• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Student Service
    • Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Book Review
  • Menyoal Harari: Benarkah Agama Hanya Mitos?

Menyoal Harari: Benarkah Agama Hanya Mitos?

  • Book Review
  • 26 October 2019, 14.22
  • Oleh: CRCS UGM
  • 1

Menyoal Harari: Benarkah Agama Hanya Mitos?

Gedong Maulana Kabir – 26 Okt 2019

Bagi penulis buku laris Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), Yuval Noah Harari, agama dibangun di atas mitos. Maksud dia dengan mitos adalah narasi yang tak memiliki rujukan pada objek material yang riil. Profesor sejarah di Hebrew University of Jerusalem itu berpandangan demikian karena, menurutnya, Sapiens memiliki kemampuan khas untuk berbahasa, yang berfungsi untuk membicarakan hal-hal yang tak bisa ditangkap panca indera, dan lalu menggunakannya sebagai alat ikat komunal atau penanda identitas.

Sulit untuk menyanggah bahwa uraian Harari mengenai agama, atau fenomena sosial yang banyak orang sebut sebagai ‘agama’, beraras pada cara pandang evolusionis. Ia membagi sejarah Homo Sapiens ke dalam tiga fase, yang tiap fase dimulai oleh apa yang ia sebut revolusi, yakni revolusi kognitif, lalu agrikultural, dan kemudian saintifik.  Di fase revolusi kognitif itulah, bagi Harari, embrio agama muncul, yang dimungkinkan oleh kemampuan manusia untuk berbahasa.

Namun demikian, saya berpendapat, narasi sejarah ala Harari itu abai pada pendekatan fenomenologis. Narasi makro yang ingin menggeneralisasi memang cenderung menyederhanakan dan karena itu rentan tak mengacuhkan detail-detail yang sesungguhnya penting. Memang, sebagaimana disebut Harari, agama mampu mengikat dan menjadi alat kohesi masyarakat, tetapi itu adalah fungsi turunannya. Narasi Harari tampak hanya fokus pada aspek fungsi agama ini. Bagi saya, ia tampak tak memedulikan—atau lebih dari itu, mengganggap ilusi—perspektif dan pengalaman religius orang beriman yang meyakini riilnya pengalaman akan ‘Yang Transenden’, yang ‘Wujud’ melampaui dunia materi.

Dari revolusi ke revolusi

Dalam uraian Harari, revolusi kognitif bermula kurang lebih 70.000 tahun lalu, ditandai dengan munculnya kemampuan Sapiens untuk berbahasa, yang membedakannya dari spesies hewan lain. Bila hewan lain bisa mengeluarkan bunyi yang kurang lebih bermakna “awas, ada singa!”, hanya Sapiens yang bisa berkata, “Singa adalah penjaga arwah suku kita”. Kemampuan Sapiens menggunakan bahasa untuk merujuk pada wujud non-empiris itulah yang melahirkan mitos, yang menjadi cikal bakal agama. Mitos tentang arwah ini, sebagaimana banyak antropolog klasik, Harari sebut sebagai animisme.

Lalu muncullah revolusi agrikultural, yang bermula kurang lebih 12.000 tahun lalu. Kehidupan agrikultural pada akhirnya melahirkan tatanan-tatanan sosial di masyarakat, dengan perlahan meninggalkan pola hidup nomaden. Di tahap ini konsep tentang teritori muncul, yang berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih privat. Tetapi untuk mempertahankan teritori komunalnya Sapiens masih harus bekerja sama. Mitos menjadi alat untuk memperkukuh kerja sama ini. Agama yang dibangun di atas mitos kemudian mengejawantah dalam fungsinya untuk menjaga tatanan masyarakat dan menandakan identitas sosial dan territorial tertentu.

“Efek religius pertama dari Revolusi Agrikultural adalah mengubah tumbuhan dan binatang dari anggota setara dari ‘sebuah meja bundar spiritual’ menjadi sekadar properti,” kata Harari. Politeisme dalam konteks ini lahir, dibangun masih atas dasar mitos dan dalam kerangka kepercayaan animis. Dewa-dewa dipercaya ada, menghuni atau menguasai teritori tertentu, dan tiap suku memiliki dewa-dewanya masing-masing. Selanjutnya, politeisme bisa berubah menjadi monoteisme ketika para penyembah terikat pada patronase yang lebih kuat pada satu dewa tertentu. Situasi ini membuat mereka mulai meyakini bahwa Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, dan bahwa Dia adalah kekuatan tertinggi di alam semesta.

Dalam narasi Harari, agama monoteis pertama muncul di Mesir pada 350 SM di masa Firaun Akhenaten. Dewa utama yang disembah adalah Aten, yang mulanya merupakan satu di antara banyak dewa lain pada masa itu. Harari menyebut fase ini sebagai monoteisme lokal, yang belum menjadi agama misionaris. Retakan sejarah terjadi ketika Yudaisme dan Kristen muncul, yang kemudian disusul oleh Islam. Agama-agama Abrahamik ini bagi Harari adalah monoteisme universal yang harus disampaikan pada seluruh Sapiens yang di muka bumi. Sejarah akhirnya mencatat, sebagaimana dinukil Harari, ketika Kristen mulai diadopsi Imperium Romawi, atau Islam menjadi agama kekhalifahan, persebaran agama tidak bisa dilepaskan dari sejarah peperangan ‘kebaikan’ melawan ‘kejahatan’, yang ‘beriman’ melawan yang ‘kafir’.

Situasi itu disebut Harari sebagai fase agama ‘dualistik, yang bersandar pada cara pandang dunia akan adanya dua kekuatan, baik dan jahat, yang saling memerangi untuk merebut dominasi. Dalam bentuknya yang mencolok, agama semacam ini manifes dalam kepercayaan Zoroastrianisme yang meyakini adanya pertarungan kosmik antara dewa Ahura Mazda (baik) dan dewa Angra Mainyu (jahat).

Satu corak yang berbeda muncul dari Afro-Asia, seperti Jainisme, Buddhisme, Daoisme, Konghucu, Stoisisme, Cyncisme, dan Epicuranisme sejak milenium ke-1 SM. Sistem-sistem kepercayaan ini, menurut Harari, menolak pandangan tentang dewa-dewa. Inti ajarannya lebih fokus pada hukum alam. “Buddhisme,” kata Harari, “adalah agama hukum alam (natural law religion) yang paling penting”. Siddharta Gautama mengajarkan bahwa penderitaan muncul dari nafsu, dan karena itu satu-satunya cara agar lepas dari penderitaan adalah membebaskan diri dari nafsu.

Retakan sejarah berikutnya terjadi sekitar 300 tahun terakhir hingga kini yang ditandai dengan menguatnya arus sekularisme seturut revolusi saintifik. Harari dengan percaya diri menggambarkan bahwa pada periode ini agama-agama akan kehilangan nilai dan berganti dengan agama kemanusiaan. Ini adalah suatu jenis ‘agama baru’, yang mewujud dalam liberalisme, komunisme, kapitalisme, nasionalisme, atau Nazisme. Seringkali kita lebih memilih menyebutnya dengan istilah ideologi, bukan agama. Namun, kata Harari, yang terjadi hanyalah permainan semantik belaka. Mau kita menyebutnya agama mapun ideologi, keduanya berfungsi sama saja, yakni digunakan sebagai justifikasi bagi sistem tata sosial tertentu.

Fiksi atau nyata?

Ringkas kalimat, seluruh uraian Harari ini tampak hendak menegaskan tesis bahwa agama, dan dengan demikian juga konsep tentang Tuhan, hanyalah mitos yang diciptakan manusia, terlepas dari ragam bentuk atau sistem kepercayaan yang mendasarinya. Setiap mitos memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk memobilisasi Sapiens dalam membentuk, melestarikan, atau melawan tatanan sosial tertentu. Basis mitos dalam agama ini, sebagaimana ditegaskan Harari, “dikenal di kalangan akademisi sebagai fiksi, konstruksi sosial, atau realitas yang dibayangkan”. Intinya, Harari hendak mengatakan bahwa agama hanya persoalan bahasa, yang objek materialnya tidak benar-benar ada. Kerangka pikir evolusionis dan fungsionalis Harari ini, seperti saya sebut di awal, memang mengabaikan pengalaman religius orang-orang beriman sendiri.

Narasi yang dibangun Harari itu pun bukan hal baru. Ia memiliki kemiripan dengan narasi para antropolog klasik ketika mendeskripsikan kepercayaan ‘para penyembah patung’, atau para orientalis ketika menggambarkan kepercayaan ‘Timur’, yang terpengaruhi paradigma subjek-objek (Cartesian) dalam produksi pengetahuan ala modernisme. Kerangka pikir semacam ini sudah sering mendapat kritik dalam tren Studi Agama mutakhir.

Narasi Harari mengenai animisme, misalnya, mirip dengan narasi ‘bapak antropologi’ Edward Tylor, juga penerusnya seperti James Frazer, yang menggunakan mitos sebagai basis penjelasan universal atas fenomena keagamaan, yang embrionya berasal dari kepercayaan akan adanya arwah. (Lebih jauh baca artikel yang mengkritik pandangan ini di situs web CRCS: Asal Mula Teori Animisme dan Masalahnya)

Para akademisi Studi Agama lain yang menggunakan pendekatan fenomenologis dalam mengkaji agama tentu akan punya pandangan berbeda dari Harari. Mereka akan menyebut pengalaman keagamaan sebagai pengalaman riil dari perjumpaan dengan ‘Yang Sakral’, ‘Yang Transenden’, yang ‘Wujud Mutlak’, yang ‘diketahui’ oleh orang-orang beriman melalui peng-alam-an langsung, bukan nalar kognitif.

Selain evolusionis dan fungsionalis, definisi Harari mengenai mitos tampak mengindikasikan cara pandangnya yang materialis, dalam pengertian bahwa objek material saja yang sebenarnya riil. Ketika ia bicara mitos, misalnya, sebenarnya bukan hanya agama yang jadi bahasannya. Bagi Harari, mitos terbesar sepanjang sejarah Sapiens adalah uang, disusul imperium, kemudian agama. Objek material uang, bagi Harari, hanyalah kertas saja; nilainya ada dalam abstraksi atau pengandaian di dalam pikiran manusia. Negara juga eksis hanya dalam konsep atau konstruksi manusia melalui bahasa belaka (ingat konsep mengenai ‘komunitas terbayang’), sementara objek materialnya adalah tanah, gedung-gedung pemerintahan, dan manusia-manusia yang menghuni tanah dan gedung-gedung itu, yang tidak identik dengan bahasa atau konsep-konsep yang dipakai untuk mendeskripsikan hal-hal itu.

Jadi, kalau mau dikerucutkan, penggambaran Harari tentang agama sebagai mitos berlandaskan pada distingsi antara bahasa di satu sisi dan realitas di sisi lain. Namun, saya berpandangan bahwa, justru dengan cara pandang inilah kita bisa balik bertanya ke Harari sendiri ihwal gambarannya mengenai agama.

Sebutlah fenomena keagamaan adalah suatu realitas di ‘sana’, lalu Harari membahasakan fenomena keagamaan itu sebagai mitos, sementara sarjana fenomenolog dalam Studi Agama menyebutnya sebagai pengalaman riil akan Yang Transenden. Keduanya adalah, ya, sama-sama bahasa untuk menggambarkan apa yang banyak orang sebut sebagai fenomena keagamaan.

Pertanyaannya kemudian: apa yang membuat ‘bahasa’ Harari lebih valid, atau lebih benar secara korespondensial, dibanding ‘bahasa’ para fenomenolog? Dengan cara pandang Harari sendiri akan bahasa dalam hubungannnya dengan objek material, apa yang membuat ‘bahasa’ Harari bukan merupakan misrepresentasi? Di sinilah, filsafat pengetahuan atau epistemologi tentang bagaimana kita mengetahui dan merepresentasikan sesuautu memegang peran kunci.

Sayang kita belum menemukan jawaban dari pertanyaan itu secara sistematis dalam tulisan-tulisan Harari. Ini satu hal yang boleh saja dimaklumi, karena bukunya memang ditujukan untuk konsumsi populer dan ringkas. Kendati demikian, hal itu tidak serta merta membolehkan kita untuk menelan gagasan Harari mentah-mentah, bukan?

__________________

Gedong Maulana Kabir adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Gedong lainnya—Agama dalam Narasi: Jawa sebagai Objek.

Tags: evolusi gedong maulana kabir Studi Agama

Leave a Reply to Amrullah Boerman Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Comment (1)

  1. Amrullah Boerman 1 years ago

    pemikiran Harari merupakan sebuah fenomena yang agama yang dialami oleh sebagian besar Eropa. Akan tetapi menurut para fenomenolog agama kebanyakan adalah agama mulai bangkit kembali di era sekarang.

    Reply

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di p Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di penghujung kehidupan, tak terasa #fkd2002 Juni spesial edisi kematian telah sampai di edisi keempat.

Sebagai pemungkas, mari kita merayakan kematian bersama rekan dari Mamasan dan Toraja. Malam Jumat, malamnya penghayat dan masyarakat adat.
Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"? Bagi saya Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"?

Bagi saya, lagu ini begitu menggetarkan kalbu. Sampai-sampai saya kadang lupa bahwa tembang Jawa ini adalah lagu Nasrani tentang sosok yang lahir ratusan tahun lalu di belahan Bumi lain nan jauh di sana.

Karenanya, jika hanya mengenal kekristenan lewat tembang tersebut, agak sukar dipercaya jikalau relasi antara gereja dan agama leluhur di Nusantara ternyata penuh pergumulan dan gejolak. Pergumulan yang pada akhirnya melahirkan teologi kontekstual atau inkulturasi.

Simak tilikan yang sekaligus menjadi renungan kritis tentang relasi gereja dan agama leluhur oleh teolog muda @vikry_reinaldo di situs web crcs ugm.
Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Heard dan pengacara Camille Vasquez di persidangan Johnny Depp?

Dari situ kita melihat betapa dahsyatnya efek dari pemilihan kata yang tepat. Pun dengan pemberitaan di media massa kita. 

Kata bukanlah sekadar susunan huruf dengan makna ala kadarnya. Di sana, tersimpan rapi sebuah ideologi yang mapan dan tidak bebas nilai. Ia punya kuasa untuk menundukkan objek, ataupun menyanjung subjek hingga ke langit. 

Simak tulisan apik @harisfatwa_ tentang narasi pemberitaan di media siber lokal tentang isu keagamaan kita hari ini. Hanya di situs web crcs ugm.
Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agam Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agama dan negara? Bagaimana hubungan Islam dan negara telah bertransformasi sejak dulu hingga saat ini? 

Dalam menjawab wawancara ini, Kuru mengacu kepada buku terbarunya, 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢, 𝙊𝙩𝙤𝙧𝙞𝙩𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣𝙞𝙨𝙢𝙚, 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙩𝙚𝙧𝙩𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣: 𝙋𝙚𝙧𝙗𝙖𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙇𝙞𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙅𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙖𝙬𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝘿𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢 (KPG, 2020) sekaligus lima judul buku yang menjadi rujukan utama tentang topik “Islam dan negara”.

Simak wawancara lengkap @dr_ahmettkuru bersama @isofyanabbas di situs web crcs ugm.
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY