By: Wilis Rengganiasih Endah Ekowati, M.A.*
Jawa Tengah dikenal dengan kebudayaan dan keseniannya yang unik, khususnya yang berasal dari istana Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai istana yang utama. Bedhaya merupakan sebuah tipe tarian di Jawa Tengah, dipercaya sebagai tarian yang tertua dan dianggap sebagai keiistimewaan dari istana. Sejarah konsepnya menunjukkan kalau semua Bedhaya dan (generasi berikutnya) tari Srimpi berakar pada Bedhaya yang paling agung: Bedhaya Semang dalam Kasultanan Yogyakarta dan Bedhaya Ketawang dalam Kasultanan Surakarta. Beberapa literatur menunjukkan kalau tarian-tarian agung ini berasal dari jaman Mataram Baru dengan tradisi Islamnya, dan Panembahan Senapati atau Sultan Agung sebagai penemunya. Tapi ada beberapa catatan kuno yang menunjukkan kalau Bedhaya bisa dilacak asalnya hingga periode Hindu, walaupun bentuk tariannya tidak lagi bisa diketahui.
Hal yang menarik dari Bedhaya ini adalah bentuk tariannya merupakan campuran tiga tradisi yaitu: tradisi Hindu, Buddha, dan Islam, tapi yang menarik adalah bahwa para ahli hampir tidak menyebutkan pengaruh Buddha sama sekali. Sejauh ini saya hanya menemukan dua ahli yang mengungkapnnya yaitu Judith Becker yang menyebutkan pola langkah tari Bedhaya menggambarkan ajaran Tantra, sedangkan Sardono W. Kusumo sekilas mengungkapkan kalau gerakan Bedhaya diinspirasi dari filsafat Vipassana Theravada. Dari perspektif sejarah bisa dilihat paling tidak dua tradisi yang ada di dalamnya, yaitu: versi Hindu yang menunjukkan kuil Hindu sebagai pencipta tarian ini, dan seperti yang disebutkan di atas Islam menyumbangkan Sultan Agung sebagai penemunya. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan kalau Sunan Kalijaga dan Kanjeng Ratu Kidul membantu dalam proses penciptaannya. Evolusi Bedhaya melibatkan aspek kekuasaan dan politik, dengan agama sebagai tambahan dalam elemen keseniannya. Sebagai riset awal saya akan berbagi, wlaupun sangat terbatas, penemuan-penemuan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai tarian agung dari Jawa ini.
*Wilis Rengganiasih mendapatkan gelar dari CRCS UGM, dengan tesis berjudul ?The Controversy of Bhikkuni Ordination (Upasampada) within Theravada Buddhism Indonesia?. Dia belajar selama satu tahun di Florida International University dalam rangka Exchange Student Program selama satu tahun, dimana dia mendapat gelar M.A. yang kedua dalam bidang Religious Studies. Sebagai seorang perempuan Buddha, saat ini Wilis mengajar di Sylendra Buddhist College di Semarang juga di CRCS UGM.