Menggayuh Kebangsaan dalam Keimanan:
Rabu Abu, Pemilu, dan Politik Identitas
Teresa Astrid Salsabila – 14 Februari 2024
“Karena itu perlu saya tegaskan bahwa kita semua yang sudah memiliki hak pilih dan sudah terdaftar sebagai pemilih tetap, wajib datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan dengan bebas penuh sukacita memberikan hak pilih atau hak suara kita. Jangan Golput!”
Itulah sepenggal pesan Mgr. Robertus Rubiyatmoko, Uskup Agung Semarang, dalam Surat Gembala menyongsong masa Prapaskah. Selama 40 hari sebelum Paskah, umat Katolik menghayati sengsara Yesus Kristus dengan berpuasa, berpantang, dan bertobat. Momen Prapaskah tahun ini cukup istimewa. Hari pertama Prapaskah jatuh pada 14 Februari 2024. Ini artinya hari raya Rabu Abu bersamaan dengan dua momen penting lainnya yaitu Hari Kasih Sayang dan Pemilihan Umum 2024. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Gereja Katolik turut merespons pesta demokrasi ini dengan berbagai cara.
Tak terkecuali Gereja Paroki Santo Antonius Muntilan yang berada di bawah Keuskupan Agung Semarang (KAS). Gereja Katolik Muntilan ini mengadakan misa Rabu Abu pada hari Kamis supaya umat Katolik setempat dapat terlibat secara penuh dalam pelaksanaan Pemilu. Selain itu, bapa uskup juga memberikan dispensasi kepada umat KAS yang menjadi petugas pemilu dan tidak bisa melakukan puasa dan pantang di hari Rabu. Mereka boleh melakukannya di keesokan hari. Sebelum kebijakan dan dispensasi tersebut muncul, euforia pemilu ini juga dapat dirasakan di lingkungan gereja. Dalam perayaan ekaristi, doa agar pelaksanaan pemilu berjalan lancar dan Indonesia memiliki pemimpin yang baik tak pernah luput dipanjatkan. Begitu pula dengan kelompok-kelompok doa lingkup umat. Setiap saya menghadiri ibadat rosario maupun berkunjung ke rumah sesama umat, topik siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden mendatang tidak pernah absen. Antusiasme umat Katolik Muntilan terhadap peristiwa politik nasional memang cukup besar, tidak cuma sekarang tetapi bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dapat dikatakan, semangat nasionalisme yang disuarakan Gereja Katolik di Indonesia dimulai dari tempat ini.
Men-Jawa-kan Gereja Katolik ala Van Lith
Bethlehem van Java. Begitulah sebagian besar umat katolik di Indonesia menyebut Muntilan, sebuah kecamatan di selatan Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan D.I. Yogyakarta. Di kota kecil inilah Franciscus Georgius Josephus van Lith, SJ, imam Katolik Ordo Serikat Yesus (Jesuit) berkebangsaan Belanda, memulai gerakan misionaris Gereja Katolik yang berfokus pada orang Jawa. Bersama Petrus Hoevenaars di Mendut, van Lith digadang-gadang sebagai pionir misi Katolik di Jawa pada awal abad ke-20. Bahkan, dalam buku peringatan ulang tahun Paroki Santo Antonius Muntilan ke-100, van Lith mendapatkan predikat sebagai “Paulus van Java” karena kesuksesannya mewartakan ajaran Katolik kepada orang Jawa layaknya Rasul Paulus, salah seorang murid Yesus Kristus.
Alih-alih langsung mengajak untuk berpindah agama, van Lith melakukan pendekatan komunal melalui jalur pendidikan. Pada 1904, ia mendirikan Opleidingsschool voor hulponderwijzers (Sekolah Pendidikan Guru Bantu) yang nantinya berkembang menjadi kompleks pendidikan Katolik bernama Xaverius College. Sekolah ini menerima siswa dari berbagai latar belakang agama. Namun, mereka wajib mengikuti pelajaran agama Katolik—dan tidak sedikit yang akhirnya memilih menjadi Katolik. Para siswa van Lith ini akhirnya menjadi apa yang disebut Maaike Derksen (2014) sebagai “perantara lokal” yang menyebarkan ajaran Katolik pada orang-orang di sekitarnya
Di samping pendidikan, van Lith juga melakukan pendekatan budaya. Ia banyak belajar dari macetnya misi penginjilan oleh para misionaris Kristen Protestan awal abad ke-20 yang masih menekankan dominasi peradaban Eropa. Van Lith memilih untuk memadukan ajaran Katolik dengan budaya setempat. Para siswa di Xaverius College menggunakan bahasa Jawa, di samping Belanda, sebagai bahasa pengantar. Van Lith juga aktif mendorong siswa untuk mengembangkan kebudayaan Jawa di dalam sekolah. Melalui upaya inkulturasi ini, Xaverius College sukses melahirkan sosok-sosok Katolik dengan identitas lokal yang kuat yang nantinya menjadi tokoh penting dalam pergerakan nasional.
Gereja Katolik dalam Politik Nasional Indonesia
Bagi van Lith, agama berelasi kuat dengan tumbuhnya nasionalisme. Di tengah semangat pergerakan kebangsaan di Hindia Belanda, van Lith menyatakan bahwa agama telah melahirkan cita-cita luhur yang menuntun pada kemerdekaan dan kesejahteraan bersama (van Lith,1922 dalam Laksana, 2015). Karenanya, Van Lith (meninggal 1926) mungkin berbangga hati karena dua muridnya—Mgr. Albertus Soegijapranata dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono—menjadi bukti nyata atas cita-citanya: integrasi Katolik dan keindonesiaan. Soegijapranata melanjutkan gerak jiwa yang dimulai oleh van Lith untuk menanamkan nasionalisme dan kekristenan sekaligus dalam umat yang ia layani. Soegijapranata menjadi uskup pertama dari kalangan pribumi Indonesia sekaligus pahlawan nasional. Selepas Agresi Militer Belanda pada 1947, sang uskup memindahkan pusat pelayanan umat dari Semarang ke Yogyakarta seiring dengan perpindahan ibukota negara. Langkah tersebut merupakan bentuk dukungannya terhadap pemerintahan RI yang baru saja diproklamasikan. Selepas pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, dalam berbagai kesempatan Soegijapranata menyatakan di hadapan umat, “Jika kita benar-benar Katolik sejati sekaligus kita juga patriot sejati. Karenanya kita adalah 100% patriot, karena kita adalah 100% Katolik,” (Subanar, 2012). Ucapan Soegijapranata ini akhirnya dikristalisasi menjadi jargon “100% Katolik, 100% Indonesia” yang sering digaungkan oleh umat Katolik Indonesia. Kiprah Rama Agung, panggilan akrab Presiden Sukarno kepada Soegijapranata, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia digambarkan dengan apik dalam film Soegija (2012).
Sementara itu murid van Lith yang lain, I.J. Kasimo, menjadi salah satu pelopor kemerdekaan RI sekaligus inisiator pendirian partai Katolik di Indonesia. Dimulai dengan pembentukan Pakempalan Politik Katolik Djawi pada 1923 yang dua tahun kemudian berkembang menjadi partai politik bernama Persatuan Politik Katolik Indonesia. Embrio ini kemudian berkembang menjadi Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) pada 1945. Keberadaan PKRI ini memantik pertumbuhan berbagai organisasi politik bercorak Katolik di Indonesia yang saat itu berbentuk negara serikat. Pada 1949, melalui Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI), berbagai organisasi dan partai politik tersebut melebur menjadi Partai Katolik dengan Kasimo sebagai ketua umumnya (Steenbrink, 2015). Pada Pemilu 1955, PKRI mendapatkan enam kursi di DPR dan dalam Pemilu 1971, partai ini hanya mendapatkan jatah tiga kursi saja. Selepas kebijakan fusi partai Orde Baru, PKRI menggabungkan diri dalam Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1973.
Kiprah umat Katolik dalam politik praktis di tingkat nasional kembali muncul selepas Reformasi. Pada Pemilu 1999 muncul Partai Katolik Demokrat (PKD) yang tidak berkorelasi langsung dengan Partai Katolik era Kasimo. Menurut catatan Steenbrink (2015), partai yang tidak mendapat dukungan langsung dari uskup mana pun ini berhasil meraih 216.675 suara dan 1 kursi di DPR. Namun, partai ini gagal meneruskan kiprahnya di pemilu berikutnya.
Kini, umat Katolik memiliki opsi yang lebih terbatas dalam memanifestasikan pilihan politiknya. Tidak ada lagi partai bercorak Katolik pada pemilu kali ini. Para klerus pun dilarang untuk terlibat atau mendukung politik praktis guna menjaga kerukunan sesama manusia seperti yang tercantum pada Kitab Hukum Kanonik 287 §1 dan §2. Namun, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) memberikan berbagai panduan dan anjuran bagi umat Katolik supaya dapat terlibat aktif dalam berpolitik, baik menjadi anggota partai maupun terlibat dalam pemilihan umum. Dalam Pesan Sidang KWI 2023, para uskup mencantumkan delapan kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin Indonesia.
100% Katolik, 100% Indonesia Jawa?
Delapan kriteria pemimpin anjuran KWI tersebut memang lebih bersifat normatif. Namun, dalam praktiknya di lapangan, banyak muncul pesan-pesan yang kental dengan nilai politis. Salah satunya di KAS. Dalam Pesan Pastoral Uskup Agung Semarang 2023, Monsiyur Rubi sebagai uskup agung KAS mengangkat kekhawatiran perihal Pemilu, “Akhir-akhir ini, situasi politik bangsa kita cenderung menunjukkan kualitas yang semakin menurun …. Di sana-sini, para calon juga tidak segan-segan menerabas hukum, melakukan politik uang, dan menghalalkan dinasti politik sehingga dapat membahayakan demokrasi.”
Pesan politis sehubungan dengan pemilu lebih kentara terlihat dalam materi Adven KAS 2023. Dibandingkan keuskupan lain di pulau Jawa, KAS secara vokal dan eksplisit membahas penyelenggaraan pemilu melalui panduan pertemuan Adven. Dalam materi Adven KAS 2023 yang digunakan dalam pembekalan iman, terdapat tiga tokoh yang dipilih sebagai bahan refleksi teladan. Mereka adalah I.J. Kasimo, Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dan Barnabas Sari Kromo. Jika dikaji seksama, seluruh tokoh tersebut berkaitan dengan sang “Paulus van Java” dan cita-citanya men-Katolik-kan orang Jawa. Kasimo dan Mangunwijaya lulusan sekolah Van Lith sementara Kromo seorang pengajar Katolik awam di bawah bimbingan Van Lith. Meski penyebaran agama Katolik di Muntilan awalnya memang difokuskan kepada orang Jawa, ternyata pada akhirnya tidak hanya orang Jawa yang terlibat. Pendirian Hollandsch-Chinees School (Sekolah Belanda Tionghoa) di bawah Xaverius College sejak tahun 1917 memperlihatkan bahwa orang-orang Tionghoa juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam perkembangan kekristenan di Indonesia. Gereja Katolik pun menjadi ruang bersama bagi orang-orang Eropa, Jawa, dan Tionghoa yang akhirnya mendorong semangat pembentukan “100% Katolik, 100% Indonesia”. Keragaman ini juga tampak pada keberagaman umat yang hadir saat misa di Gereja Katolik Muntilan—tidak hanya umat beretnis Jawa, tetapi banyak juga warga keturunan Tionghoa.
Namun sayangnya, kisah nasionalisme yang menjadi inspirasi iman tersebut masih lebih banyak didominasi oleh narasi Jawa. Narasi tunggal yang terus direproduksi ini akhirnya cenderung menjadikan sejarah Gereja Katolik di Jawa seolah eksklusif untuk orang Jawa. Tentu saja ini kontraproduktif dengan ajakan Adven KAS 2023 untuk mewaspadai politik identitas (hal 11). Padahal, sebagai gereja yang menyandang nama “universal”, Gereja Katolik sepatutnya menjadi wajah Indonesia—tidak hanya Jawa— dalam intergasinya dengan gereja semesta. Semangat van Lith dalam menjawakan Gereja Katolik patut dipahami sebagai upaya mengintegrasikan nasionalisme Indonesia dengan ajaran Katolik.
Oleh karenanya, tanggal 14 Februari ini menjadi waktu yang tepat bagi umat Katolik untuk berefleksi. Ini adalah waktu untuk bertobat dengan memperingati Rabu Abu sekaligus bersukacita dalam demokrasi melalui pemilu. Keduanya perlu dibalut dan ditumbuhkan dengan rasa cinta kasih. Dengan demikian, pemilu kali ini dapat menjadi sarana pertobatan bagi umat untuk merangkul semua tanpa mengesampingkan siapa pun. Bukankah itu yang Tuhan ajarkan?
______________________
Teresa Astrid Salsabila adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dokumentasi penulis.