Hary Widyantoro, A. S. Sudjatna (Ed.) | Report | CRCS
Kala bermacam identitas—seperti kesukuan dan keagamaan—muncul selepas tumbangnya Orde Baru, makin terkuaklah diskriminasi terhadap komunitas-komunitas adat yang hingga saat ini masih memegang teguh tradisi leluhur mereka. Salah satu bentuk diskriminasi tersebut adalah institusionalisasi agama oleh pemerintah hanya terbatas pada enam agama. Hal ini—dalam beberapa kondisi—memaksa berbagai komunitas adat untuk melebur ke dalam enam agama yang diakui oleh negara—Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Konghuchu. Menghadapi permasalahan ini, peran akademisi dan aktivis sangatlah penting. Kedua elemen tersebut diharapkan sanggup mengadvokasi berbagai komunitas adat yang ada agar dapat menyelesaikan permasalahan mereka masing-masing.
Senyampang dengan hal tersebut, pada tanggal 16 juni 2015, para tokoh adat dan aktivis dari berbagai daerah di Indonesia mengadakan kunjungan ke Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk membicarakan permasalahan yang mereka alami selama ini.Kunjungan ini dimaksudkan untuk memperdengarkan beragam permasalahan tersebut kepada kalangan akademisi, seperti dosen dan mahasiswa. Pada pertemuan ini, berbagai komunitas adat tersebut mengadukan tindakan-tindakan diskriminatif yang kerap mereka alami, semisal diskriminasi dalam hal agama, pendidikan, akte kelahiran, pekerjaan, KTP dan pelayanan publik lainnya, bahkan tindakan akademisi yang dianggap sebagai praktik eksploitasi terselubung—melakukan penelitian namun tidak memberikan timbal balik apa pun.
Mengenai persoalan diskriminasi di tataran pelayanan publik, seperti KTP, pendidikan dan pekerjaan, ada banyak contoh kasus yang mereka kemukakan. Dalam pembuatan KTP, misalnya, walaupun mereka adalah para penghayat kepercayaan yang berpegang teguh pada tradisi dan keyakinan leluhur, namun mereka terpaksa harus mengisi kolom agama dengan salah satu dari keenam agama yang diakui oleh negara. Adapun dalam wilayah pendidikan, salah seorang perwakilan dari Sunda Wiwitan, Cireundeu, mengungkapkan bahwa tradisi mereka kian tergerus melalui pendidikan agama di sekolah-sekolah. Pendidikan agama adalah salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah. Setiap anak akan menerima mata pelajaran ini berdasarkan agama yang dianut oleh masing-masing murid—tentunya berdasarkan enam agama yang diakui negara, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Fakta bahwa mereka menganut Sunda Wiwitan yang tidak dianggap sebagai agama—melainkan aliran kepercayaan—menyebabkan anak-anak mereka harus diajari salah satu dari keenam agama tersebut. Perwakilan lainnya dari agama Kaharingan, suku Dayak Ma’anyan, menekankan agar negara tidak mencampuradukkan Kaharingan dengan Hindu, untuk menjadikan Kaharingan bagian dari enam agama yang diakui negara. Karena, menurutnya, prosesi dan ritual yang ada dalam Kaharingan jauh berbeda dari prosesi dan ritual agama Hindu.
Kasus serupa juga dialami oleh komunitas Marapu, Kampung Tarung, Sumba Barat, NTT, sebagaimana dijelaskan oleh ketua komunitas Marapu , Rato Lolina. Pada kasus pendidikan, misalnya, ia menyebutkan bahwa anak-anak Marapu harus memeluk salah satu dari keenam agama yang diakui negara agar dapat mengikuti mata pelajaran agama di sekolah mereka. Merespon hal ini, ia terpaksa merelakan anak-anak Marapu untuk memeluk salah satu dari keenam agama tersebut ketika bersekolah, namun kembali lagi menganut kepercayaan/agama Marapu ketika pulang ke rumah. Namun, hal tersebut tidaklah berhenti sebatas persoalan itu saja, karena dalam realitasnya mereka harus membuat akte kelahiran yang di dalamnya musti memuat salah satu dari keenam agama yang diakui negara. Hal yang sama juga terjadi pada kasus pernikahan adat, mereka harus medaftarkannya dalam catatan sipil, dan ini berarti harus mencantumkan salah satu dari keenam agama yang legal tersebut.
