Nalar Apokaliptik di Balik Aksi Bom Bunuh Diri
M. Iqbal Ahnaf – 16 Mei 2018
Rentetan serangan teror dan aksi bom bunuh diri di Depok dan Surabaya yang terjadi sepekan terakhir ini telah membalik dugaan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa teroris di Indonesia tinggal menyisakan anak-anak muda kurang terlatih yang hanya bisa membuat serangan dalam skala kecil.
Serangan di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob, Depok, pada 9 Mei itu bermula dari aksi merebut senjata aparat untuk mereka gunakan dalam membunuh lima personel kepolisian. Serangan itu seakan membunyikan terompet perang kepada para anggota kelompok jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) di Indonesia, Jamaah Anshorud Daulah (JAD), yang berada di luar penjara untuk meneruskan agresi seraya memberi “pelajaran” bahwa bahkan di dalam rumah tahanan pun mereka bisa menghantam musuh dengan keras. Beberapa hari setelahnya, pada 13 Mei, tiga gereja di Surabaya menjadi target aksi yang belum ada presedennya dalam sejarah Indonesia: bom bunuh diri oleh enam orang sekeluarga, yang terdiri dari ayah (usia 46), ibu (42), dua anak laki-laki (18 & 16), dan dua anak perempuan (12 & 9).
Ada banyak pertanyaan tentang aksi terorisme ini, mulai dari kenapa para teroris mengamuk setelah sekian lama “diam” hingga perdebatan soal kemampuan deteksi aparat keamanan dan intelijen. Yang paling membuat publik tercengang adalah kenyataan bahwa aksi bom bunuh diri di Surabaya dilakukan oleh sekeluarga. Bagaimana bisa orang tua tega melilitkan sabuk bom di tubuh anak-anak mereka yang masih belia untuk bersama-sama bunuh diri? Nalar kekerasan apa yang ada di kepala para “penjemput kematian” ini?
Logika Kekerasan Apokaliptik
Pengikutsertaan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri ini menunjukkan level baru kekejian para teroris. Namun aksi keji demikian bukanlah hal baru bagi mereka yang mempunyai nalar apokaliptik, bahkan bisa jadi lebih keji.
Apokaliptisisme (apocalypticism) adalah keyakinan, atau lebih tepatnya imajinasi eskatologis, yang melihat bahwa dunia sedang dalam kondisi rusak parah dan dikendalikan para musuh Tuhan sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi diperbaiki kecuali dengan cara yang luar biasa. Imajinasi ini sering berkait dengan keyakinan tentang hari akhir ketika perang antara kekuatan Tuhan dan kekuatan Setan mencapai puncaknya. Orang-orang yang mengadopsi nalar apokaliptik meyakini bahwa mereka adalah bagian dari pasukan Tuhan yang akan mengalahkan kekuatan Setan sebagai prakondisi datangnya hari akhir.
Imajinasi apokaliptik melahirkan nalar yang melihat kekerasan bukan sebagai tindakan agresi, melainkan sebagai aksi penyelamatan (salvation) dan penebusan dosa (redemption). Kematian dilihat sebagai pintu gerbang bagi kehidupan baru yang bebas dari dunia yang penuh dengan polusi kejahatan. Pemimpin apokaliptik biasanya menanamkan keyakinan bahwa mereka adalah kelompok terpilih, semacam pembela terakhir keyakinan yang benar di saat yang lain menyimpang dan larut dalam arus kerusakan. Di kalangan jaringan ekstremis Muslim, mereka pada umumnya mengklaim diri sebagai ghuraba, orang-orang yang dianggap aneh atau asing sebagaimana Nabi Muhammad dianggap aneh pada masa-masa awal mengajarkan Islam.
Kaum apokaliptik menciptakan kerusakan sebagai cara untuk menyelamatkan sebagaimana ditunjukkan Robert Jay Lifton dalam bukunya Destroying the World to Save It (2000). Merujuk pada kata-kata yang digunakan oleh tokoh apokaliptik Jepang, Asahara Shoko, pemimpin Aum Shinrikyo, kelompok yang sejumlah anggotanya terlibat dalam serangan gas beracun kereta bawah tanah Tokyo pada 1995, serangan teror itu bertujuan “untuk menyelamatkan lebih banyak orang dengan terlebih dulu menghancurkannya.”
Banyak tragedi lain menunjukkan nalar serupa. Salah satunya adalah kekejian Pendeta Jim Jones, seorang pemimpin gereja di San Fransisco, Amerika Serikat, pada 1970-an. Awalnya ia adalah pendeta yang cukup progresif dalam mengusung pesan-pesan antirasisme. Namun ia kemudian dituduh terlibat dalam skandal kekerasan seksual dan penyalahgunaan keuangan yang membuatnya semakin tertekan. Merasa bahwa negaranya tidak bisa lagi menjadi tempat yang aman, ia kemudian mengajak jemaahnya untuk migrasi ke sebuah hutan di Guyana, negara di Amerika Selatan. Di sana ia membangun sebuah perkampungan eksklusif bernama Jonestown tempat ia menjanjikan sebuah masyarakat yang ideal. Tetapi alih-alih terwujud, masyarakat utopis ini malah tertimpa banyak masalah dan menjadi sasaran penyelidikan aparat. Jim Jones ahirnya mengajak 918 pengikutnya (304 darinya masih anak-anak) untuk menempuh pilihan terakhir yang ia sebut sebagai “tindakan revolusioner”: bunuh diri massal dengan cara minum racun sianida yang ia percaya akan membawa mereka ke gerbang keselamatan. Para pelaku aksi teror bom bunuh diri membingkai “tindakan revolusioner” mereka dengan istilah “’amaliyyah al-istisyhad”, aksi menjadi martir.
Karena sudah meninggal, kita tidak bisa tahu pasti nalar jenis apa yang ada di kepala Dita Oepriarto, kepala keluarga yang mengajak istri dan anak-anaknya dalam aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Tetapi seperti dinyatakan Kapolri, ia aktif di JAD, bahkan diduga kuat adalah ketua JAD cabang Surabaya. Dan nalar apokaliptik cukup sentral perannya dalam ideologi ISIS. (baca, misalnya, buku William McCants, The ISIS Apocalypse: The History, Strategy, and Doomsday Vision of the Islamic State (2016). Mereka mengklaim sebagai pasukan terpilih (thaifah mansurah) yang membawa bendera panji hitam untuk mengawal kedatangan Imam Mahdi yang akan memimpin kemenangan umat Islam dalam pertempuran puncak (al-malhamah al-kubra) menjelang akhir zaman sebagaimana diramalkan teks-teks klasik.
Aksi bom bunuh diri memang tidak selalu dilandasi nalar apokaliptik. Banyak kasus kriminal orang tua membunuh anaknya dengan motif-motif yang tak terkait agama. Tetapi nalar apokaliptik mempunyai daya bunuh yang cakupannya lebih besar. Demi terwujudnya masyarakat-ideal yang dibayangkan orang-orang apokaliptik ini, korban warga sipil tidak berdosa hanya dilihat sebagai collateral damage, konsekuensi kecil yang “dimaklumi” demi agenda yang dipercaya lebih penting.
Narasi “Perang Kosmik”
Apa yang membawa orang pada nalar apokaliptik itu? Ada banyak faktor yang bisa berperan. Tetapi jika seseorang terus-menerus menerima narasi totalistik yang melihat berbagai masalah kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari kejahatan kekuatan antiagama yang bersifat sistemik dan permanen, ia rentan terperosok ke dalam nalar apokaliptik.
