Menyoal Harari: Benarkah Agama Hanya Mitos?
Gedong Maulana Kabir – 26 Okt 2019
Bagi penulis buku laris Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), Yuval Noah Harari, agama dibangun di atas mitos. Maksud dia dengan mitos adalah narasi yang tak memiliki rujukan pada objek material yang riil. Profesor sejarah di Hebrew University of Jerusalem itu berpandangan demikian karena, menurutnya, Sapiens memiliki kemampuan khas untuk berbahasa, yang berfungsi untuk membicarakan hal-hal yang tak bisa ditangkap panca indera, dan lalu menggunakannya sebagai alat ikat komunal atau penanda identitas.
Sulit untuk menyanggah bahwa uraian Harari mengenai agama, atau fenomena sosial yang banyak orang sebut sebagai ‘agama’, beraras pada cara pandang evolusionis. Ia membagi sejarah Homo Sapiens ke dalam tiga fase, yang tiap fase dimulai oleh apa yang ia sebut revolusi, yakni revolusi kognitif, lalu agrikultural, dan kemudian saintifik. Di fase revolusi kognitif itulah, bagi Harari, embrio agama muncul, yang dimungkinkan oleh kemampuan manusia untuk berbahasa.
Namun demikian, saya berpendapat, narasi sejarah ala Harari itu abai pada pendekatan fenomenologis. Narasi makro yang ingin menggeneralisasi memang cenderung menyederhanakan dan karena itu rentan tak mengacuhkan detail-detail yang sesungguhnya penting. Memang, sebagaimana disebut Harari, agama mampu mengikat dan menjadi alat kohesi masyarakat, tetapi itu adalah fungsi turunannya. Narasi Harari tampak hanya fokus pada aspek fungsi agama ini. Bagi saya, ia tampak tak memedulikan—atau lebih dari itu, mengganggap ilusi—perspektif dan pengalaman religius orang beriman yang meyakini riilnya pengalaman akan ‘Yang Transenden’, yang ‘Wujud’ melampaui dunia materi.
Dari revolusi ke revolusi
Dalam uraian Harari, revolusi kognitif bermula kurang lebih 70.000 tahun lalu, ditandai dengan munculnya kemampuan Sapiens untuk berbahasa, yang membedakannya dari spesies hewan lain. Bila hewan lain bisa mengeluarkan bunyi yang kurang lebih bermakna “awas, ada singa!”, hanya Sapiens yang bisa berkata, “Singa adalah penjaga arwah suku kita”. Kemampuan Sapiens menggunakan bahasa untuk merujuk pada wujud non-empiris itulah yang melahirkan mitos, yang menjadi cikal bakal agama. Mitos tentang arwah ini, sebagaimana banyak antropolog klasik, Harari sebut sebagai animisme.
Lalu muncullah revolusi agrikultural, yang bermula kurang lebih 12.000 tahun lalu. Kehidupan agrikultural pada akhirnya melahirkan tatanan-tatanan sosial di masyarakat, dengan perlahan meninggalkan pola hidup nomaden. Di tahap ini konsep tentang teritori muncul, yang berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih privat. Tetapi untuk mempertahankan teritori komunalnya Sapiens masih harus bekerja sama. Mitos menjadi alat untuk memperkukuh kerja sama ini. Agama yang dibangun di atas mitos kemudian mengejawantah dalam fungsinya untuk menjaga tatanan masyarakat dan menandakan identitas sosial dan territorial tertentu.
“Efek religius pertama dari Revolusi Agrikultural adalah mengubah tumbuhan dan binatang dari anggota setara dari ‘sebuah meja bundar spiritual’ menjadi sekadar properti,” kata Harari. Politeisme dalam konteks ini lahir, dibangun masih atas dasar mitos dan dalam kerangka kepercayaan animis. Dewa-dewa dipercaya ada, menghuni atau menguasai teritori tertentu, dan tiap suku memiliki dewa-dewanya masing-masing. Selanjutnya, politeisme bisa berubah menjadi monoteisme ketika para penyembah terikat pada patronase yang lebih kuat pada satu dewa tertentu. Situasi ini membuat mereka mulai meyakini bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, dan bahwa Dia adalah kekuatan tertinggi di alam semesta.
