• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Uncategorized
  • Mungkinkah Damai Tergapai di Palestina?

Mungkinkah Damai Tergapai di Palestina?

  • Uncategorized
  • 6 November 2018, 22.23
  • Oleh: Admin Jr
  • 0

Mungkinkah Damai Tergapai di Palestina?

Fikri Yudin – 6 Nov 2018

Pada 25 Oktober 2018 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menyelenggarakan seminar bertajuk Janji Perdamaian dan Masa Depan Palestina (The Peace Promise and the Future of Palestine) dengan menghadirkan Mohammed S. Dajani Daoudi, seorang aktivis perdamaian dan profesor dari Al-Quds University, Yerusalem, sebagai pembicaranya. Acara ini dimoderatori Dr. Achmad Munjid, dosen FIB yang pada semester ini mengajar mata kuliah World Religions di CRCS dan pada September lalu berbicara di Wednesday Forum CRCS-ICRS mengenai al-Aqsa.

Mengisahkan latar belakangnya, Prof. Dajani bercerita bahwa keluarganya harus mengungsi akibat perang Israel-Palestina yang tak kunjung henti, dan ia sendiri harus tumbuh di lingkungan yang kental dengan atmosfir permusuhan. Setelah Arab kalah dalam peperangan melawan Israel pada 1967, ia sempat bergabung dengan Gerakan Pembebasan Nasional Palestina atau Harakah at-Tahrir al-Wathaniy al-Filastiny (Fatah) yang pada waktu itu menjadi kanal gerakan perlawanan orang-orang Palestina. Ketika bergabung dengan Fatah, ia mendapatkan pelatihan militer dan mengadopsi pandangan bahwa satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan Palestina adalah melalui peperangan.

Pada 1975 ia memutuskan keluar dari Fatah karena melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Delapan belas tahun kemudian, ia kembali ke Yerusalam untuk menjenguk ayahnya yang terkena kanker dan harus dirawat di rumah sakit. Pada saat itu, ia menyaksikan sendiri perlakuan baik dari dokter-dokter Israel di rumah sakit terhadap ayahnya, yang seorang warga Palestina. Inilah peristiwa yang mulai mematahkan prasangkanya tentang orang-orang Israel. Pengalaman-pengalaman selanjutnya yang ia rasakan tentang hubungan masyarakat Yahudi dan Palestina menginspirasinya untuk merenungkan bahwa masih ada kemungkinan perdamaian antara Israel dan Palestina. Berangkat dari renungan inilah, ia menginisiasi gerakan Islam wasathiyyah untuk melawan kelompok ekstremis—meski ada sejumlah kelompok di Palestina yang menentangnya, karena akan melunakkan semangat perlawanan—dan mengupayakan perdamaian Israel-Palestina. Prof. Dajani sendiri optimis bahwa upayanya ini suatu hari akan berhasil.

Prof. Dajani mengungkapkan dalam seminar itu bahwa, ketika pertama tiba di Yerusalem pada era khalifah kedua, Umar ibn al-Khatthab, Islam datang tidak dengan niatan untuk menindas non-Muslim. Praduga uskup Yerusalem saat itu, St. Sophronius, akan terjadinya pembantaian dan penjarahan terhadap warga non-Muslim setelah ditaklukannya Yerusalem oleh kaum Muslim tidak terbukti. Ia sendiri malah kemudian menyerahkan kunci kota suci ini ke khalifah Umar–yang diceritakan datang sembari memandu unta yang ditunggangi hamba sahayanya sendiri—dan membawa sang khalifah ke tempat yang disebut-sebut merupakan tempat pijak Nabi Muhammad sebelum naik ke langit dalam peristiwa Isra’-Mi’raj. Di tempat inilah khalifah Umar lalu mendirikan masjid, yang dinamai Masjid al-Aqsha. Khalifah Umar lalu membuat sebuah pakta, yang dikenal dengan Al-‘Uhdah al-‘Umariyyah (Pakta Jaminan Umar), yang berisi jaminan terhadap penduduk Aelia (nama Yerusalem waktu itu) akan keselamatan jiwa dan keamanan harta benda mereka dan bahwa mereka tidak akan dipaksa masuk Islam dan tidak diganggu dalam pelaksanaan ibadah. Sejarah awal mula Islam di Yerusalem inilah di antara yang meyakinkan Prof. Dajani bahwa kemungkinan untuk damai itu ada di Isreal-Palestina.

Yang membuat rumit dan menjauhkan kemungkinan perdamaian Israel-Palestina ialah kontestasi politik di kawasan ini yang melibatkan aktor-aktor internasional, yang sudah terjadi sejak negara Isreal masih embrio. Prof. Dajani menceritakan bahwa, dalam sejarahnya, menyusul kongres Zionis pertama di Swis pada 1897, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 1917. Pada sekitaran masa ini, Inggris berbuat tiga hal: pertama, menjanjikan kemerdekaan bagi Arab Saudi dari kekuasaan Dinasti Utsmani; kedua, kesepakatan dengan Prancis, yang dikenal sebagai Kesepakatan Sykes-Picot, untuk membagi-bagi kawasan kekuasaan mereka (dengan Prancis mendapatkan Suriah dan Inggris memperoleh Irak, Yordania, dan Palestina); dan ketiga,  Deklarasi Balfour (berasal dari nama Menlu Inggris waktu itu, Arthur Balfour) yang berisi janji Inggris kepada warga Yahudi di diaspora (disampaikan kepada Lionel Walter Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi di Inggris) untuk mendirikan negara Israel di tanah Palestina. Sebagai kelanjutan dari Deklarasi ini, pada 1922-1948, Inggris memfasilitasi imigrasi orang-orang Yahudi dari Eropa ke Palestina. Akibat dari imigrasi ini, populasi Yahudi yang sebelumnya hanya 10 persen meningkat menjadi 27 persen dari total penduduk tanah Palestina. Hingga pada November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Rancangan Partisi (UN Partition Plan) untuk membagi kawasan Palestina dan menyatakan Yerusalem sebagai kota internasional di bawah otoritas PBB. Setahun setelahnya, pada Mei 1948, berdirinya negara Isreal dideklarasikan.

Sejak saat itu, perang demi perang telah berkobar antara komunitas Arab dan Isreal, dan banyak resolusi perdamaian yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB yang tidak dipatuhi. Setiap usai perang, lebih-lebih setelah Perang Enam Hari Arab-Isreal 1967, wilayah Isreal meluas, mengokupasi kawasan melebihi Rancangan Partisi PBB. Perang-perang itu tentu memakan banyak korban jiwa, dengan tak kurang dari 750.000 warga Palestina telah terusir dari tanah kelahiran mereka dan menjadi pengungsi.

Hingga kini, sebagian besar kawasan Palestina secara de facto di bawah kekuasan Isreal. Lobi Isreal yang kuat di level internasional, dengan sekutu utamanya adalah negara adidaya seperti Amerika Serikat yang memiliki pengaruh besar di (DK) PBB, membuat resolusi demi resolusi PBB tak mempan. Di sisi lain, fraksi-fraksi muncul dalam perpolitikan Palestina sendiri, terejawantah dalam rivalitas antara Fatah yang nasionalis dan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas) yang Islamis, dan tidak semua warga Palestina memercayai keduanya. Kontestasi politik yang rumit ini menjadi tantangan terbesar apakah kampanye Islam wasathiyyah yang diinisiasi Prof. Dajani akan berhasil dan, lebih dari itu, apakah perdamaian di Palestina mungkin digapai dalam waktu dekat.

___________

Fikri Yudin adalah mahasiswa CRCS angkatan 2018.

Tags: palestina

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju