Nahdlatul Ulama dan Jebakan Politik
Greg Fealy – 16 Agustus 2018
Dalam sekilas pandang, Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, tidak pernah berada dalam posisi sekuat sekarang ini. NU mencatatkan rekor jumlah kader terbanyak di kabinet dalam sejarahnya. NU berhubungan dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), memiliki akses istimewa ke dalam ruang-ruang kekuasaan, dan penerima sokongan yang besar dari negara—ini hal-hal yang meningkatkan jangkauan layanan dan kesempatan yang dapat NU berikan kepada jemaahnya yang besar. Rais Syuriah NU, Kiai Ma’ruf Amin, juga merupakan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). [Catatan: artikel ini ditulis sebelum Kiai Ma’ruf Amin dipilih sebagai calon wakil presiden—Red.] Sejumlah nahdliyyin senior lain menduduki jabatan strategis di birokrasi, badan usaha miliki negara, dan sektor korporasi. Kampanye NU untuk mempromosikan Islam yang “moderat” dan tertanam dalam budaya lokal (“Islam Nusantara”) mendapat dukungan pemerintah dan menarik perhatian internasional. Ringkasnya, status NU sebagai organisasi Islam terkemuka di Indonesia tampak tak pernah sekokoh kini.
Namun, dengan pengamatan yang lebih mendalam, tampak bahwa posisi NU lebih rentan dan masa depannya lebih tidak pasti dibanding kepercayaan dirinya yang besar. Hingga taraf tertentu, masalah NU memang mencerminkan sejumlah tantangan yang dihadapi masyarakat sipil pada umumnya. Di antara tantangan itu ialah pandangan konservatif yang kian berpengaruh di akar rumput, bahaya keterlibatan organisasi sipil dengan partai politik, dan batas-batas yang semakin kabur antara negara dan masyarakat sipil—masyarakat sipil berebut sumber daya dari negara sementara pemerintah berupaya mengooptasi organisasi sipil seperti NU untuk melancarkan agendanya.
Menikmati capaian
Para pemimpin NU suka mengatakan bahwa organisasi mereka belum pernah mendapatkan posisi di lingkup nasional setinggi sekarang ini. Mereka menyatakan status NU sebagai organisasi masyarakat sipil terbesar di Indonesia hingga kini, dengan keanggotaan yang diklaim sebesar 40-45 juta (lebih dari dua kali lipat jumlah keanggotaan organisasi terbesar kedua, Muhammadiyah), bahkan mereka mengutip data survei yang menyatakan bahwa kira-kira sebanyak 100 juta orang Indonesia memiliki “afiliasi kultural-religius” dengan NU, yang berarti bahwa NU memiliki potensi pengaruh yang amat besar. Mereka juga merujuk pada jumlah nahdliyyin dalam kabinet Jokowi—saat ini ada tujuh—yang melampaui rekor sebelumnya, yakni enam orang dalam Kabinet 100 Menteri era Soekarno pada awal 1960-an. Ratusan anggota NU menduduki jabatan eksekutif tinggi di pemerintahan daerah, badan usaha milik negara di seantero Indonesia, dan di sektor korporasi. Salah seorang anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pernah bilang, “Jika NU menghadapi masalah, kami tinggal menghubungi kader nahdliyin yang menduduki jabatan penting dan mereka akan mengatasinya.”
Jokowi lebih cenderung merapat ke NU, terutama sejak mobilisasi Islamis besar-besaran melawan sekutu politiknya dulu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), gubernur Jakarta saat itu, pada 2016-2017. Guna menopang dukungan terhadapnya dari komunitas Muslim dan membentengi diri dari kemungkinan serangan Islamis yang mempertanyakan keimanannya, Jokowi tekun memberdayakan NU. Ia kini kerap menghadiri acara-acara NU dan menunjukkan rasa hormat kepada para kiai senior. Ia juga memberikan akses istimewa ke istana bagi para pemimpin senior NU. Contoh utama dalam hal ini ialah Kiai Ma’ruf Amin, yang turut melegitimasi gerakan protes anti-Ahok pada akhir 2016 dan pernah dipandang sebagai orang yang paling tidak simpatik terhadap Presiden. Selama setahun terakhir, Jokowi melancarkan rayuan terhadai Kiai Ma’ruf, melibatkannya dalam acara-acara penting, melimpahi pujian kepadanya, dan menampilkan kesan bahwa sang kiai kini adalah seorang penasihat agama yang terpercaya. Akhirnya, Kiai Ma’ruf berubah dari antagonis menjadi sekutu presiden dan beberapa kali bertindak menepis masalah-masalah yang telah menyulitkan Jokowi.
Selain itu, Jokowi memastikan adanya tambahan aliran sumber daya negara ke NU sebagai bagian dari usahanya untuk mengunci dukungan dari organisasi ini. Setelah kekalahan Ahok, Jokowi mengunjungi PBNU sembari mencari tahu mengapa NU tidak begitu suportif terhadap Ahok, terutama mengingat jumlah nahdliyyin di kabinet. Ketua PBNU Kiai Said Aqil Siroj dan anggota PBNU lainnya blak-blakan mengatakan kepada Presiden bahwa meski ada anggota-anggota NU di kabinet, NU sendiri hanya menerima sedikit manfaat langsung dari pemerintahan Jokowi dan banyak program sosial ekonomi organisasi ini menderita kekurangan dana.
Maka dari itu, Jokowi mengarahkan para menterinya untuk bekerja dengan NU dalam merancang program-program kredibel yang dapat mencerminkan bentuk dukungan pemerintah. Dia juga mendorong NU untuk menerima tanah negara sebagai bagian dari program redistribusi tanah serta akses ke skema kredit mikro yang dijalankan melalui pesantren, yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Meski manfaat langsung ke NU dari program-program ini masih kecil, NU melihat potensi imbalan besar dari inisiatif Jokowi.
Terakhir, Jokowi menerima gagasan NU tentang Islam Nusantara. Istilah ini telah beredar selama beberapa dekade dan dipopulerkan oleh para akademisi seperti Azyumardi Azra pada 1980-an. Namun, sejak lima tahun terakhir, NU menggunakan istilah itu jauh lebih fokus dan spesifik dan memaknainya sebagai satu bentuk Islamisasi yang sensitif budaya serta menolak secara eksplisit apa yang dipandangnya sebagai bentuk Arabisasi Islam, seperti Salafisme dan Islamisme ala al-Ikhwan al-Muslimun. Pada muktamar 2015, NU mengadopsi Islam Nusantara sebagai pilar konseptual, baik domestik maupun internasional—satu langkah yang sangat didukung oleh Presiden. Jokowi menggunakan forum global untuk mempromosikan Islam Nusantara sebagai template keberagamaan yang moderat dan penangkal radikalisme. Badan-badan antiterorisme dan Kementerian Luar Negeri sejak itu memasukkan aspek-aspek Islam Nusantara ke dalam program-program mereka, satu hal yang membuat para pemimpin NU kemudian mengklaim bahwa pemahaman Islam mereka kini telah tertanam dalam doktrin resmi negara.
Dalam perannya tersendiri, NU telah secara langsung melayani kepentingan politik Jokowi. Ketika Jokowi berupaya menindak keras kelompok Islamis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada awal 2017, kelompok pemuda NU mulai berhadapan dengan aktivis HTI di jalanan, kadang-kadang berujung pada bentrokan, sembari menyerukan kepada pemerintah untuk membubarkan HTI karena menyebarkan doktrin yang “memecah belah” dan “menghasut”. Pada Juni 2017, pemerintah akhirnya menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang, dengan menyebutkan alasan antara lain adanya kerusuhan sosial yang kian mengiringi aktivitas publik HTI. NU menyambut baik pelarangan HTI itu dan membenarkan alasan-alasan pemerintah. Sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa berbagai pemimpin NU telah bekerja sama dengan istana untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan pemerintah untuk bertindak melawan HTI. Pelarangan HTI berfungsi sebagai peringatan bagi kelompok Islam lainnya bahwa Jokowi bisa mengambil tindakan keras terhadap mereka.
PKB-isasi NU
NU selalu mengalami ketegangan antara perannya sebagai organisasi sipil dan potensinya sebagai basis gerakan politik. Ketegangan semacam ini tampak paling nyata dalam perdebatan tentang hubungan NU dengan partai-partai politik, khususnya partai-partai yang mengklaim punya hubungan dengannya. Pada puncak rezim Orde Baru tahun 1980-an, NU mengadopsi kebijakan untuk menghindari keterlibatan langsung dalam politik, dengan maksud mengembalikan organisasi ini ke spirit khittah pendiriannya pada 1926. Piagam ini melarang anggota memegang posisi eksekutif di NU dan partai politik secara bersamaan serta mencegah NU mengarahkan para anggotanya untuk mendukung partai politik tertentu. Setelah Orde Baru berakhir pada 1998, PBNU memfasilitasi pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai berbasis nahdliyyin oleh ketuanya saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)—meski tetap berhati-hati untuk menghindari dukungan terbuka terhadap PKB.
Meski ada keharusan untuk netral secara politik, kepemimpinan NU pada praktiknya mengambil pendekatan yang fleksibel di era pasca-Soeharto, dengan seringkali menunjukkan kejelasan preferensi terhadap PKB dibanding partai-partai lain—khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang telah didominasi oleh nahdliyyin sejak 1999. Pencapaian elektoral PKB bergantung pada hubungan baik yang dijalinnya dengan NU. Ketika NU diam-diam mendukung PKB dalam pemilu 1999 dan 2004, partai ini meraih suara lebih banyak (12,6% dan 10,6% masing-masing) dibanding partai-partai Islam lain; ketika hubungan itu membeku, seperti pada 2009, suara PKB turun di bawah 5%.
NU dan PKB terikat semakin erat pada 2014, yang secara umum merupakan hasil dari kecerdikan strategi ketua partai, Muhaimin Iskandar. Menjelang pemilu tahun itu, Muhaimin khawatir PKB berisiko tidak memenuhi ambang 3,5% yang diperlukan untuk mendapatkan perwakilan di parlemen, dan lalu ia merancang strategi dua-bagian untuk meraih kembali dukungan bulat NU. Bagian pertama dari strategi ini adalah mengikatkan partai ke NU dengan menyalurkan dana dan aset. Semua sayap legislatif PKB di tingkat nasional dan regional diinstruksikan untuk memberikan iuran bulanan kepada NU untuk tujuan administratif, yang diambil dari pungutan semua legislator PKB. Para politisi PKB lebih jauh menggunakan posisi mereka di legislatif untuk mengamankan dana bagi program sosial keagamaan NU. PKB juga menjamin bahwa jika partai bubar, semua asetnya akan ditransfer ke NU.
Bagian kedua strategi Muhaimin berkisar dalam mendapatkan patronase dari seorang pengusaha kaya yang dapat mendanai program-program terkait pemilu di komunitas NU di daerah jantung pemilihan PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan bantuan seorang pialang politik senior, Muhaimin membujuk Rusdi Kirana, pemilik Lion Air yang Kristiani-Tionghoa, untuk bergabung dengan partai dan menjadi wakil ketua. Rusdi kemudian menyediakan dana yang cukup besar guna menjangkau para kiai lokal di daerah-daera pemilihan kunci serta mendanai program kewirausahaan para pengusaha muda NU. Kedua strategi ini terbukti sangat berhasil. Dalam kampanye pemilihan, baik Kiai Said Aqil maupun Kiai Ma’ruf Amin memberikan dukungan simbolis kepada PKB dan banyak kiai NU secara terbuka mendukung PKB. PKB meraih 9% pada pemilihan, menjadikannya sekali lagi partai Islam dengan peringkat tertinggi.
Muktamar NU 2015 di Jombang, Jawa Timur, semakin mempererat hubungan antara NU dan PKB. Muhaimin, bersama saudaranya yang menjadi ketua PKB provinsi, Halim Iskandar, serta wakil gubernur Jawa Timur saat itu, Saifullah Yusuf, berpengaruh besar dalam pelaksanaan muktamar dan memastikan bahwa Kiai Said dan Kiai Ma’ruf—keduanya dianggap menguntungkan PKB—akan mengisi dua posisi paling senior selama lima tahun ke depan. Kiai Ma’ruf adalah mantan politisi PKB dan putrinya adalah mantan kandidat legislatif PKB. Kiai Said muncul dalam materi kampanye PKB pada 2014 dan putrinya menikah dengan saudara dari anggota parlemen dari PKB Helmy Faishal Zaini.
Komposisi PBNU di kemudian hari membuat terang penetrasi PKB dalam kepemimpinan NU. Helmy diangkat ke posisi administratif penting, sebagai sekretaris jenderal. Sekretaris Syuriah, Kiai Yahya Staquf, memiliki seorang putri yang menjadi legislator PKB. Saifullah Yusuf, yang prospek kegubernurannya sangat bergantung pada PKB, menjabat ketua di PBNU, dan masih banyak tokoh NU lain yang memiliki hubungan politik atau keluarga dengan PKB. Perkawinan antarkeluarga elit NU adalah hal yang biasa, tetapi ikatan kekerabatan antara para pemimpin tertinggi NU dan PKB saat ini telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Banyak politisi non-PKB dan kiai-kiai apolitis yang berpendapat bahwa NU kini menjadi organisasi partisan dan nasib NU terlalu erat terikat dengan PKB sehingga melanggar prinsip bahwa NU harus mewakili dan melayani semua anggotanya secara setara tanpa memandang afiliasi politik. Ada yang benar dalam dakwaan ini, tetapi NU sebenarnya tetap punya daya tawar efektif dengan pemerintah nasional dan daerah selama beberapa tahun terakhir untuk mengamankan konsesi demi kepentingan NU sendiri tanpa manfaat langsung ke PKB.
Tantangan masa depan?
Kendati NU meraih kesuksesan belakangan ini, banyak orang dalam organisasi ini yang khawatir dengan dampak pergeseran preferensi religius-kultural dan perubahan struktural dalam pendidikan Indonesia. Pondasi NU adalah ribuan pesantren dan para kiai yang memimpinnya. Kaum kiai secara tradisional merupakan pemimpin agama, sosial, dan politik yang dihormati komunitas mereka, dengan kiai terkemuka biasanya memegang status tinggi dalam urusan nasional. Peran pesantren vital dalam membentuk kehidupan spiritual dan sikap sosial jutaan Muslim, khususnya melalui transmisi pemahaman tradisionalis tentang Islam.
Tetapi peran para kiai dan pesantren kini berubah cepat. Banyak bukti menunjukkan bahwa para kiai kini tak banyak berpengaruh terhadap perilaku elektoral para pengikut mereka. Mereka juga mendapat para pesaing yang terus bermunculan dari kelompok baru para pemimpin agama yang mahir memanfaatkan media dengan metode yang mampu menarik khalayak yang lebih luas, terutama di daerah perkotaan. Banyak Muslim makin cenderung mencari bimbingan rohani dari seorang penceramah televisi atau situs web interaktif dibanding dari para kiai yang terpelajar tetapi kurang mudah diakses.
Pesantren juga berada dalam tekanan besar. Turunnya pendapatan yang dihasilkan sendiri dan adanya tuntutan akses agar para santri dapat melanjutkan ke universitas negeri telah menyebabkan kian banyaknya pendidikan pesantren diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional, satu hal yang membuat metode pengajaran pesantren makin seragam dan pola pengajaran khas yang memengaruhi para santri lawas kini hilang. Singkatnya, dunia kesarjaanan dan lembaga pendidikan NU boleh jadi akan menyusut dalam dekade mendatang sebab banyak Muslim lebih memilih metode lain dalam mempelajari dan mengekspresikan iman mereka.
Banyak intelektual NU juga khawatir dengan kemampuan NU untuk terus menghidupkan nilai-nilai progresif yang telah menjadi ciri khasnya sejak awal 1980-an. Banyak cendekiawan berpikiran liberal yang pernah mendominasi wacana NU telah meninggal atau terpinggirkan. Kiai Said, seorang pendukung pluralisme agama yang konsisten dan artikulatif, harus mundur pada akhir masa jabatannya saat ini sebagai Ketua Umum PBNU pada 2020, dan belum ada kejelasan kandidat yang memiliki tingkat intelektualitas dan profil nasional setaraf dirinya untuk menggantikannya.
Terlebih lagi, konservatisme kini meningkat di banyak elemen komunitas NU dan, bersamaan dengan ini, dukungan terhadap aktivisme Islamis juga meningkat. Sentimen sektarian anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah sangat kuat di sejumlah komunitas NU di Jawa Timur dan Jawa Barat, dan PBNU merasa malu dengan sejumlah besar nahdliyyin yang bergabung dalam unjuk rasa anti-Ahok,—yang tidak mengindahkan seruan PBNU untuk tidak mengikuti aksi itu. Para pemimpin NU bimbang dalam merespons aktivisme Islamis populer, karena tak ingin ketidakmampuan mereka dalam membujuk jemaah agar mengikuti pandangan tertentu tersingkap di muka umum, seperti yang terjadi sepanjang pemilu Jakarta.
Terakhir, fluktuasi politik juga dapat merugikan NU. Meski Jokowi tampak baik-baik saja untuk dipilih kembali, kemungkinan kemenangan kandidat rival Prabowo Subianto yang kurang menguntungkan NU tidak dapat dikesampingkan. Dalam keadaan seperti itu, kedekatan NU dengan PKB dan Jokowi akan membatasi peluang manuvernya dalam pemerintahan yang baru.
Namun demikian, tak satu pun dari tantangan ini akan secara dramatis mengurangi kemampuan NU sebagai kekuatan besar dalam kehidupan publik Indonesia selama beberapa dekade ke depan, hanya saja watak dan signifikansi dari kontribusinya dapat berubah. Semua organisasi Islam besar menghadapi ancaman dari budaya keagaaman yang semakin individual dan didorong oleh pasar, serta dari lingkungan pendidikan yang kian dikontrol negara. Memperkuat sentimen konservatif juga akan memengaruhi sifat kepemimpinan dan doktrin NU di masa depan. Mungkin saja, perubahan preferensi publik dan konteks politik akan membuat organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini lebih cenderung mengikuti, alih-alih memprakarsai, arah diskursus nasional.
_______________________________
Greg Fealy adalah Associate Professor pada Department of Political and Social Change, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Azis Anwar dari “Nahdlatul Ulama dan the politics trap” yang dimuat di New Mandala pada 11 Juli 2018 dalam seri laporan khusus terkait krisis demokrasi di Asia Tenggara yang didukung oleh Yayasan Tifa. Penerjemahan dan penerbitan di CRCS atas seizin penulis dan penerbit. Gambar header dari NU Online.