Kasus lain yang dialami mereka adalah adanya eksploitasi oleh akademisi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Laila Safamena—yang juga seorang akademisi—saat menjelaskan permasalahan yang dialami suku Maulu di Pulau Serang, Maluku. Ia menyebutkan bahwa dirinya pernah bertemu dengan salah satu peneliti yang menulis tesis dan disertasi tentang suku Maulu, namun tidak pernah ada timbal balik yang diterima oleh suku tersebut. Peneliti biasanya hanya mengerjakan proyek yang didanai oleh institusi tertentu, namun tidak memberikan imbal-balik apa pun bagi mereka, semisal mengajar dan membantu mereka secara gratis. Itulah di antara beberapa masalah yang dikemukakan oleh para wakil dari komunitas adat yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Menjawab semua keresahan itu, Dr. Syamsul Maarif, dosen program studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS, UGM, memberikan penjelasan yang cukup panjang mengenai cara kerja akademisi dalam merespons segala persoalan yang dialami oleh berbagai komunitas adat itu. Ia mengemukakan bahwa cara kerja akademisi berbeda dengan cara kerja aktivis. Pengaruh dari kerja akademisi tidak bisa didapatkan secara langsung, karena ini menyangkut usaha untuk mengubah cara berpikir manusia tentang suku, agama, kepercayaan dan keyakinan tertentu. Hal ini tentu saja membutuhkan proses yang tidak instan.
Akan tetapi, usaha menuju ke sana—mengubah cara berpikir manusia tentang suku, agama, kepercayaandan keyakinan tertentu—sedang dan akan terus diperjuangkan oleh para akademisi. Dalam hal ini, Dr. Syamsul Maarif menyebutkan beberapa usaha yang dilakukan oleh CRCS, UGM dalam mengentaskan persoalan tersebut. Sebagai contoh, ia mengemukakan bahwa mahasiswa di Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) senantiasa didorong untuk melakukan penelitian tentang agama-agama lokal, sehingga mendorong mereka secara pribadi untuk mengubah cara berpikir tentang agama lokal. Dari penelitian ini, para mahasiswa diharapkan akan semakin memahami permasalahan yang dihadapi oleh komunitas agama lokal secara langsung.
Usaha lainnya yaitu dengan mempublikasikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh CRCS selama ini mengenai agama lokal. Hasilnya, beberapa akademisi dan pemimpin dari kalangan agamawan mulai mehamami permasalahan yang ada di tataran grass root serta merespons positif atas isu tersebut. Salah satu bentuk usaha lainnya yang dilakukan oleh CRCS dalam merespons persoalan ini—mengingat akademisi juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi kebijakan publik—adalah memberikan laporan tahunan dan menggelar konfrensi pers mengenai rekomendasi terhadap Jokowi.
Usaha dalam bentuk lain—yang dilakukan aktivis untuk merespons persoalan tersebut—juga dilakukan oleh Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBI). Dalam hal ini, mereka merangkul para perwakilan komunitas adat dari berbagai daerah untuk mengikuti pelatihan pelestarian desa wisata berbasis kultur. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah dapat melihat eksistensi mereka. Disamping itu, mereka juga ingin membuat ensiklopedia tentang agama-agama lokal di Indonesiauntuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa di nusantara ini tidak hanya ada enam agama saja.
Akhirnya, forum diskusi antara para perwakilan komunitas adat dengan CRCS ini diakhiri dengan pertanyaan menarik dari salah seorang mahasiswa CRCS, Heri Setyawan, kepada seluruh perwakilan komunitas adat mengenai kesiapan mereka dalam membangun desa wisata di daerah masing-masing. Karena, dalam realitasnya, banyak kasus tentang ketidakefektifan penggunaan dana yang telah diberikan. Merespons pertanyaan ini, salah satu aktivis ANBI, Nia, mengatakan bahwa siap tidak siap, mereka harus siap karena sudah berada dalam era rivalitas globalisasi. Karenanya, agar tidak terjerumus dalam lubang komersialisasi dan kapitalisasi, maka ekoturisme adalah usulan baik bagi komunitas adat agar masyarakat dan pemerintah lebih mengenal komunitas adat beserta tradisinya.