Ketika terdesak oleh bencana yang sudah lugas di depan mata, masihkah faktor identitas sosial, politik, dan keagamaan menjadi penting? Apakah pertanyaan itu tidak lagi penting karena perbedaan sudah dilebur demi alasan kemanusiaan dan penderitaan bersama? Jangan-jangan, hilangnya pertanyaan itu justru adalah tanda marginalisasi terselubung yang justru makin tajam karena desakan keterbatasan sumber daya?
News
Menuntut Keadilan Lingkungan Antargenerasi Melalui Konstitusionalisme Iklim
Rezza P. Setiawan – 8 November 2023
Hak Asasi Manusia tidak hanya dimiliki oleh generasi manusia yang hidup di hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang. Salah satunya akses terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Istilah ‘konstitusionalisme iklim’ (Climate Constitutionalism) dibawa oleh Dr. Herlambang Perdana Wiratraman dalam diskusi pleno ketiga pada acara The 6th International Conference for Human Rights yang diadakan (26/10) di Fisipol UGM. Dalam presentasi berjudul “Climate Constitutionalism: A Search for Eco Social Justice in Indonesia’s Autocratic Legalism”, Dosen Hukum Tata Negara UGM ini menjabarkan konstitusionalisme iklim sebagai kerangka untuk memahami secara kritis hubungan tidak terpisahkan antara iklim dan hukum. Singkatnya, kerangka pikir ini menelisik apakah sistem hukum yang ada berpihak pada perusakan atau restorasi lingkungan. Konstitusionalisme iklim ini juga menjadi jembatan hukum untuk pemenuhan hak asasi manusia Indonesia, baik generasi saat ini maupun yang akan datang, atas lingkungan hidup. Lebih lanjut, Wiratraman juga menyoroti secara kritis narasi “politik hijau” yang ditawarkan kapitalisme global sebagai ancaman terhadap pemenuhan hak asasi antargenerasi.
Kontestasi Produksi Data di Dunia Pascakolonial
Rezza P. Setiawan – 2 November 2023
Di tahun 2003 terjadi baku rebut klaim pengetahuan atas fosil manusia yang dilabeli sebagai Homo Floresiensis antara peneliti di Indonesia dan peneliti dari Australia. Pihak peneliti Australia mengumumkan temuan fosil di Liang Bua itu sebagai hal menggemparkan, sedangkan pihak peneliti Indonesia mengatakan temuan tersebut hanyalah tulang Homo Sapiens yang disalahpahami. Di tengah sengkarut tersebut, sebuah artikel dari Paige Madison, ilmuwan di bidang evolusi manusia dari Institute of Human Origin, telah menengarai dinamika produksi pengetahuan prasejarah dalam konteks Indonesia yang bergandeng erat dengan kolonialisme dan rasisme. Singkatnya, data tidak pernah lepas dari kelindan politik dan perebutan kuasa.
Melawan Perdagangan Orang, Agama Bisa Apa?
Rezza P. Setiawan – 30 Oktober 2023
Realitas perbudakan nyatanya tidak pernah sungguh-sungguh kita tinggalkan. Pakaian, sepatu, laptop, ataupun gawai yang kita gunakan untuk membaca artikel ini boleh jadi hasil dari perbudakan yang tidak (ingin) kita sadari. Kerja paksa itu tidak hanya ada di zaman kolonial, tetapi juga di era milenial. Ia berganti rupa dalam bentuk perdagangan orang. Para sindikat perdagangan orang mencari korban di daerah asal dengan iming-iming gaji besar. Para korban kemudian dibawa ke negara lain dan diperkerjakan tanpa legalitas yang jelas. Akibatnya, mereka tidak bisa menuntut haknya sebagai manusia, apalagi sebagai pekerja. Tak jarang dari para korban itu pulang hanya tinggal nama dan jasadnya. Data BP2MI menunjukkan setidaknya ada 1.900 jenazah WNI yang dipulangkan sebagai korban Tindak Pindana Perdagangan Orang (TPPO).
Fellowship KBB 2023: Merajut Kolaborasi untuk Advokasi
Hanny Nadhirah – 30 Oktober 2023
“Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan adalah ilmu (dan upaya) yang tiada habisnya. Harapannya, teman-teman bisa terlibat dalam gerakan ini,” ungkap Asfinawati, advokat hak asasi manusia dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang menjadi fasilitator program Fellowship Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) 2023.
Sejak diinisiasi pada 2019, Fellowship KBB merupakan wadah bagi para dosen lintas studi untuk mengembangkan pengajaran dan penelitian mengenai KBB. Program kolaborasi CRCS UGM; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration, Universitas Jember; Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham); dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini melibatkan para akademisi dan praktisi sebagai fasilitator. Dalam fellowship ini para peserta mengeksplorasi berbagai dimensi isu KBB melalui beragam studi kasus di Indonesia secara lintas disiplin.
Sehari bersama Ari Gordon: Mengenal Yahudi dan Yudaisme
Vikry Reinaldo Paais – 25 Mei 2023
Apa itu Yahudi (Jewish), apa itu Yudaisme (Judaism), apa itu Israel? Masih banyak orang awam, bahkan akademisi, yang salah kaprah terhadap istilah-istilah tersebut. Yahudi cenderung diasosiasikan dengan sebuah agama sekaligus suku bangsa, bahkan negara dalam konteks modern. Secara terminologi, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Yahudi merujuk pada suku, etnis, atau kelompok masyarakat; sedangkan Yudaisme adalah nama agama yang dipeluk oleh mayoritas orang Yahudi. Sementara, Israel adalah nama negara di kawasan Timur Tengah yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 14 Mei 1949 dan memiliki penduduk dengan suku yang beragam (tidak hanya dari etnis Yahudi, tetapi juga Arab, Druze, hingga suku-suku dari Afrika) dan agama yang bermacam pula (Yudaisme 73,6%, Islam 18,1%, Kristen 1,9%, dll.).