Mungkinkah Damai Tergapai di Palestina?
Fikri Yudin – 6 Nov 2018
Pada 25 Oktober 2018 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menyelenggarakan seminar bertajuk Janji Perdamaian dan Masa Depan Palestina (The Peace Promise and the Future of Palestine) dengan menghadirkan Mohammed S. Dajani Daoudi, seorang aktivis perdamaian dan profesor dari Al-Quds University, Yerusalem, sebagai pembicaranya. Acara ini dimoderatori Dr. Achmad Munjid, dosen FIB yang pada semester ini mengajar mata kuliah World Religions di CRCS dan pada September lalu berbicara di Wednesday Forum CRCS-ICRS mengenai al-Aqsa.
Mengisahkan latar belakangnya, Prof. Dajani bercerita bahwa keluarganya harus mengungsi akibat perang Israel-Palestina yang tak kunjung henti, dan ia sendiri harus tumbuh di lingkungan yang kental dengan atmosfir permusuhan. Setelah Arab kalah dalam peperangan melawan Israel pada 1967, ia sempat bergabung dengan Gerakan Pembebasan Nasional Palestina atau Harakah at-Tahrir al-Wathaniy al-Filastiny (Fatah) yang pada waktu itu menjadi kanal gerakan perlawanan orang-orang Palestina. Ketika bergabung dengan Fatah, ia mendapatkan pelatihan militer dan mengadopsi pandangan bahwa satu-satunya cara untuk meraih kemerdekaan Palestina adalah melalui peperangan.
Pada 1975 ia memutuskan keluar dari Fatah karena melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Delapan belas tahun kemudian, ia kembali ke Yerusalam untuk menjenguk ayahnya yang terkena kanker dan harus dirawat di rumah sakit. Pada saat itu, ia menyaksikan sendiri perlakuan baik dari dokter-dokter Israel di rumah sakit terhadap ayahnya, yang seorang warga Palestina. Inilah peristiwa yang mulai mematahkan prasangkanya tentang orang-orang Israel. Pengalaman-pengalaman selanjutnya yang ia rasakan tentang hubungan masyarakat Yahudi dan Palestina menginspirasinya untuk merenungkan bahwa masih ada kemungkinan perdamaian antara Israel dan Palestina. Berangkat dari renungan inilah, ia menginisiasi gerakan Islam wasathiyyah untuk melawan kelompok ekstremis—meski ada sejumlah kelompok di Palestina yang menentangnya, karena akan melunakkan semangat perlawanan—dan mengupayakan perdamaian Israel-Palestina. Prof. Dajani sendiri optimis bahwa upayanya ini suatu hari akan berhasil.
Prof. Dajani mengungkapkan dalam seminar itu bahwa, ketika pertama tiba di Yerusalem pada era khalifah kedua, Umar ibn al-Khatthab, Islam datang tidak dengan niatan untuk menindas non-Muslim. Praduga uskup Yerusalem saat itu, St. Sophronius, akan terjadinya pembantaian dan penjarahan terhadap warga non-Muslim setelah ditaklukannya Yerusalem oleh kaum Muslim tidak terbukti. Ia sendiri malah kemudian menyerahkan kunci kota suci ini ke khalifah Umar–yang diceritakan datang sembari memandu unta yang ditunggangi hamba sahayanya sendiri—dan membawa sang khalifah ke tempat yang disebut-sebut merupakan tempat pijak Nabi Muhammad sebelum naik ke langit dalam peristiwa Isra’-Mi’raj. Di tempat inilah khalifah Umar lalu mendirikan masjid, yang dinamai Masjid al-Aqsha. Khalifah Umar lalu membuat sebuah pakta, yang dikenal dengan Al-‘Uhdah al-‘Umariyyah (Pakta Jaminan Umar), yang berisi jaminan terhadap penduduk Aelia (nama Yerusalem waktu itu) akan keselamatan jiwa dan keamanan harta benda mereka dan bahwa mereka tidak akan dipaksa masuk Islam dan tidak diganggu dalam pelaksanaan ibadah. Sejarah awal mula Islam di Yerusalem inilah di antara yang meyakinkan Prof. Dajani bahwa kemungkinan untuk damai itu ada di Isreal-Palestina.
Yang membuat rumit dan menjauhkan kemungkinan perdamaian Israel-Palestina ialah kontestasi politik di kawasan ini yang melibatkan aktor-aktor internasional, yang sudah terjadi sejak negara Isreal masih embrio. Prof. Dajani menceritakan bahwa, dalam sejarahnya, menyusul kongres Zionis pertama di Swis pada 1897, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 1917. Pada sekitaran masa ini, Inggris berbuat tiga hal: pertama, menjanjikan kemerdekaan bagi Arab Saudi dari kekuasaan Dinasti Utsmani; kedua, kesepakatan dengan Prancis, yang dikenal sebagai Kesepakatan Sykes-Picot, untuk membagi-bagi kawasan kekuasaan mereka (dengan Prancis mendapatkan Suriah dan Inggris memperoleh Irak, Yordania, dan Palestina); dan ketiga, Deklarasi Balfour (berasal dari nama Menlu Inggris waktu itu, Arthur Balfour) yang berisi janji Inggris kepada warga Yahudi di diaspora (disampaikan kepada Lionel Walter Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi di Inggris) untuk mendirikan negara Israel di tanah Palestina. Sebagai kelanjutan dari Deklarasi ini, pada 1922-1948, Inggris memfasilitasi imigrasi orang-orang Yahudi dari Eropa ke Palestina. Akibat dari imigrasi ini, populasi Yahudi yang sebelumnya hanya 10 persen meningkat menjadi 27 persen dari total penduduk tanah Palestina. Hingga pada November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Rancangan Partisi (UN Partition Plan) untuk membagi kawasan Palestina dan menyatakan Yerusalem sebagai kota internasional di bawah otoritas PBB. Setahun setelahnya, pada Mei 1948, berdirinya negara Isreal dideklarasikan.
Sejak saat itu, perang demi perang telah berkobar antara komunitas Arab dan Isreal, dan banyak resolusi perdamaian yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB yang tidak dipatuhi. Setiap usai perang, lebih-lebih setelah Perang Enam Hari Arab-Isreal 1967, wilayah Isreal meluas, mengokupasi kawasan melebihi Rancangan Partisi PBB. Perang-perang itu tentu memakan banyak korban jiwa, dengan tak kurang dari 750.000 warga Palestina telah terusir dari tanah kelahiran mereka dan menjadi pengungsi.
Hingga kini, sebagian besar kawasan Palestina secara de facto di bawah kekuasan Isreal. Lobi Isreal yang kuat di level internasional, dengan sekutu utamanya adalah negara adidaya seperti Amerika Serikat yang memiliki pengaruh besar di (DK) PBB, membuat resolusi demi resolusi PBB tak mempan. Di sisi lain, fraksi-fraksi muncul dalam perpolitikan Palestina sendiri, terejawantah dalam rivalitas antara Fatah yang nasionalis dan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas) yang Islamis, dan tidak semua warga Palestina memercayai keduanya. Kontestasi politik yang rumit ini menjadi tantangan terbesar apakah kampanye Islam wasathiyyah yang diinisiasi Prof. Dajani akan berhasil dan, lebih dari itu, apakah perdamaian di Palestina mungkin digapai dalam waktu dekat.
___________
Fikri Yudin adalah mahasiswa CRCS angkatan 2018.