• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Sunda Wiwitan
  • Sunda Wiwitan
Arsip:

Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan, Diskriminasi dan Penguatan Tradisi

HeadlineNewsSPK news Friday, 4 December 2015

Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK

Anak-anak Sunda Wiwitan ikut menyambut peserta SPK VII dan menyanyikan Lagu Sampurasun
Anak-anak Sunda Wiwitan ikut menyambut peserta SPK VII dan menyanyikan Lagu Sampurasun

Diskriminasi terhadap masyarakat adat, penghayat, dan penganut kepercayaan hingga saat ini masih berlangsung di Indonesia. Meskipun demikian, Sunda Wiwitan sebagai salah satu agama lokal Sunda terus memperjuangkan hak-haknya sebagai warganegara. Masyarakat Sunda Wiwitan tidak hanya melakukan upaya demi terpenuhinya hak-hak sipil mereka, tetapi juga—bersama komunitas lain di sekitarnya—melawan eksploitasi sumber panas bumi di Gunung Ciremai oleh PT. Chevron Geothermal Indonesia. Dua hal tersebut menjadi tema utama diskusi peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VII dengan masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu 28 November 2015.
Pangeran Djati Kusumah, pimpinan masyarakat Sunda Wiwitan, mengatakan banyak orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui Sunda Wiwitan, termasuk keterlibatan mereka dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, adat karuhun Sunda Wiwitan adalah ajaran leluhur Sunda yang menuntun kesadaran spiritual manusia Sunda terhadap kekuatan energi dalam semesta di luar dirinya selaku manusia; sadar pada hukum kepastian-Nya, teguh pada janji menjaga cara ciri manusia dan cara ciri bangsa. Kesadaran itulah yang mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di masa penjajahan serta perjuangan menentang eksploitasi sumber panas bumi di masa kemerdekaan ini.
Pangeran-Djati-Kusumah,-Pimpinan-Sunda-Wiwitan-memberikan-sambutan-selamat-datang-kepada-peserta-SPK-VII
Pangeran Djati Kusumah, Pimpinan Sunda Wiwitan memberikan sambutan selamat datang kepada peserta SPK VII

Dalam kesempatan itu pula, Dewi Kanti, salah seorang putri Pangeran Djati Kusumah, menjelaskan masalah diskriminasi terhadap masyarakat Sunda Wiwitan sejak Zaman Belanda. Pada masa pendudukan Belanda, penganut Sunda Wiwitan diisukan sebagai komunitas api atau sempalan Islam, sehingga muncul pertentangan dari pesantren-pesantren. Pangeran Sadewa Alibassa atau dikenal Pengaren Madrais, pimpinan Sunda Wiwitan saat itu, sempat dipenjarakan dengan tuduhan memeras masyarakat dan dianggap gila, sehingga pada tahun 1901–1908 dibuang ke Boven Digul.
Selanjutnya, diskriminasi terkait administrasi sipil dimulai pada masa penjajahan Jepang, dengan berdirinya Shumubu yang saat ini menjadi Kantor Urusan Agama (KUA). Saat itu, masyarakat Sunda Wiwitan tidak dapat melakukan pencatatan pernikahan mereka secara legal karena tidak mengikuti ajaran Islam. Akibatnya, pernikahan masyarakat Sunda Wiwitan mendapatkan stigma “pernikahan liar.” Di masa kemerdekaan, posisi masyarakat Sunda Wiwitan semakin sulit. Pemerintah melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) yang dibentuk pada 1961, membatasi ritual dan kepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan. Oleh karena itu, pada 1964, Pangeran Tedja Buana—putra Pangeran Madrais—menginstruksikan untuk memilih agama dengan simbol “berteduh di bawah cemara putih” guna menyelamatkan komunitasnya dari stigma perkawinan liar.”Sebagian masyarakat Sunda Wiwitan memilih masuk agama Katolik dan Kristen, dan sebagian kecil lainnya masuk ke Islam.
Namun pada 1981, kebijakan Pangeran Tedja Buana tersebut terkendala oleh Misi Gereja Katolik kepada sesepuh adat. Saat itu, acara gereja tidak mengakomodasi tradisi. Pangeran Djati Kusumah, pimpinan Sunda Wiwitan selanjutnya, menyatakan keluar dari Katolik yang kemudian diikuti masyarakat Sunda Wiwitan lainnya. Akibatnya, melalui Bakorpakem, negara melarang segala kegiatan tradisi Sunda Wiwitan, di antaranya Upacara Seren Taun—Syukuran Masyarakat Agraris—selama 17 tahun, dari 1982 hingga 1999.
Salah-satu-peserta-SPK-VII-yang-juga-penganut-Sunda-Wiwitan-mempraktekkan-cara-meditasinya
Salah satu peserta SPK VII yang juga pengikut Sunda Wiwitan mempraktekkan cara meditasinya

Dengan berbagai upaya dan peluang untuk terus mempertahankan kepercayaan mereka, masyarakat Sunda Wiwitan membentuk paguyuban dan mendaftarkannya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun demikian, hal itu tak banyak membantu mengatasi kesulitan administrasi sipil terhadap masyarakat Sunda Wiwitan. Pada proses pembuatan KTP penganut Sunda Wiwitan dianggap tidak beragama, dan kolom agama pun dikosongkan. Selain itu, dalam pembuatan akta kelahiran anak, hanya pihak ibu yang disebutkan, sedangkan bapak ditulis secara administratif sebagai ayah angkat. Siswa penganut Sunda Wiwitan harus menerima ajaran agama lain di sekolah dan sebagian diminta untuk mengikuti kegiatan-kegiatan agama lain. Kesulitan administrasi tersebut berimplikasi pada hak-hak sipil lainnya, seperti pendidikan, pekerjaan dan politik.
Dewi Kanti juga mengatakan, masyarakat Sunda Wiwitan berupaya untuk tetap berkarya dalam menjaga keutuhan tradisi—antara lain melalui produksi ukiran akar dan kayu khas Sunda, batik Sunda, tarian dan lagu-lagu Sunda, serta arsitektur bangunan dengan simbol-simbol Sunda Wiwitan. Selain itu, pihaknya juga berusaha untuk mendokumentasikan praktik pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap masyarakat Sunda Wiwitan. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti berusaha untuk terus meningkatkan daya juang komunitas, penyadaran hak konstitusi, serta penyadaran kewajiban selaku masyarakat bela bangsa.
Lebih lanjut, masyarakat Sunda Wiwitan senantiasa terlibat aktif dalam usaha konservasi lingkungan dan menolak eksploitasi sumber daya panas bumi di lereng Gunung Ciremai. Okki Satria, suami Dewi Kanti, menceritakan bahwa usaha yang dilakukan sejak 2014 tersebut, melalui diskusi dan penguatan komunitas, tidak hanya dilakukan masyarakat Sunda Wiwitan, tetapi juga masyarakat sekitarnya, termasuk Ahmadiyah yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Unsur masyarakat meliputi tokoh-tokoh masyarakat, pimpinan agama, pemuda, bahkan ibu-ibu ikut turun ke jalan memperjuangkan isu ini. Aksi penolakan tersebut berhasil mendesak Bupati Kuningan untuk berdiskusi dan mendengarkan keberatan mereka atas eksploitasi tersebut.
(Editor: A.S. Sudjatna)
Peserta-SPK-VII-mengunjungi-Masyarakat-Sunda-Wiwitan-Cigugur-Kuningan-Jawa-Barat
Peserta SPK VII mengunjungi Masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan Jawa Barat

Modal Sosial Menghadapi Gerakan Intoleran di Jawa Barat

HeadlineNewsPluralism NewsSPK news Sunday, 29 November 2015

Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK

SPK-VII-JAWA-BARAT-KEBERAGAMAN-03
Sekolah Pengeloloaan Keragaman VII, Sangkanhurip Resort, Cigugur Kuningan, Jawa Barat.

Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus intoleran tertinggi di Indonesia, khususnya selama delapan tahun terakhir. Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil. Hal ini terungkap pada salah satu sesi diskusi acara Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK), Selasa, 24 November 2015. Acara rutin tahunan hasil dari kerja sama Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM dengan Hivos tersebut dihadiri oleh dua puluh enam orang aktivis dan akademisi dari berbagai institusi pendidikan maupun lembaga sosial kemasyarakatan yang berada di Jawa Barat, seperti Fahmina Institut, Gerakan Islam Cinta, Jaringan Kerja Sama antar Umat Beragama (Jakatarub), Values Institut Bandung, Pelita Perdamaian, Peace Generation Indonesa, IPNU, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Tasikmalaya, dan Sunda Wiwitan.

Wed FORUM: Karatagan Ciremai, A Tale of Sunda Wiwitan Teenager

NewsWednesday Forum News Monday, 28 September 2015

WEDFORUM-KARATAGAN-CIREMAI-BANNER-03-CRCS-UGM
Abstract
Sunda Wiwitan is an indigenous religion of that is practiced by some Sundanese people in Cigugur, Kuningan, West Java. Although the state recognizes this spiritual practice as an aliran kepercayaan, or a recognized belief organization, this community still faces discrimination for practicing their ancestral religion both from the state and from members of the religious majority in their surrounding social environment.  
This fifteen-minute documentary tells the story of Anih, a 14 year old Sunda Wiwitan girl, and how she faces the challenges of the societal reactions to being part of a family of Sunda Wiwitan followers.   
Karatagan Ciremai is of one of six documentaries of the Kembang 6 Rupa series, a collaborative documentary project voicing girls’ points of view from six areas in Indonesia: Kuningan, Indramayu, Sleman, Sumedang, Sumbawa and Wamena.

Menjawab Permasalahan Komunitas Adat di Indonesia

ArticlesHeadlineNewsPluralism News Monday, 14 September 2015

Hary Widyantoro, A. S. Sudjatna (Ed.) | Report | CRCS

DSC_0052 (2)
Kala bermacam identitas—seperti kesukuan dan keagamaan—muncul selepas tumbangnya Orde Baru, makin terkuaklah diskriminasi terhadap komunitas-komunitas adat yang hingga saat ini masih memegang teguh tradisi leluhur mereka. Salah satu bentuk  diskriminasi tersebut adalah institusionalisasi agama oleh pemerintah hanya terbatas pada enam agama. Hal ini—dalam beberapa kondisi—memaksa berbagai komunitas adat untuk  melebur ke dalam enam agama yang diakui oleh negara—Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Konghuchu. Menghadapi permasalahan ini, peran akademisi dan aktivis sangatlah penting. Kedua elemen tersebut diharapkan sanggup mengadvokasi berbagai komunitas adat yang ada agar dapat menyelesaikan permasalahan mereka masing-masing.

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Beberapa waktu silam, kami berkunjung ke Lasem unt Beberapa waktu silam, kami berkunjung ke Lasem untuk studi lapangan. Kota kecamatan ini memang terkenal dengan toleransi dan harmoni masyarakatnya yang berlatar belakang Jawa, Cina, dan Arab. 

Namun, selama perjalanan kami di sana, ada yang mengganjal. Kami tak banyak menemui orang-orang keturunan Tionghoa di ruang publik secara aktif. 

Simak catatan reflektif dari @astridsyifa tentang eksistensi masyarakat keturunan Tionghoa di daerah yang pernah berjuluk "Little Tiongkok" ini di situs web crcs ugm.
Bagi sebagian besar yang merayakan, tahun ini adal Bagi sebagian besar yang merayakan, tahun ini adalah tahun kelinci air. Namun, di Vietnam, ini adalah tahun kucing. 

Sementara itu, sebagian komunitas keturunan Tionghoa di Tanah Melayu merayakannya sebagai tahun kancil. Iya betul, si kancil yang kerap dituduh mencuri timun oleh pak tani. Padahal, kancil mencuri timun karena hutannya habis dibabat oleh manusia. 

Apa pun hewan yang mewakili tahun ini, semoga damai bagi semesta sepanjang masa. 

xin nian kuaile, gongxi facai
Bagaimana jika ajaran agama saya memerintahkan say Bagaimana jika ajaran agama saya memerintahkan saya untuk membunuh manusia lain, sementara perbuatan itu dianggap melanggar hukum oleh negara? Apakah artinya kebebasan beragama saya sedang dikekang?

Apakah kebebasan beragama berarti juga bebas berganti-ganti agama? 

Kebebasan beragama ternyata tidak sesederhana soal seseorang bebas memilih dan menjalankan agama yang ia yakini. 

Dalam bukunya 𝘗𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘻𝘪𝘯𝘨 𝘙𝘦𝘭𝘪𝘨𝘪𝘰𝘶𝘴 𝘍𝘳𝘦𝘦𝘥𝘰𝘮 (2012), Arvind Sharma mengupas tuntas berbagai problematika Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Bung @vikry_reinaldo mengulasnya dengan apik.

Ulasan lengkapnya bisa dibaca di situs web crcs ugm.
Secarik oleh-oleh dari Seminar Agama-Agama (SAA) P Secarik oleh-oleh dari Seminar Agama-Agama (SAA) Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sekaligus refleksi Natal dan Tahun Baru untuk Indonesia yang beragam dan inklusif dari @ika.iku.aku 

Selengkapnya di situs web crcs ugm
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju