
Gugur Gunung Tandang Gawe merupakan ungkapan Jawa yang merujuk pada semangat gotong royong masyarakat untuk menggarap suatu pekerjaan tanpa pamrih. Kalimat tersebut terpampang pada selembar kain putih yang terbentang pada sebuah pohon jati. Di sebelahnya terdapat sebuah mural yang melukiskan seorang wanita petani dengan tulisan “Future is Today”. di atasnya. Beragam kalimat tersebut menggambarkan harapan masyarakat Dondong, Gunungkidul, di tengah surutnya air telaga.
Pada 26–27 April lalu, mahasiswa kelas “Interreligious Dialogue” dan “Indigenous Religion” CRCS UGM dan ICRS menyambangi Festival Telaga Gunungkidul di Dukuh Dondong, Desa Jetis, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Yang menjadi motor festival ini ialah Ikatan Pemuda Pemudi Dondong (IPPD). Anak-anak muda Dondong tersebut berkolaborasi dengan beberapa komunitas pegiat lingkungan—beberapa di antaranya ialah komunitas Resan, Sekolah Banyu Bening, serta komunitas Tree of Heart. Bertajuk “Telaga Heritage Hidup dan Menghidupi”, festival ini merupakan sebuah bentuk upaya kolektif untuk mengembalikan fungsi telaga sebagai obyek vital bagi masyarakat sekitar yang selama beberapa bulan terakhir tengah mengering.
Acara yang digelar selama dua hari satu malam ini juga membuka ruang bagi warga untuk menggerakkan roda ekonomi mereka. Kios-kios berdiri di sekitar lokasi perkemahan, menyediakan berbagai makanan tradisional serta minuman. Ada yang menjual nasi kucing, klepon, hingga sate ayam yang disajikan dalam pincuk daun pisang. Anek lapak tersebut tak sekadar menjadi sarana pemenuhan pangan kami selama dua hari satu malam, tetapi juga membuka ruang interaksi antara pengunjung dan warga.
Pada malam hari, pelataran utama festival mulai dipadati oleh warga, dari anak-anak hingga orang tua. Sambil duduk lesehan di atas tikar, kami menonton sebuah film pendek berjudul Hamane Nangdi? karya Humatera. Film tersebut menampilkan perjalanan sekelompok anak mencari hama dengan cara bertanya pada setiap orang yang mereka jumpai, baik di jalanan, pasar hingga sebuah candi. Langkah mereka terhenti di atas puncak gunung yang penuh dengan asap serta suara bising dari berbagai alat berat. Tak jauh dari aktivitas industri tersebut, terdapat hamparan perkebunan kentang yang dimiliki oleh warga desa. Realita tersebut menunjukkan bagaimana petani kerap bergelut dengan berbagai “hama” yang mengganggu kegiatan sehari-hari.
Film tersebut membuka pertanyaan reflektif tentang cara manusia memandang alam sebagai objek yang perlu dimodernisasi. Dalam sesi diskusi, Mbah Harso yang menjadi Kaum (penjaga) Telaga Dondong, mengungkapkan bahwa telaga merupakan sebuah hasil dari sebuah fenomena alam yang menjadi dinding alami untuk menampung air hujan, baik yang turun langsung dari langit maupun yang disalurkan melalui akar pohon. Sayangnya, di dasar telaga kerap terdapat luweng maupun lubang yang membuat air telaga mengering. Dalam merespons hal tersebut, masyarakat Dondong memiliki sebuah kearifan lokal yang bernama edrek-edrek, atau memadatkan dasar telaga untuk menutup pori-pori tanah yang masih terbuka.
Pada mulanya, aktivitas edrek-edrek tersebut dilakukan secara alami oleh kerbau milik warga yang kerap berkubang di telaga ketika surut. Gerakan menggeliat kerbau di atas tanah sambil membuang kotoran mampu membuat dasar telaga menjadi rapat. Penjelasan Mbah Harso tersebut mendapat afirmasi dari Agus Prasetya, dosen Teknik Kimia UGM. Menurutnya, mikroba mampu mengeluarkan cairan yang dapat melekatkan tiap butir tanah. Karenanya, penggunaan semen justru dapat menghancurkan ekosistem yang telah terbangun melalui proses alamiah serta menghambat sirkulasi air tanah.
Pada hari berikutnya, warga mulai memadati pinggiran telaga untuk mengikuti Merti Telaga. Tampak ibu-ibu sedang membagikan seporsi nasi di atas daun pidang yang dibentuk layaknya piring kepada para pengunjung. Tak lama berselang, beberapa pemuda dengan berpakaian adat Jawa, lengkap dengan keris serta blangkon mulai memasuki arena festival. Dalam prosesi tersebut, mereka mengarak sebuah gunungan berisi aneka buah-buahan, umbi-umbian serta sayuran tersebut dilarungkan ke tepian Telaga Dondong. Gunungan itu kemudian diperebutkan oleh para warga yang sekaligus memulai praktik edrek-edrek.
Warga dengan antusias turun ke telaga untuk merebut hasil bumi dari sebuah gunungan serta berlomba-lomba untuk menangkap ikan. Ada yang membawa jaring ikan, alat penampi hingga ember sebagai wadah untuk hasil tangkapan mereka. Dengan menginjak-injak dasar telaga, tanah akan menjadi lebih padat sehingga air yang tertahan tak akan mudah surut.
Cara masyarakat Dondong menghidupi tradisi merefleksikan sebuah relasi yang erat antara manusia dan alam. Melalui pengetahuan lokal yang terwariskan secara temurun, semua entitas saling terhubung di dalam telaga dondong, mulai dari tanah, akar, air, manusia, hingga hewan. Masing-masing memiliki peran untuk saling bersinergi.
Apa yang kerap kita pikirkan mengenai “modernisasi”, nyatanya tak melulu soal kemajuan zaman, teknologi, apalagi pengetahuan Barat. Pemikiran sempit macam ini justru akan berdampak pada eksploitasi lingkungan. Melalui pengetahuan lokalnya, manusia ikut berperan dalam sistem alam bekerja dan sistem tersebut perlu dikukuhkan melalui ritual (Hart, 2010: 7). Edrek-edrek tak sekadar seremoni, tetapi bentuk relasi antara manusia dan alam. Tiap langkah kaki manusia memiliki peran penting dalam menjaga agar daya resap tanah tetap kuat, sekalipun di tengah musim kemarau. Dengan begitu, telaga akan mampu untuk menampung air lebih lama-menciptakan hubungan timbal balik antara manusia dan alam.
______________________
Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Leo lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Afkar Aristoteles Mukhaer (2025)