun adalah juga upaya bersama untuk menyambung kembali relasi dengan alam.
Setelah proses melarung, semua perserta mendapatkan “berkat” berupa makanan yang sebelumnya disajikan di meja altar. Salah satu menu unik yang dibagikan adalah bacang, nasi ketan dengan isian daging babi dan jamur kemudian dibungkus dengan daun bambu. Namun, tidak semua bacang diisi dengan daging babi. Jadi bacang dipisah menjadi dua: halal dan nonhalal. Untuk yang nonhalal ukurannya lebih besar karena ketannya diisi dengan daging babi. Sebaliknya bacang halal ukurannya lebih kecil karena hanya berupa ketan.
Tidak sedikit yang berebutan untuk mendapatkan bacang. Saya kebetulan mendapatkan satu bungkus bacang versi nonhalal. Rasanya kenyal, karena terbuat dari ketan, isian daging babi dan jamur menambah cita rasa gurih dan manis.
Jika dicermati, bacang memiliki empat sudut: tiga di bagian bawah, dan satu di bagian atas. Diposisikan dalam bentuk bagaimana pun, akan ada satu sudut di bagian atas. Tiap sudutnya dapat diinterpretasikan secara bebas. Misalnya, ada yang menginterpretasikan bahwa sudut bagian atas menggambarkan Tuhan, sedangkan tiga sudut di bawah menggambarkan unsur air, bumi, dan langit. Jadi posisi Tuhan berada di atas segala unsur yang ada di dunia. Selain itu ada juga yang menginterpretasikannya sebagai bagian dari kehidupan manusia dengan empat harapan yaitu harapan agar keluarga terhindar dari konflik, harapan agar kehidupan keluarga menjadi aman dan sejahtera, rezeki selalu melimpah, dan karir tiap anggota keluarga akan baik.
Pada akhirnya, Peh Cun adalah sebuah tradisi Konghucu yang menjadi bagian dari sebuah ekspresi keagamaan. Namun demikian, festival Peh Cun terbuka bagi siapa pun yang ingin merayakan dan memaknainya. Karenanya, meski perlombaan dayung perahu naga absen dalam pergelaran kali ini, upaya mendayung kebersamaan dalam keberagaman terus digemakan.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini diambil dari laman akun Pemerintah Kabupaten Bantul (2022)