
Melindungi KBB bukan hanya soal agama atau keyakinan, melainkan juga memastikan semua orang, terutama kelompok rentan, dapat hidup dan berkembang tanpa diskriminasi.
Sebagai sebuah hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) selalu bersinggungan dengan hak-hak lain seperti hak anak, hak pendidikan, hak asasi perempuan, dan hak masyarakat adat. Karenanya, penting untuk membingkai upaya pemajuan KBB dengan pendekatan interseksionalitas. Hal inilah yang menjadi sorotan penting dalam Fellowship Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) 2025 Tahap II pada 6—10 Agustus 2025 di Yogyakarta. Fellowship KBB angkatan ke-5 ini mempertemukan 19 dosen dari berbagai latar keilmuan antara lain hukum, syariah, teologi, filsafat, studi agama, dan ilmu-ilmu sosial dan politik.
“Memahami interseksionalitas ini membantu kita melihat bahwa melindungi KBB bukan hanya soal agama atau keyakinan, melainkan juga soal memastikan semua orang, terutama kelompok rentan, dapat hidup dan berkembang tanpa diskriminasi,” tegas Renata Arianingtyas, Direktur Program BERDAYA Indonesia The Asia Foundation, salah satu fasilitator Fellowship KBB 2025. Dalam konteks KBB, seorang anak memiliki kebebasan untuk menentukan dan mengekspresikan keyakinannya sendiri, serta bebas dari paksaan untuk menjalankan atau menolak praktik agama tertentu.
Sementara itu, dalam konteks hak pendidikan, pendidikan memang berperan penting dalam pemberdayaan perempuan dan penghapusan diskriminasi gender. Namun, pemaksaan pakaian keagamaan di sekolah kerap membuat anak perempuan menjadi kelompok paling terdampak, mulai dari kontrol tubuh sejak dini, stigma negatif, hingga tekanan sosial yang menyulitkan mereka untuk menolak.
Dalam konteks hak masyarakat adat, setiap masyarakat adat berhak mempertahankan identitas, adat istiadat, serta cara hidup. Namun, hak ini terancam ketika tanah adat mereka justru dirusak oleh negara untuk kepentingan tambang dan perkebunan komoditas ekspor. Di sisi lain, pewajiban suatu praktik ajaran agama tertentu kepada seluruh warga, termasuk yang berbeda keyakinan, ikut mengancam kebebasan beragama atau berkeyakinan masyarakat adat.
Terobosan Baru: Klinik KBB dan Advokasi KBB
Berbeda dari aksi pemajuan KBB tahun-tahun sebelumnya, luaran utama kegiatan ini tidak terbatas pada naskah hasil penelitian. Fellowship KBB 2025 menghadirkan dua terobosan baru yakni rancangan pelaksanaan Klinik KBB dan Advokasi KBB.
Klinik KBB merupakan program yang dirancang sebagai bentuk pemajuan advokasi KBB melalui jalur pendidikan, khususnya bagi peserta yang berperan sebagai dosen. Menggunakan model experiential learning, program ini menempatkan mahasiswa untuk belajar langsung dari pengalaman berinteraksi dengan individu atau komunitas sekaligus terlibat secara nyata dalam menangani isu-isu yang mereka hadapi. Menurut Asfinawati, salah satu fasilitator, “mengalami sendiri membuat pengetahuan kita menjadi lebih masuk dan lebih berkembang.”
Klinik KBB memadukan berbagai pendekatan untuk mengembangkan wacana KBB di Indonesia, memperkuat kolaborasi, dan mendorong keterlibatan langsung dalam penguatan komunitas. Harapannya, peserta mampu merancang program yang relevan dengan kebutuhan lokal, dan mampu mengimplementasikannya di lingkungan kampus masing-masing.
Advokasi KBB dirancang untuk memperluas pemahaman peserta mengenai praktik advokasi KBB di Indonesia dengan penekanan pada kekhasan perspektif HAM. “Perubahan tidak harus selalu hukum. Mengubah perekonomian kelompok rentan supaya lebih berdaya itu juga bagian dari advokasi,” jelas dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini. Peserta mempelajari tahapan penting dalam proses advokasi, mulai dari perumusan strategi hingga pelibatan para pemangku kepentingan. “Kali ini tidak hanya tulisan. Mereka bisa melakukan advokasi bersama-sama dengan mahasiswanya,” tukas Asfinawati.
Perbedaan dua luaran ini terletak pada orientasi dan ruang lingkupnya. Klinik KBB menitikberatkan pada capacity building melalui pendidikan berbasis pengalaman yang melibatkan mahasiswa secara langsung dengan komunitas. Sementara itu, advokasiKBB berfokus pada memengaruhi kebijakan, membangun kesadaran publik, dan menggerakkan dukungan untuk perubahan struktural. Dengan demikian, Klinik KBB bersifat praksis edukatif di tingkat komunitas, sementara advokasi KBB menekankan strategi politik dan hukum pada skala yang lebih luas.
Pendekatan ini juga melibatkan lintas disiplin ilmu—tidak hanya hukum, tetapi juga sosiologi, agama, psikologi, hingga ekonomi. Seperti yang diungkapkan Asfinawati, “solusi yang ditawarkan lebih beragam dan komprehensif, misal melihat isu KBB soal gendernya gimana, anaknya gimana. Jadi masalah tidak dilihat hanya tunggal, karena tentu saja dunia ini enggak pernah tunggal.”
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas.