
oleh Sephia Putri Fatima
Suprapto Suryodarmo adalah pencetus Joged Amerta. Beliau telah memengaruhi ranah seni tari Eropa sejak akhir 1980-an. Murid-muridnya datang dari berbagai disiplin seni (tari, arsitektur, seni rupa, teater, dll.) maupun ragam disiplin tubuh (penari profesional, terapis gerak, dll). Suprapto akan menyikap kedalaman yang dibutuhkan oleh seorang penari yang dimulai dari kesadaran akan diri, alam dan lingkungan serta sikap kritis dalam bergerak. Sejak kecil Suprapto telah mengenal gerak, mulai tari klasik Jawa, silat hingga kungfu. Ia lantas belajar meditasi buddhis Vipassana serta ajaran kejawen Sumarah yang menurutnya sangat berguna untuk mengeksplorasi alam dan kesadaran (Suprapto Suryodarmo, n.d.)
Gerakan Amerta adalah gerakan tubuh bebas yang menggabungkan kearifan Asia dengan dinamika Barat kontemporer. Gerakan ini merupakan konsep sekaligus praktik, yang memandang kehidupan sebagai perubahan. Berdasarkan gerakan sehari-hari serta bekerja dengan kesadaran dan sikap, Gerakan Amerta menggunakan teknik yang sangat sederhana dalam upaya memperoleh pemahaman, memfasilitasi pertumbuhan manusia, dan mengembangkan potensi. Tubuh fisik digunakan sebagai instrumen untuk mengeksplorasi identitas, ekspresi diri, dan komunikasi, dengan potensi untuk ekspresi artistik. Joged Amerta, yang dalam kata-kata Mbah Prapto sendiri, tidak hanya sebagai bahasa komunikasi tetapi juga ekspresi keberadaan (Ardi Isnanto, 2019).
Mayoritas praktisi Gerakan Amerta adalah orang Barat atau orang- orang dari wilayah lain di Asia dan Pasifik. Mereka berasal dari semua lapisan masyarakat. Selain itu, Gerakan Amerta telah diterapkan di banyak bidang seperti pendidikan gerakan, kesehatan dan terapi, seni, termasuk seni lingkungan dan seni ritual baru (Lavelle L., 2006).
Dalam proses pencarian pada gerak-gerak yang ada di alam, gerak-gerak inilah yang kemudian menjadi pintu masuk Suprapto untuk mencari gerak-gerak yang nantinya akan dinamai Joget Amerta. Joget Amerta semata-mata bukanlah gerak fisik seseorang, namun respons manusia pada lingkungan yang ada di sekitarnya. Respons itu dimulai dari tubuh dan kemudian menjadi sebuah gerakan yang menggambarkan situasi. Joget Amerta selalu mengikuti situasi lingkungan, gerakan yang dilakukan tidaklah kaku atau mengikuti pakem tertentu, tapi dibebaskan atau membebaskan diri dengan bentuk-bentuk ekspresi yang tidak seperti biasanya.
Suprapto Suryodarmo atau biasa dipanggil Mbah Prapto meninggal dunia pada Minggu, 29 Desember 2019 di Solo di usia 74 tahun. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengembangkan, mewujudkan, mengajar dan berbagi praktik Gerakan Amerta. Dalam perjalanan hidupnya, Mbah Prapto bekerja sama dengan siswa dan kolega dari semua lapisan masyarakat, termasuk seniman, praktisi dan guru yang semuanya ia anggap sama sebagai ‘teman’ di situs-situs sakral, kuno dan duniawi di seluruh dunia. Dia tidak pernah berusaha untuk menuliskan praktiknya, meskipun dia mendorong banyak ‘teman’ untuk menyebarkan berita dan praktik tersebut untuk berbagi pemahaman mereka tentang karyanya secara luas.
Memperingati Lima Tahun Kepergian Mbah Prapto
Tepat lima tahun kepergian Mbah Prapto29 Desember 2024, tepat lima tahun kepergian Mbah Prapto, keluarga dan murid-murid Mbah Prapto berkumpul bersama untuk mengenang dan mendoakan beliau. Keluarga Mbah Prapto menyelenggarakan sesi doa dengan Banthe dan keluarga dekat Mbah Prapto. Kegiatan tersebut bertempat di Studio Plesungan, Mojosongo, Surakarta kediaman Mbak Melati, anak dari Mbah Prapto..
Dalam acara itu, murid-murid Mbah Prapto berbagi pengalaman mereka selama berlatih bersama beliau, merefleksikan perjalanan kesenian mereka. Salah satu murid Mbah Prapto yang biasa disebut Mbah Mugi menceritakan bagaimana cara Mbah Prapto memberikan ilmu kepada beliau, dengan kembali ke dasar dan tradisi, pentingnya eksplorasi diri dalam seni, fokus meditasi, dan konsentrasi gerakan sehingga memahami tentang panggung dalam pertunjukan. Mbah Prapto menjelaskan proses belajar mulai dari gerakan dan vokabuler. Menyadari bahwa gerakan sebelumnya tidak sesuai dengan tradisi sehingga menemukan pentingnya kembali pada dasar dan tradisi yang dimiliki. Pengalaman dengan Mbah Prapto juga mengajarkan kebebasan bergerak dan menggali ide. Selalu menggunakan simbol-simbol dalam meditasi, seperti meditasi bambu, untuk meningkatkan konsentrasi.
Dalam tutur Mbah Mugi “Mbah Prapto selalu bilang “pulang”. Saya tuh mulai gimana, pulang gimana, saya mencari apa yang dimaksud pulang itu. Setelah saya gerak-gerak, akhirnya saya menggunakan vokabuler Jawa. Waktu itu dengan gerak Jawa, akhirnya Mbah Prapto bilang “nah itu, gitu” terus saya mengingat, oh berarti saya harus kembali pada basic saya, yang saya punya. Terus saya mengerti, memahami, sebelumnya kan saya menari dengan gerak-gerak yang aneh-aneh, yang wah seperti kebarat-kebaratan atau apa, itu mungkin waktu itu tidak masuk pada tradisi yang saya punya, mungkin gitu. Setelah itu baru tahu, oh mulai, pulang, oh artinya saya harus kembali pada basic yang saya punya.”
Amerta Movement: Ritual dan Eksplorasi Artistik
Joget Amerta, yang dikembangkan oleh Suprapto Suryodarmo, merupakan pendekatan unik terhadap gerak yang menghubungkan kesadaran tubuh, ruang, dan spiritualitas. Joget Amerta menekankan pengalaman langsung dan improvisasi, mirip dengan konsep liminalitas yang dijelaskan oleh Victor Turner (1969) dalam studi ritual. Dalam prosesnya, pelaku memasuki ruang antara—bebas dari struktur sosial yang kaku— sehingga memungkinkan eksplorasi spontan yang mengarah pada komunitas, atau pengalaman keterhubungan mendalam dengan diri sendiri dan orang lain.
Dari perspektif seni pertunjukan, Gerakan Amerta tidak hanya menjadi teknik gerak, tetapi juga ritual kontemporer yang melampaui batas tradisional antara seni, meditasi, dan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, seni tidak hanya diproduksi untuk tontonan, melainkan menjadi sarana refleksi dan transformasi diri. Dengan demikian, Joget Amerta menghadirkan seni sebagai proses yang hidup dan dinamis, yang terus berkembang melalui praktik individu maupun kolektif. Kesimpulannya, Joget Amerta adalah bentuk gerak ritual dalam seni yang mengundang kesadaran penuh terhadap tubuh dan ruang, menekankan spontanitas dan hubungan antarmanusia.
Referensi
Turner, V. (1969). The ritual process: Structure and anti-structure. Routledge.
Ardi Isnanto, B. (2019). Penari Senior Asal Solo, Suprapto Suryodarmo Tutup Usia. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4839039/penari-senior-asal-solo-suprapto-suryodarmo-tutup-usia
Lavelle L. (2006). Amerta Movement of Java, 1986-1997: An Asian Movement Improvisation. https://www.lunduniversity.lu.se/lup/publication/386ee7a0-bf67-40d0-8724-8b01bcd5242f
Suprapto Suryodarmo. (n.d.). https://festival.borobudurwriters.id/bio/suprapto-suryodarmo/
Klik tautan ini untuk artikel versi bahasa Inggris
______________________
Sephia Putri Fatima berasal dari Semarang, masuk di dunia kesenian saat kuliah di ISI Surakarta jurusan Etnomusikologi, tempatnya mempelajari penulisan tentang budaya musik. Mulai semester 5, ia mengikuti magang mata kuliah Sumber Daya Kesenian di sanggar Omahmili dan belajar dengan pemilik sanggar (Ayu Wardani), lulusan ISI Surakarta jurusan Seni Tari. Ia tertarik dengan Amerta saat Ayu Wardani memberikan ilmu tentang Amerta. Ayu ialah anak didik mbah prapto yang mengembangkan teknik lingkaran, teknik basuh badan, dan teknik sapa jagad dan menjadikannya pertunjukan seni di tingkat nasional hingga internasional. Ayu wardani banyak memberikan ilmu dari banyak sudut pandang. Ayu Wardani juga mengajaknya untuk berlatih tentang Sardiw, perkembangan dari Joged Amerta. Sephia melanjutkan kuliah di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret untuk mengembangkan teori budaya dan menulis tentang Sardiwa.
[wpdm_package id=’20106′]