Pakar terorisme Mark Jurgensmeyer dalam buku terkenalnya Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2000), menyebut peran penting imajinasi “perang kosmik” (cosmic war) dalam mengeskalasi konflik-konflik yang bersifat temporal-kekinian (“duniawi”) menjadi konflik yang bersifat eskatologis: perang pasukan Tuhan versus pasukan Setan. Berdasarkan wawancaranya dengan para ideolog terorisme dari berbagai agama, ia menyimpulkan bahwa salah satu aspek penting dari kemampuan mereka merekrut para “pejuang” yang siap mati adalah retorika yang menghubungkan antara isu-isu temporal seperti kemiskinan dan diskriminasi dengan imajinasi tentang perang-perang besar yang dinarasikan dalam teks-teks keagamaan. Imajinasi perang kosmik membuat para pemercayanya tidak lagi bisa diajak kompromi karena mereka telah menaikkan level krisis ke tingkat eksistensial, menyangkut makna hidup-mati dan keberlangsungan keyakinan/kelompok mereka.
Narasi perang kosmik yang diterima secara terus menerus bisa menciptakan proses normalisasi dan pemakluman atas kekerasan. Kekejaman yang mengerikan, menurut filsuf Hannah Arendt yang terkenal dengan gagasannya mengenai “the banality of evil”, tidaklah dilakukan oleh orang-orang gila dan maniak, tapi justru oleh orang-orang normal yang telah mengalami proses pembiasaan dengan kekerasan, yang membuat mereka tidak lagi melihat sisi “manusia” dalam orang-orang yang dibunuhnya.
Salah satu anak Anton Ferdiantono, pemilik bom yang meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, menceritakan bahwa ia kerap diminta oleh orang tuanya untuk menonton video tentang perang dan latihan merakit bom. Untuk memastikan proses normalisasi kekerasan tertanam, Anton membatasi komunikasi anak-anaknya dengan dunia luar dengan tidak mengizinkan mereka sekolah. Proses normalisasi demikian juga memudahkan para pelaku teroris untuk meyakinkan anggota keluarga mereka, termasuk anak-anak, untuk melihat kematian sebagai martir sebagai sesuatu yang indah.
Proses normalisasi tentu tidak terbatas pada ruang-ruang tertutup di dalam rumah sebagaimana dilakukan Anton, tetapi bisa juga melalui narasi-narasi perang kosmik yang tersebar di ruang publik. Dalam konteks ini, kita patut khawatir dengan kecenderungan sebagian aktor politik yang menggunakan retorika perang kosmik untuk melawan rival politiknya. Retorika demikian berbahaya karena kekalahan dalam kompetisi politik yang bersifat temporal-duniawi dipahami sebagai kekalahan eksistensial-eskatologis.
Lalu Bagaimana?
Rangkaian teror di kota-kota besar di Jawa ini akan menempatkan pendekatan keamanan semakin sentral dalam agenda kontraterorisme. Rencana pengesahan UU Terorisme yang baru akan memberikan wewenang yang lebih besar kepada polisi, termasuk dengan melibatkan militer, dalam menangkap terduga teroris. Tanpa memungkiri bahwa pendekatan keamanan adalah hal yang penting, kita harus mencatat bahwa represi yang berlebihan malah bisa berpotensi memperkuat nalar apokaliptik, atau dengan kata lain, alih-alih membasmi, ia secara tak langsung malah memupuknya.
Di samping itu, penyebaran narasi perang kosmik adalah salah satu faktor dalam reproduksi terorisme yang tidak bisa ditangani dengan pendekatan keamanan. Sebagaimana pernah saya tuangkan dalam tulisan lain yang membahas tentang “perang posisi”, yakni perang memperebutkan wacana dan pengaruh guna menancapkan hegemoni di kalangan khalayak umum, kita memerlukan pendekatan alternatif lewat “politik ruang” untuk mencegah persebaran pesan-pesan yang menggunakan narasi perang kosmik dan nalar apokaliptik di ruang publik.[]
______________
Gambar header: Sejumlah sepeda motor terbakar sesaat setelah terjadi ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). ANTARA FOTO/Andy Pinaria.