Dalam narasi Harari, agama monoteis pertama muncul di Mesir pada 350 SM di masa Firaun Akhenaten. Dewa utama yang disembah adalah Aten, yang mulanya merupakan satu di antara banyak dewa lain pada masa itu. Harari menyebut fase ini sebagai monoteisme lokal, yang belum menjadi agama misionaris. Retakan sejarah terjadi ketika Yudaisme dan Kristen muncul, yang kemudian disusul oleh Islam. Agama-agama Abrahamik ini bagi Harari adalah monoteisme universal yang harus disampaikan pada seluruh Sapiens yang di muka bumi. Sejarah akhirnya mencatat, sebagaimana dinukil Harari, ketika Kristen mulai diadopsi Imperium Romawi, atau Islam menjadi agama kekhalifahan, persebaran agama tidak bisa dilepaskan dari sejarah peperangan ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’, yang ‘beriman’ melawan yang ‘kafir’.
Situasi itu disebut Harari sebagai fase agama ‘dualistik, yang bersandar pada cara pandang dunia akan adanya dua kekuatan, baik dan jahat, yang saling memerangi untuk merebut dominasi. Dalam bentuknya yang mencolok, agama semacam ini manifes dalam kepercayaan Zoroastrianisme yang meyakini adanya pertarungan kosmik antara dewa Ahura Mazda (baik) dan dewa Angra Mainyu (jahat).
Satu corak yang berbeda muncul dari Afro-Asia, seperti Jainisme, Buddhisme, Daoisme, Konghucu, Stoisisme, Cyncisme, dan Epicuranisme sejak milenium ke-1 SM. Sistem-sistem kepercayaan ini, menurut Harari, menolak pandangan tentang dewa-dewa. Inti ajarannya lebih fokus pada hukum alam. “Buddhisme,” kata Harari, “adalah agama hukum alam (natural law religion) yang paling penting”. Siddharta Gautama mengajarkan bahwa penderitaan muncul dari nafsu, dan karena itu satu-satunya cara agar lepas dari penderitaan adalah membebaskan diri dari nafsu.
Retakan sejarah berikutnya terjadi sekitar 300 tahun terakhir hingga kini yang ditandai dengan menguatnya arus sekularisme seturut revolusi saintifik. Harari dengan percaya diri menggambarkan bahwa pada periode ini agama-agama akan kehilangan nilai dan berganti dengan agama kemanusiaan. Ini adalah suatu jenis ‘agama baru’, yang mewujud dalam liberalisme, komunisme, kapitalisme, nasionalisme, atau Nazisme. Seringkali kita lebih memilih menyebutnya dengan istilah ideologi, bukan agama. Namun, kata Harari, yang terjadi hanyalah permainan semantik belaka. Mau kita menyebutnya agama mapun ideologi, keduanya berfungsi sama saja, yakni digunakan sebagai justifikasi bagi sistem tata sosial tertentu.
Fiksi atau nyata?
Ringkas kalimat, seluruh uraian Harari ini tampak hendak menegaskan tesis bahwa agama, dan dengan demikian juga konsep tentang Tuhan, hanyalah mitos yang diciptakan manusia, terlepas dari ragam bentuk atau sistem kepercayaan yang mendasarinya. Setiap mitos memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memobilisasi Sapiens dalam membentuk, melestarikan, atau melawan tatanan sosial tertentu. Basis mitos dalam agama ini, sebagaimana ditegaskan Harari, “dikenal di kalangan akademisi sebagai fiksi, konstruksi sosial, atau realitas yang dibayangkan”. Intinya, Harari hendak mengatakan bahwa agama hanya persoalan bahasa, yang objek materialnya tidak benar-benar ada. Kerangka pikir evolusionis dan fungsionalis Harari ini, seperti saya sebut di awal, memang mengabaikan pengalaman religius orang-orang beriman sendiri.
Narasi yang dibangun Harari itu pun bukan hal baru. Ia memiliki kemiripan dengan narasi para antropolog klasik ketika mendeskripsikan kepercayaan ‘para penyembah patung’, atau para orientalis ketika menggambarkan kepercayaan ‘Timur’, yang terpengaruhi paradigma subjek-objek (Cartesian) dalam produksi pengetahuan ala modernisme. Kerangka pikir semacam ini sudah sering mendapat kritik dalam tren Studi Agama mutakhir.
