John Raines: Melintas Batas, Mencari Keadilan, Menggapai Kemanusiaan
Achmad Munjid – 1 Desember 2017
Dengan pilihan kata yang terjaga, tatapan mata yang tajam dan senyum yang murah terkembang, John Raines (27 Oktober 1933 – 12 Nov 2017) kerap memprovokasi kelasnya dengan menantang para mahasiswa untuk bertanya tentang apa yang tak boleh dipertanyakan, menilik ulang secara kritis apa yang dipandang lumrah dan normal dengan menjelajah berbagai sudut pandang, bahkan untuk berpikir tentang apa yang tak terpikirkan. “Menurut kalian kenapa tata ruang kelas diatur sebagaimana yang biasanya kita lihat ini?” “Kenapa sebagian perempuan yang bukan kulit putih ada yang merasa perlu memakai pemutih kulit untuk tubuh mereka?” “Bisakah kalian melihat identitas sebagai sesuatu yang secara moral problematis?” “Apakah kita harus menerima begitu saja identitas diri yang kita sandang sejak lahir? Kenapa?” “Apa artinya menjadi manusia dan religius di masa kapitalisme global yang agresif ini?” “Seberapa banyakkah kekuasaan negara atas warganya yang dianggap terlalu banyak?” “Apakah pelanggaran suatu hukum selalu identik dengan perbuatan jahat? Kenapa?” Itulah diantara jenis pertanyaan yang kadang dia lemparkan di kelas untuk memicu diskusi. Ketika apa yang semula dianggap lumrah jadi terlihat aneh setelah melewati pembicaraan intelektual yang provokatif, bersama-sama dengan mereka yang hadir di kelas, senyumnya akan meledak sebagai tawa jenaka dan menjadi semacam katarsis intelektual kolektif. Tapi yang lebih penting, kejutan perubahan perspektif “yang lumrah jadi aneh” akan terus melekat di kepala banyak mahasiswa sehingga persepsi mereka atas kenyataan pun akan berubah untuk seterusnya.
John Raines adalah seorang ilmuwan yang sangat bergairah terutama kalau sudah bicara mengenai perjuangan kelas, ketidakadilan global, ketimpangan gender, masalah lingkungan, agama-agama dunia dan etika sosial, ras dan penindasan, hak-hak sipil dan hal-hal lain yang terkait. Ia juga sangat piawai mengurai teori-teori yang rumit dan abstrak menjadi nyata, sederhana, dan jelas. Banyak diantara para bekas mahasiswanya, termasuk Terry Rey yang menulis buku (dan mempersembahkannya untuk John Raines) Bourdieu on Religion, Imposing Faith and Legitimacy (Equinox, 2007; Routledge, 2014) dan David Kruger yang menulis A Holy Mission to Minnesota: Viking Martyrs, Civil Religion and the Birthplace of America (University of Minnesota Press, 2015), yang mengakui bahwa pembacaan mereka atas para pemikir penting seperti Durkheim, Adam Smith, John Lock, Weber, Marx, Bourdieu, Foucault, Rawls dan lainnya sangat dibentuk—sebagian malah menyatakan bahwa mereka mengalami “penyingkapan teoretis”—di kelas Pak John. John Raines tahu bagaimana merawat kenikmatan belajar melalui analisis teoretis yang tajam sekaligus refleksi personal yang bermakna. Ia melakukannya dengan gembira.
Bagi dia, sebagaimana permainan olah raga, perdebatan akademik harus menyenangkan sehingga setiap orang bisa belajar dan tumbuh dalam pertukaran gagasan. Tidak heran, kuliah-kuliah S-1 maupun pascasarjana yang diampunya selalu dipenuhi mahasiswa. Beberapa mahasiswa dari tahun sebelumnya bahkan ada yang sengaja mengulang untuk sit in dan menikmati diskusi kelasnya. Dengan catatan yang telah dipersiapkannya, dia selalu memastikan bahwa poin-poin penting tertentu tersampaikan secara memadai dalam setiap pertemuan. Di luar kelas, dia selalu menyediakan diri untuk para mahasiswa. Tidak jarang para mahasiswa tampak mengerubunginya dan terlibat pembicaraan panjang setelah kelas selesai ketika ia berjalan di lorong kampus dengan menyandang tas kulit coklatnya yang sudah agak lusuh. Setiap ia ada di kantor, pintunya selalu dibiarkan terbuka dan para mahasiwa bergiliran datang pergi untuk memetik pikiran-pikirannya. Penghargaan The Honors Professor of the Year (2004) dan Anugerah Hadiah Lindback Distinguished Teaching (2005) yang diterimanya dari Universitas Temple hanya beberapa bukti mengenai gairahnya dalam mengajar dan kecintaannya yang besar terhadap para mahasiswa.
***
John Raines bukan hanya seorang guru besar yang sangat menginspirasi. Dia juga seorang pendeta dan aktivis. Salah satu aspek kehidupan John Raines yang menonjol adalah kehendak dan keberaniannya yang sangat besar untuk melintasi batas-batas. Dilahirkan dalam keluarga kulit putih yang kaya raya di Minnesota, dalam usianya yang masih muda ia telah menerobos batas rasial guna menegakkan keadilan bagi para saudara sebangsanya. Ia mempertaruhkan hidupnya dengan keluar masuk penjara sebagai akibat keterlibatannya dalam protes anti-rasisme.
Ketika baru diangkat menjadi pendeta Metodist di Long Island, NY, John Raines dijebloskan masuk penjara pada tahun 1961 gara-gara dia bergabung dengan “Freedom Rider”, suatu protes nasional nir-kekerasan yang dilakukan lebih dari 400 aktifis kulit hitam maupun putih. Mereka sengaja menaiki bus antar-negara bagian untuk memasuki daerah tersegregasi di bagian selatan Amerika Serikat. Bersama sekelompok aktivis yang terdiri dari lima orang (tiga berkulit hitam dan dua kulit putih), John Raines ditahan di Little Rock, Arkansas, ketika mereka turun dari bus bersama-sama dan memasuki ruang tunggu penumpang khusus kulit putih lalu duduk bersama di sana sebagai protes. Ia diseret ke penjara dengan alasan melakukan “pelanggaran yang mengancam perdamaian”, yakni melawan segregasi ras di tempat umum yang secara hukum telah ditetapkan berdasarkan Peraturan “Jim Crow”. John Raines juga berpartisipasi dalam barisan demo Selma di Alabama pada 1965. Dia kembali dijebloskan ke penjara karena apa yang dilakukannya pada tahun 1964-1965 ketika ia membantu menggalang pendaftaran peserta pemungutan suara bagi orang-orang kulit hitam di Mississippi dan kemudian di Newton, Georgia. Meskipun di wilayah itu dua pertiga penduduk berkulit hitam, sampai saat itu belum ada satu pun orang kulit hitam yang terdaftar untuk mengikuti pemilihan suara.
Dalam kata-kata John Raines sendiri, penjara itulah yang telah menghadiahinya pendidikan kedua, bahkan kelahirannya yang kedua. Sebagai pendeta Kristen berkulit putih dari keluarga kaya, sebelum menerabas batas rasial, selama itu ia selalu merupakan bagian dari kekuasaan. Di penjara, ia kini berada di luar kekuasaan, menjadi musuh kekuasaan dan sedang dihukum oleh kekuasaan itu. Perjalanannya ke daerah Selatan dan pengalaman penjara itulah yang memberinya “pencerahan sosial” yang dengan itu kemudian ia mampu melihat dunia secara berbeda, bukan dari kaca mata “diri pemberian”, tapi dari kacamata “diri pilihan”. Ia siap untuk menebus harga perjuangan menegakkan kesederajatan hak dan kebebasan bagi saudara sebangsanya karena ia tahu pasti betapa berharganya nilai kedua hal itu bagi kemanusiaan.
Melanggar hukum, baginya, tidaklah selalu identik dengan melakukan kejahatan. Mengapa? Hukum yang memaksakan segregasi (antar-ras) adalah pelanggaran yang terang-benderang terhadap kemerdekaan sipil yang dijamin oleh Konstitusi Amerika bagi seluruh warganya. Justru hukum itulah yang merupakan kejahatan. Satu-satunya cara untuk mencegah berbagai ketidakadilan yang dipaksakan oleh hukum itu adalah dengan melanggarnya dan mempertontonkan maksud jahat di balik hukum tersebut. Baginya, justru menaati hukum seperti itu adalah kejahatan! Pengalaman “pencerahan sosial” awal 1960-an ini jugalah yang kemudian menuntunnya untuk bergabung dalam protes anti Perang Vietnam di awal 1970an. Ketika J. Edgar Hoover, sang direktur FBI lima dekade memegang kekuasaan tanpa batas untuk memberangus semua gerakan hak-hak sipil dan anti-perang dengan menggunakan pengawasan menyeluruh sampai memata-matai kehidupan pribadi—suatu penyalahgunaan kekuasaan oleh negara terhadap warganya—John Raines dan istrinya Bonnie bergabung dengan suatu kelompok yang dipimpin William Davidon bernama “Komisi Warga Negara untuk Penyelidikan terhadap FBI” guna melakukan tugas yang nyaris mustahil. Yakni, membobol suatu kantor FBI, mencuri dokumen penting yang digunakan oleh FBI untuk secara sewenang-wenang melanggar hak sipil para warga negara dan membocorkan dokumen itu ke publik melalui pers!
Sebagaimana ditulis oleh Betty Medsger, seorang wartawati Washington Post yang menjadi penerima bocoran dokumen itu dan kemudian mempublikasikan pada halaman pertama surat kabarnya, tindakan nekad itu dilakukan pada tanggal 8 Maret 1971 di Media, PA. Segera setelah kabar itu beredar luas dan memicu perdebatan nasional panas akhirnya FBI dan Hoover pun segera terlucuti kekuasaannya. Protes anti-perang makin merajalela, kasus besar lain, yakni Watergate pecah dan memaksa Presiden Nixon mundur pada tahun 1974. Perang Vietnam pun akhirnya dihentikan pada 1975. Sampai bertahun-tahun kemudian, FBI terus melacak John Raines dan kelompoknya tapi dengan hasil nihil. Medsger melukiskan apa yang dilakukan oleh John Raines dan kelompoknya sebagai “diantara tindakan pembangkangan paling hebat dalam sejarah bangsa ini” (The Burglary: The Discovery of J. Edgar Hoover’s Secret FBI, Alfred A. Knopf, 2014). Sangat mencengangkan memang bahwa Pak John dan teman-temannya bisa memendam rahasia pencurian heroik ala “Robin Hood” ini dan hanya keluar dari pesembunyiannya 43 tahun kemudian, lama setelah kasus hukum terhadap mereka ditutup oleh pengadilan.
***
John Raines bukan hanya seorang ilmuwan yang sibuk berpikir mengenai dunia. Sebagaimana diperlihatkan oleh keterlibatannya dalam gerakan hak-hak sipil, ia juga selalu berupaya untuk mengubah dunia. Itulah sebabnya kenapa ia sangat terpesona pada gagasan-gagasan Karl Marx. Bagi dia, “… sebagaimana para Nabi dalam tradisi Yahudi, Marx sebetulnya digerakkan oleh gairah terhadap kebenaran dan keadilan… Untuk bisa bicara mengenai keadilan sosial, kita harus secara sosial kritis terhadap diri sendiri, yang juga berarti bersikap kritis terhadap kekuatan kaum penguasa. Perspektif yang paling menampakkan kebenaran bukanlah yang dari atas ke bawah atau dari titik pusat keluar, melainkan pandangan yang dimiliki “para janda dan anak-anak yatim”, sudut pandang mereka yang tereksploitasi dan tersingkir” (Marx on Religion, Temple University Press, 2002: 4-5).
John Raines tidak sepakat dengan gurunya di Union Theological Seminary, Reinhold Neibuhr, yang pada dasarnya menuduh Marx sebagai pengusung utopianisme tanpa dasar dan bahwa Marx sama sekali keliru dalam memahami agam (sebagaimana ditulisnya dalam Karl Marx and Friedrich Engels on Religion, Schocken Books, 1964). Bagi John Raines, kesimpulan Marx memang berat sebelah, tapi sebagian kritiknya terhadap agama adalah valid. Dia percaya bahwa Marx lebih baik ditempatkan sebagai teman dan mitra dialog yang penting ketimbang pengkritik agama yang kurang gaul. Bentuk agama yang diserang Marx adalah agama-negara, seperti agama Kristen Lutheran yang ada di Jerman dan Gereja Anglikan di Inggris; tetapi serangannya sebetulnya tidak berlaku untuk semua agama. Kalau saja Marx sempat menyaksikan praktik Kristen di kalangan para budak kulit hitam Amerika, menurut John Raines, kesimpulan Marx tentu akan lebih berimbang. Visi mengenai yang transenden di kalangan para budak kulit hitam Amerika, misalnya, telah membantu mereka untuk melawan kekuatan-kekuatan teramat besar yang hendak menaklukkan martabat kemanusiaan mereka.
Umat beragama bisa belajar dari Marxisme tentang bagaimana mewujudkan “Kerajaan Surga” dengan cara sesungguh-sungguhnya memahami dan mengubah kondisi historis dan material yang meminggirkan “para janda dan anak-anak yatim”, kaum miskin dan orang-orang lemah di dalam masyarakat. “Surga” dalam hal ini adalah suatu cara untuk bicara tentang “bagaimana kenyataan yang sesungguhnya ketika semua berjalan sebagaimana seharusnya”. Surga adalah kenyataan yang senyata-nyatanya dan bahwa suatu ketika ia akan terwujud. Dalam hal ini, agama adalah suara penderitaan, jeritan protes melawan kenyataan penindasan dan penistaan, selain janji mengenai masa depan baru bagi semua orang. Bagi John Raines, Marxisme bukanlah teodisi dan agama juga bukan seperangkat dogma yang tak boleh dipertanyakan. Dialog dengan Marxisme akan membuka ruang-ruang yang diperlukan suatu agama untuk melakukan pemeriksaan diri secara fundamental. Hanya jika agama telah mengalami pemeriksaan diri secara fundamental maka ia bisa mengemban tugas mewujudkan keadilan dan kebebasan bagi kemanusiaan dalam dunia kapitalisme agresif yang penuh alienasi dan eksploitasi luar biasa ini. (Marx on Religion, h. 13).
Mendengar suara perempuan dan mengusung kesederajatan gender termasuk bentuk pemeriksaan diri agama yang paling fundamental. Bagi John Raines, kesadaran gender adalah lensa yang amat baik untuk menafsir ulang teks suci. “Agama adalah entitas yang bergender…. Melihat berbagai agama melalui lensa kesadaran gender akan membuka lanskap yang tersembunyi. Ia akan menyingkap apa yang tertutup, menyuarakan apa yang terbungkam atas nama dalil resmi. Ia akan membuat apa yang kita lihat, dengar dan pelajari dari masa silam menjadi lebih kompleks. Karena itu ia akan memperkaya rengkuhan kita terhadap khazanah hal-hal yang disakralkan,” tulisnya dalam What Men Owe to Women (SUNY Press, 2001). Sebagaimana dalam hal ras dan kelas, melintasi batas-batas gender adalah upaya niscaya lain yang diperlukan dalam menemukan keadilan. Kehendak dan keberanian yang begitu besar untuk melintasi batas-batas inilah yang telah membawa John Raines untuk mengunjungi berbagai belahan dunia yang jauh, termasuk Indonesia, guna membangun perjumpaan yang bermakna dan membina persahabatan sejati dengan siapa saja, dan yang lebih penting lagi guna menggerakkan perubahan.
***
Saya pertama kali bertemu John Raines pada tahun 2000 ketika saya menjadi mahasiswa program master kajian agama yang baru berdiri di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM). Bersama dengan para mahasiswa angkatan pertama, antara lain, Hilman Latief, Izak Lattu, Nyoman Kiriana, Fachrizal Halim, Suratno, Ibnu Burdah, saya mengambil kelas John Raines, “Religion and Violence”, suatu pemeriksaan kritis mengenai komplisitas agama dalam tindakan kekerasan di berbagai tradisi dan kurun sejarah yang berbeda-beda. Ketika itu dia datang bersama Mahmoud Ayoub, seorang guru besar dalam bidang kajian Islam yang sangat kondang dari Universitas Temple dan juga Ibrahim Abu-Rabi’, lulusan Temple asal Palestina yang menjadi guru besar kajian Islam di Hartford Seminary. John Raines dan jaringan Templenya, termasuk Alwi Shihab, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di bawah Presiden Abdurrahman Wahid memang memainkan peran sangat penting sebagai tim pendiri program master yang kemudian lebih dikenal sebagai Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) tersebut.
CRCS didirikan pada saat yang tepat ketika hubungan antar-agama dan kekerasan atas nama agama tengah mencapai titik nadir dalam sejarah Indonesia modern. John Raines bukan cuma membantu pendirian CRCS, dia juga melakukan berbagai upaya guna memastikan agar program ini tumbuh sebagai pusat studi dan riset yang handal. Selain membangun jaringan, dan dukungan finansial, ia bahkan mengeluarkan tabungan pribadi untuk disumbangkan sebagai dana wakaf. Sampai tahun 2012, setiap periode tertentu ia secara teratur mengunjungi dan mengajar di sini, khususnya pada musim panas, kadang dengan sponsor program Fulbright, John Templeton, Henry-Luce Foundation, atau kadang juga dengan menggunakan uang pribadinya.
Berkat kerja keras John Raines, dengan sponsor Henry-Luce Foundation antara tahun 2006 dan 2015, sejumlah dosen dan mahasiswa Amerika maupun Indonesia telah mendapat kesempatan langka untuk mengikuti kesempatan program pertukaran akademik. Florian Pohl, Matt Hunter, Brian McAdams, Omer Awwas, David Kruger, Tricia Way dari Temple, dan juga beberapa mahasiswa pascasarjana dari beberapa kampus lain di Amerika telah berkunjung ke CRCS untuk belajar atau riset. Dari CRCS ada Ferry Siregar, Imam Malik, Abdul Malik, Hasan Basri, Ira Setiawan, Amanah Nurish dan beberapa mahasiswa lain juga telah datang ke Temple serta universitas lain di Amerika untuk tujuan yang sama. Christ Gudorf, Rebecca Alpert, Gisela Webb, Eve Mullen, Saadia Shaikh, Mark Woodward, dan beberapa dosen Amerika lain pernah mengajar di CRCS. John Raines memainkan peran yang sangat besar dalam lalu-lintas pertukaran orang, beasiswa, dan gagasan tersebut, khususnya pada masa-masa awal berdirinya CRCS.
Bersama dengan lima mahasiswa lain dari angkatan pertama CRCS, saya memperoleh beasiswa Fulbright pada 2003 guna melanjutkan pendidikan di Amerika. Sejak saat itu telah banyak sekali lulusan CRCS yang melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di berbagai belahan dunia, baik di Amerika, Belanda, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, maupun Australia, Singapura, Jepang dll. Dalam usia 17 tahun sekarang, CRCS terus tumbuh dan berkembang pesat. Ia memainkan peran dan reputasi menonjol di kalangan akademik Indonesia maupun di luar, sebagaimana yang dicita-citakan oleh John Raines.
Saya pribadi merasa sangat bersyukur telah mendapat kesempatan mengenal John Raines sebagai seorang dosen yang sangat menginspirasi, seorang mentor yang sangat penuh perhatian dan seorang sahabat yang amat rendah hati dan dermawan. Sejak perjumpaan saya pertama dengan beliau di Yogya, di luar kelas Pak John selalu menempatkan diri sebagai seorang teman. Saya baru saja lulus Sastra Inggris, menganggur dan tak tahu mau apa atau bagaimana. Saya mendaftar CRCS karena program ini menawarkan beasiswa penuh, SPP dan uang saku, bagi semua mahasiswa yang diterima. Saya sedang sangat membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit dan pengobatan adik perempuan saya yang menderita sakit amat parah. Saya sering bolos kuliah karena harus merawat adik saya itu.
Campur aduk antara pengalaman hidup sebagai anak yatim dari keluarga sangat miskin di kampung, keterpesonaan naif pada gagasan Marx dan kesan mendalam setelah menyaksikan kejatuhan rejim Suharto setelah krisis moneter 1997 yang mengakibatkan reformasi politik 1998, membuat saya tumbuh sebagai anak muda yang agak sarkastis dan mungkin pendendam, khususnya pada orang-oranga kaya dan mereka yang berkuasa. Kadang saya datang ke kelas hanya untuk ngerjain dosen dengan pertanyaan dan komentar yang asal njeplak. Saya juga melakukan hal yang sama pada John Raines. Saya cukup terkejut, ternyata ia mau mendengar omongan saya dan ia mendengar dengan sepenuh hati. Ketika tahu tentang keadaan adik saya, ia juga datang menengok ke rumah sakit, bahkan memberi sumbangan yang cukup besar untuk biaya pengobatan. Adik saya telah meninggal ketika John Raines berkunjung lagi pada tahun berikutnya.
Suatu hari saya ajak John Raines jalan-jalan menengok perkampungan Kali Code, wilayah kumuh yang telah disulap oleh Romo Mangunwijaya menjadi perkampungan sederhana yang bersih dan indah bagi para keluarga miskin di situ. Dalam perjalan pulang, tanpa saya duga, ia bicara serius mengenai kemungkinan saya melanjutkan studi ke Amerika. Ketika itu Pak John datang sebagai ilmuwan senior Fulbright dan ia mendorong saya untuk melamar beasiswa Fulbright dengan rekomendasinya. Saran itu langsung saya lakukan dan, alhamdulillah, akhirnya saya diterima. Ketika saya mengadakan syukuran pernikahan sederhana pada tahun 2003 beberapa bulan sebelum keberangatan studi saya, Pak John sedang dia Yogya dan beliau ikut datang. Persahabatan kami makin dekat, apalagi setelah saya menjadi mahasiswanya di Temple. Tahu akan situasi keterbatasan keuangan saya sebagai mahasiswa asing, beberapa kali Pak John mengirim saya untuk mengikuti acara-acara akademik penting seperti American Academy of Religion (AAR) dan kegiatan lain, sehingga pengetahuan dan pengalaman saya mengenai dunia akademik makin terbuka luas. Beliau bahkan membelikan tiket transport dan membayar biaya hotel untuk saya dan keluarga. Beberapa kali dia juga mengundang saya untuk menjadi narasumber di kelas program unggulan Death and Dying yang diampunya (dan dia selalu bersikeras memberi saya cek untuk itu). Ia terus merekomendasikan nama saya kepada sejumlah kelompok dan lembaga yang kebetulan membutuhkan seseorang untuk bicara mengenai Islam atau Indonesia, atau keduanya. Dengan begitu, bukan saja lingkaran pergaulan saya meluas, saya juga belajar sangat banyak dari perjumpaan-perjumpaan itu, sesuatu yang kelak sangat berarti dalam kehidupan saya berikutnya.
John Raines telah memainkan peran sangat penting dalam kehidupan karir akademik saya. Ketika menengok kembali ke belakang, saya melihat dengan amat jelas betapa dukungan, bimbingan, dan pesahabatan beliau telah terus menyertai perjalan saya sebagai seorang akademisi hampir dalam setiap langkah besar yang saya lalui. Berkat surat rekomendasinya yang sangat kuat, saya mendapat beasiswa Fulbright, beasiswa Henry Luce Foundation, dan juga beasiswa dari Universitas Leiden. Beliau adalah dosen Temple pertama yang saya temui di Indonesia; beliaulah yang membawa saya ke Temple sebagai mahasiswa master; beliau yang juga duduk dalam komite disertasi saya. Bahkan Pak John dan istrinya, Bu Bonnie, mengundang saya makan malam untuk merayakan capaian saya ketika saya mau berangkat ke Leiden dan ketika saya lulus ujian disertasi. Tak terhitung berapa kali beliau mengundang kami untuk macam-macam acara lain di rumahnya, termasuk ketika beliau menggelar makan malam penggalangan dana untuk korban Tsunami Aceh tahun 2004. Saya tidak mungkin membalas begitu banyak jasa yang sudah beliau berikan kepada saya. Hanya Tuhan yang bisa mengganjar amal-amal baik beliau yang amat luar biasa kepada siapa saja. Saya hanya bisa berjanji untuk bisa melanjutkan teladan hidup dan kecintaan beliau kepada ilmu pengetahuan demi kepentingan kemanusiaan dengan pertama-tama mendengar suara mereka yang dilemahkan. Saya percaya, banyak diantara mereka yang pernah bersinggungan dengan karya dan persahabatan beliau tentu memiliki gambaran yang amat cemerlang mengenai Pak John Raines.
***
Bulan April lalu, setelah menghadiri konferensi di Chicago, saya kembali berkunjung ke Philadelphia selama beberapa hari. Saya mengunjungi Pak John dan Bu Bonnie di rumahnya. Beliau tampak jauh lebih tua, tapi tetap selalu bersemangat seperti biasa. Kami terlibat dalam pembicaraan panjang mengenai berbagai hal yang cukup mengobati kerinduan saya pada beliau. Dengan gembira saya ceritakan beberapa hal mengenai kesibukan saya sebagai dosen tetap di UGM, tentang proyek riset saya, tentang konferensi yang saya hadiri di berbagai Negara ASEAN, Jepang, Taiwan dan perjalan akademik saya ke beberapa negara Eropa. Beliau mendengarkan dengan antusias dan tampak sangat gembira. Ketika saya lulus ujian disertasi pada 2014, Pak John baru saja menggemparkan publik Amerika dengan pengakuannya sebagai anggota pembobol kantor FBI, suatu rahasia yang terus disimpannya selama lebih dari empat dasawarsa. Namanya berkibar di mana-mana sebagai pahlawan kebebasan hak-hak sipil. Beliau diwawancarai banyak sekali media besar dan kecil dan ada banyak sekali jadwal permintaan ceramah di seantero Amerika. Buku Betty Medsger tentang beliau dan kawan-kawannya baru saja diluncurkan, tapi film dokumenter yang digarap Johanna Hamilton berjudul “1971” belum keluar sehingga saya belum sempat menonton. Ketika saya pamit sore itu, beliau menghadiahi saya satu keping DVD “1971” yang saya terima dengan gembira. Kami saling berpelukan dan berharap akan saling bisa bertemu lagi tahun depan. Memang, bulan April 2018 nanti saya dijadwalkan untuk menyampaikan sebuah paper dalam konferensi tahunan ASIANetwork yang akan diselenggarakan di Philadelphia. Karena itu saya segera mengirimkan email untuk menyampaikan simpati dan ucapan terima kasih yang tulus begitu mendengar kabar mengenai kondisi kesehatannya yang memburuk beberapa waktu lalu. Bu Bonnie membalas dan menyampaikan bahwa Pak John berterima kasih untuk pesan yang saya kirim. Pak John baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-84. Sungguh saya teramat sedih ketika mendengar kabar wafatnya beliau dua minggu lalu. Seorang guru besar yang sangat luar biasa, seorang mentor yang penuh perhatian, seorang sahabat yang begitu baik dan dermawan telah meninggalkan kita semua.
Di mata saya, ketulusan Pak John dalam merangkul orang-orang yang berasal dari ras, latar belakang agama, gender dan budaya yang berbeda dengan tujuan menciptakan keadilan dan dunia yang lebih baik sungguh merupakan teladan. Keberanian beliau untuk melintasi segala macam batas demi menggerakkan perubahan dengan kepercayaan penuh kepada yang lain dan persahabatannya yang tulus dengan siapa saja, termasuk saya, adalah di antara anugerah kemanusiaan, suatu karunia Tuhan paling indah yang pernah saya saksikan.
Terima kasih, “Pak” John Raines. Selamat jalan. Kami sungguh merasa sangat kehilangan.
Semoga Engkau beristirahat dengan tenang dalam keabadian kasih Tuhan, semoga warisan yang kau tinggalkan terus tumbuh dan berkembang menjangkau cakrawala kemanusiaan yang makin luas.
Yogyakarta, akhir November 2017.
_____________________________
Achmad Munjid adalah murid John Raines di CRCS (angkatan pertama, tahun 2000) dan di Departemen Studi Agama Universitas Temple (PhD 2014).
Tulisan ini adalah versi terjemahan oleh penulisnya sendiri dari versi awalnya dalam bahasa Inggris: John Raines: Crossing Boundaries, Seeking Justice, Reaching Out for Humanity.
Kredit gambar header: Department of Religion at Temple University