Merayakan Imlek ala Gereja Katolik
Teresa Astrid Salsabila – 27 Maret 2024
“Selamat tahun baru. Gong xi fa cai. Mari kita rayakan. Gong xi fa cai.”
Bahana lagu paduan suara gereja memenuhi Gereja Santo Antonius Muntilan yang tengah berhias dengan pernak-pernik berwarna merah dan kuning. Anak-anak dan remaja berbaris mengular di lorong gereja, berharap mendapatkan angpao yang dibagikan oleh para Romo. Ya, hari ini (18/02) kami merayakan Imlek dengan mengadakan perayaan ekaristi di gereja.
Bagi Paroki Muntilan, ini bukan hal anyar karena mereka sudah menyelenggarakan Misa Imlek ini sejak 2004. Namun, ini memantik perhatian saya yang baru mempelajari ketionghoaan. Saya tidak menyangka ada misa khusus untuk memperingati Imlek. Banyak peranakan Tionghoa beranggapan bahwa keberadaan Misa Imlek ini menjadi simbol akomodasi gereja Katolik terhadap identitas ketionghoaan mereka. Namun, saya penasaran, benarkah demikian?
Imlek Milik Siapa?
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Nusantara, keberadaan Sincia atau Imlek menjadi hari penting untuk berkumpul dan bersyukur bersama keluarga. Sebagai masyarakat diaspora, tradisi dan ajaran ini terus dipelihara secara turun-temurun sebagai upaya untuk menjalin kembali identitas asal dan kekerabatan di tanah rantau. Secara harfiah, kata “imlek” (陰曆) merujuk pada penanggalan Tionghoa yang menggunakan fase bulan sebagai dasar perhitungannya dan tidak merujuk pada pada perayaan tahun baru. Sebutan yang lazim dalam tradisi Tionghoa untuk perayaan tahun baru ialah Sincia (新正). Namun, di Indonesia kata “imlek” lumrah dianggap sebagai nama dari tahun baru Tionghoa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga memasukkan makna “Imlek” sebagai tahun baru Tionghoa. Dalam tulisan ini, saya akan mengacu imlek dengan huruf kecil sebagai penanggalan dan Imlek menggunakan huruf “I” kapital jika merujuk pada perayaan tahun baru imlek.
Namun, dalam lintas sejarah di negeri ini, keberadaan Imlek tak lepas dari sengkarut politik. Didi Kwartanada (2010) mencatat bahwa semasa pendudukan Jepang, militer Jepang menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Kebijakan ini merupakan “hadiah” kepada masyarakat Tionghoa yang mendukung keberadaan Jepang di Indonesia. Selama Orde Baru, keberadaan perayaan Imlek praktis dilarang semenjak kemunculan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Perayaan Imlek pun terbatas di lingkup keluarga secara sembunyi-sembunyi atau bahkan dihindari. Imlek kembali dirayakan di ruang publik setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut kebijakan Instruksi Presiden tersebut. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah kembali menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Kendati demikian, tidak semua orang setuju dengan berbagai festival dan pesta pada saat Sincia. Pro dan kontra pun muncul di antara peranakan Tionghoa sendiri. Keberadaan Imlek masih melahirkan kontestasi dan klaim terkait statusnya sebagai festival budaya atau agama. Chang-Yau Hoon (2009) menjelaskan secara rinci posisi dilematis dan politis perayaan Imlek, terutama akibat pelarangan ekspresi publik tradisi dan adat Tionghoa pada masa Orde Baru. Hal ini menjadi semakin kompleks dengan kehadiran institusi agama Konghucu di Indonesia yang lebih terstruktur akibat dari hegemoni diskursus “agama” (simak sejarah lengkapnya pada disertasi Evi Lina Sutrisno, 2018). Para penganut Konghucu secara tegas menyatakan bahwa Imlek adalah perayaan agama mereka karena awal penanggalannya berdasarkan pada hari lahir Nabi Kongzi.
Menandingi wacana umat Khonghucu, keturunan etnis Tionghoa non-Konghucu beranggapan bahwa Sincia adalah perayaan kebudayaan yang melekat pada identitas etnis. Karenanya, mereka pun mengakomodasi Imlek dalam perayaan keagamaan yang mereka anut saat ini, salah satunya Misa Imlek. Eric Hobsbawm (2014) menyebut fenomena ini sebagai “invention of tradition”.
Sincia hingga Misa Imlek
Meski demikian, tidak semua umat Katolik keturunan Tionghoa ataupun Gereja Katolik di Indonesia punya pendapat yang sama terkait Misa Imlek. Sejarah menunjukkan bahwa Gereja Katolik di Indonesia memang tidak pernah memiliki satu kesepakatan tunggal dalam memandang tradisi Tionghoa. Karel Steenbrink (2007) secara spesifik menunjukkan pasang surut Gereja Katolik dalam mengakomodasi umat keturunan Tionghoa sejak zaman Hindia Belanda. Gereja Katolik tidak selalu setuju dengan penerimaan seluruh karakteristik Tionghoa, bahkan dalam beberapa waktu menolak secara eksplisit. Misalnya kasus penolakan oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ (Vikaris Apostolik Batavia) pada tahun 1914 terkait penggunaan hio dalam ibadah karena hal itu berhubungan dengan agama Tionghoa. Seorang umat Katolik keturunan Tionghoa bernama Jan Goey meminta Monsinyur Luypen mempertimbangkan kembali pelarangan tersebut. Goey akan menikah secara Katolik dan penggunaan hio merupakan caranya untuk menghormati leluhur. Namun, sang vikaris bersikukuh menolak.
Di samping atribut keagamaan, salah satu poin penting lain yang menjadi perdebatan ialah momen perayaan Sincia kerap bertepatan dengan masa Prapaskah. Kedua momen ini bertolak belakang secara esensial: Sincia merupakan perayaan penuh suka cita bersama keluarga, sementara masa Prapaskah merupakan masa pertobatan dan mati raga bagi umat Katolik untuk mengenang wafatnya Yesus Kristus. Hal tersebut menciptakan dilema bagi umat Katolik keturunan Tionghoa untuk memilih salah satu di antara kedua peringatan tersebut. Salah satunya harus “mengalah” dan biasanya Imlek yang lebih sering dikorbankan.
Merespons hal tersebut, Gereja Katolik di Indonesia punya cara yang berbeda. Pada tahun 2018 ketika Imlek jatuh pada Jumat masa Prapaskah, Mgr. Robertus Rubiyatmoko (Uskup Agung Semarang) melalui surat gembala dan menganjurkan umat Katolik keturunan Tionghoa untuk tetap berpantang. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, ia memberikan dispensasi untuk melakukan pantang keesokan hari. Namun, beberapa keuskupan tidak memasukkan pertimbangan tersebut ke dalam Surat Gembala Prapaskah mereka. Hal ini menyisakan dilema mendalam bagi umat Katolik keturunan Tionghoa yang ingin merayakan Imlek di masa Prapaskah.
Perdebatan tidak hanya berhenti di situ. Perayaan Imlek dengan Misa menjadi topik perbincangan yang cukup hangat. Pihak pendukung Misa Imlek merujuk pada Pedoman Umum Misale Roma (PUMR) Nomor 373 yang memungkinkan adanya misa dengan intensi khusus asalkan disetujui oleh masing-masing Keuskupan. Namun, para penolak beranggapan bahwa beberapa karakteristik Tionghoa memiliki dimensi spiritual yang tidak sejalan dengan iman Kristen. Terlepas dari perdebatan tersebut, perayaan misa Katolik memang kerap disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat. Pada paroki dengan mayoritas umat Katolik keturunan Tionghoa seperti di Glodok (Jakarta), Pontianak, dan Medan, keberadaan Misa Imlek sudah menjadi agenda rutin tahunan. Tidak mengherankan jika semua paroki memiliki sikap dan kebijakan berbeda terkait Misa Imlek.
Misa Imlek Sebatas Akomodasi?
Pada tahun 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan Imlek sebagai hari libur internasional dalam organisasi (UN Floating Holiday). Maksudnya, pada hari tersebut, PBB akan menjeda seluruh kegiatan dan meliburkan stafnya. Keputusan ini tidak hanya menjadi rekognisi identitas ketionghoaan secara lebih luas, tetapi juga menjadikan Imlek sebagai peringatan untuk masyarakat yang lebih luas, di luar sekat-sekat etnis hingga agama. Penetapan Sincia menjadi hari libur internasional oleh PBB juga menjadi salah satu poin dalam homili Misa Imlek di Muntilan yang dipimpin oleh Romo Paulus Agung Wijayanto, SJ.
Di sisi lain, universalitas Sincia sudah terlihat pada pelaksanaan Misa Imlek di Muntilan. Tidak sedikit umat Katolik beretnis Jawa yang hadir mengenakan pakaian berwarna merah, bahkan mengundang kerabat yang tidak beragama Katolik untuk hadir. Tak bisa dipungkiri, keberadaan angpao memang menjadi salah satu daya tarik dalam Misa Imlek. Namun, yang terpenting dari perayaan itu ialah Imlek akhirnya juga menjadi waktu untuk bersukacita bagi banyak orang terlepas dari suku, etnis, dan agamanya.
Selain ornamen berwarna merah khas Imlek, nuansa ketionghoaan semakin diperkuat dengan pembacaan Injil dua bahasa, yaitu bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Isi persembahan pun disesuaikan dengan sesaji untuk sembahyang, seperti buah-buahan, kue keranjang, hingga wajik. Misa Imlek di Muntilan tidak pernah absen menggunakan hio berjumlah tiga sebagai pengganti wiruk untuk menciptakan atmosfir liturgis. “Hio adalah cara kita untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan,” tegas Romo Paulus saat homili atau khutbah. Pernyataan tersebut membuat saya mulai bertanya, “Apakah Gereja Katolik Indonesia sudah benar-benar menerapkan inkulturasi terhadap ketionghoaan?” Jika inkulturasi tersebut sebatas penerapan karakteristik eksternal tanpa adanya dialog untuk menciptakan pemahaman internal antara gereja dan umat, praktik-praktik tersebut bisa dikatakan masih sebagai sebatas akomodasi atau adaptasi (simak tulisan Frans Wijsen [2022] mengenai adaptasi dan inkulturasi dalam Gereja Katolik).
Terlepas dari pro dan kontra perayaan Imlek dengan ekaristi, saya setuju dengan pernyataan Romo Agung dalam homili Misa Imlek ini.
“Merayakan Imlek adalah merayakan perayaan keluarga. Kita pada hari ini diajak berkumpul untuk sebagai keluarga Allah tanpa memandang latar belakang apa pun. Semuanya merayakan kegembiraan karena merasa kita semua adalah keluarga.”
______________________
Teresa Astrid Salsabila adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dokumentasi penulis.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.