Narasi Harari mengenai animisme, misalnya, mirip dengan narasi ‘bapak antropologi’ Edward Tylor, juga penerusnya seperti James Frazer, yang menggunakan mitos sebagai basis penjelasan universal atas fenomena keagamaan, yang embrionya berasal dari kepercayaan akan adanya arwah. (Lebih jauh baca artikel yang mengkritik pandangan ini di situs web CRCS: Asal Mula Teori Animisme dan Masalahnya)
Para akademisi Studi Agama lain yang menggunakan pendekatan fenomenologis dalam mengkaji agama tentu akan punya pandangan berbeda dari Harari. Mereka akan menyebut pengalaman keagamaan sebagai pengalaman riil dari perjumpaan dengan ‘Yang Sakral’, ‘Yang Transenden’, yang ‘Wujud Mutlak’, yang ‘diketahui’ oleh orang-orang beriman melalui peng-alam-an langsung, bukan nalar kognitif.
Selain evolusionis dan fungsionalis, definisi Harari mengenai mitos tampak mengindikasikan cara pandangnya yang materialis, dalam pengertian bahwa objek material saja yang sebenarnya riil. Ketika ia bicara mitos, misalnya, sebenarnya bukan hanya agama yang jadi bahasannya. Bagi Harari, mitos terbesar sepanjang sejarah Sapiens adalah uang, disusul imperium, kemudian agama. Objek material uang, bagi Harari, hanyalah kertas saja; nilainya ada dalam abstraksi atau pengandaian di dalam pikiran manusia. Negara juga eksis hanya dalam konsep atau konstruksi manusia melalui bahasa belaka (ingat konsep mengenai ‘komunitas terbayang’), sementara objek materialnya adalah tanah, gedung-gedung pemerintahan, dan manusia-manusia yang menghuni tanah dan gedung-gedung itu, yang tidak identik dengan bahasa atau konsep-konsep yang dipakai untuk mendeskripsikan hal-hal itu.
Jadi, kalau mau dikerucutkan, penggambaran Harari tentang agama sebagai mitos berlandaskan pada distingsi antara bahasa di satu sisi dan realitas di sisi lain. Namun, saya berpandangan bahwa, justru dengan cara pandang inilah kita bisa balik bertanya ke Harari sendiri ihwal gambarannya mengenai agama.
Sebutlah fenomena keagamaan adalah suatu realitas di ‘sana’, lalu Harari membahasakan fenomena keagamaan itu sebagai mitos, sementara sarjana fenomenolog dalam Studi Agama menyebutnya sebagai pengalaman riil akan Yang Transenden. Keduanya adalah, ya, sama-sama bahasa untuk menggambarkan apa yang banyak orang sebut sebagai fenomena keagamaan.
Pertanyaannya kemudian: apa yang membuat ‘bahasa’ Harari lebih valid, atau lebih benar secara korespondensial, dibanding ‘bahasa’ para fenomenolog? Dengan cara pandang Harari sendiri akan bahasa dalam hubungannnya dengan objek material, apa yang membuat ‘bahasa’ Harari bukan merupakan misrepresentasi? Di sinilah, filsafat pengetahuan atau epistemologi tentang bagaimana kita mengetahui dan merepresentasikan sesuautu memegang peran kunci.
Sayang kita belum menemukan jawaban dari pertanyaan itu secara sistematis dalam tulisan-tulisan Harari. Ini satu hal yang boleh saja dimaklumi, karena bukunya memang ditujukan untuk konsumsi populer dan ringkas. Kendati demikian, hal itu tidak serta merta membolehkan kita untuk menelan gagasan Harari mentah-mentah, bukan?
__________________
Gedong Maulana Kabir adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Gedong lainnya—Agama dalam Narasi: Jawa sebagai Objek.
pemikiran Harari merupakan sebuah fenomena yang agama yang dialami oleh sebagian besar Eropa. Akan tetapi menurut para fenomenolog agama kebanyakan adalah agama mulai bangkit kembali di era sekarang.