
Saya telah lama mengenal nama besar mendiang Suprapto Suryodarmo, berkat hubungan antarseniman lintas disiplin yang cukup erat, khususnya di lingkungan Wisma Seni Taman Budaya, Kota Solo, Jawa Tengah. Lingkungan ini sarat dengan kehangatan dan rasa kekeluargaan. Saya bertemu dan mengenal Mbah Prapto melalui berbagai acara kesenian yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Tengah, Padepokan Lemah Putih, maupun kegiatan yang diselenggarakan oleh para seniman di berbagai komunitas kesenian di Solo.
Kedekatan yang terjalin diantara para seniman membuat saya, seorang aktor teater dan film, memiliki kesempatan untuk mengenal Mbah Prapto lebih dekat. Namun, ketika pertama kali melihat beliau berlatih bersama para muridnya, saya belum tertarik untuk terlibat. Saat itu, saya hanya membatin, “Ini orang-orang sedang ngapain sih?” Seiring waktu berlalu, saya mulai tertarik untuk mengamati dan belajar.
Ketertarikan awal saya terhadap latihan bersama Mbah Prapto muncul karena saya juga sedang mendalami meditasi. Saya melihat adanya kesamaan antara latihan yang dilakukan Mbah Prapto dengan praktik meditasi. Karena itu, saya pun mulai mencari kesempatan untuk ikut berlatih bersama beliau dan murid-muridnya. Sekitar tahun 2016, Mbah Prapto mengajak saya bergabung. Bersama dengan murid-muridnya yang berasal dari berbagai negara, kami berlatih di beberapa tempat seperti Pendopo Wisma Seni, Candi Borobudur, Candi Ratu Boko, Candi Sukuh, dan Pantai Parangtritis. Jadi, dapat dikatakan bahwa saya merupakan salah satu yang paling belakangan mengikuti latihan Amerta bersama mendiang Mbah Prapto, dan belum terlalu lama mengenal praktik ini.
Meski demikian, saya memperoleh banyak pembelajaran dari pengalaman tersebut—khususnya mengenai kesadaran diri manusia dalam hubungannya dengan makhluk hidup lain dan alam semesta. Amerta Movement menyadarkan saya tentang realita saat ini; bahwa saya ada, bernapas, dan hidup. Kesadaran mendasar ini menunjukkan kepada saya nilai penting dari Amerta Movement, yakni memaknai kehidupan. Nilai ini mengajak saya untuk melihat dan menyadari lebih dalam tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup secara lebih bermakna—bukan hanya untuk diri sendiri dan sesama manusia, tetapi juga bagi makhluk hidup lain.
Almarhum Mbah Prapto tidak membatasi cara para murid dalam mempelajari atau mempraktikkan Amerta Movement. Ia hanya memberikan petunjuk bagi para muridnya untuk menyadari bunyi dan suara dalam kehidupan sehari-hari, menyapa tubuh, serta menyadari dan berinteraksi dengan alam sekitar. Gerakan yang dilakukan pun bergantung pada pengalaman dan tingkat kesadaran masing-masing peserta. Pendekatan ini membuat Amerta Movement dapat diikuti oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, tidak terbatas pada mereka yang bergelut di dunia seni pertunjukan.
Dalam praktiknya, Amerta Movement juga melatih kesadaran diri terhadap unsur-unsur alam seperti tanah, api, angin, air, dan logam. Di samping itu, ketika latihan ini dipadukan dengan doa atau mantra, terbentuklah sebuah kondisi spiritual yang menyadarkan manusia akan keterhubungannya dengan Sang Pemilik Kehidupan. Saat ini, saya menggabungkan latihan Amerta yang saya pelajari dari Mbah Prapto dengan Mantra Jawa Walikan atau Mantra Kalacakra, sebagai bentuk doa atau ruwatan untuk keselamatan semua makhluk hidup.
Selain itu, latihan Amerta Movement juga memiliki manfaat penyembuhan emosional. Banyak orang menyimpan masalah dan frustrasi dalam diam, yang pada akhirnya menumpuk sebagai energi negatif dalam tubuh. Melalui Amerta Movement, mereka bisa melepaskan beban tersebut. Saya menyaksikan hal ini saat sesi latihan berakhir, ketika Mbah Prapto membuka ruang berbagi bagi para murid. Dalam momen ini, tak jarang peserta mencurahkan isi hatinya dan mengungkapkan beban yang selama ini dipendam.
Pada beberapa kesempatan, setelah latihan atau pementasan, Mbah Prapto sering bertanya kepada saya dalam Bahasa Jawa, “Iki mau enek nilaine ora, Gus? (Tadi itu ada nilainya tidak, Gus?)” Nilai! Ya, Mbah Prapto selalu menekankan itu—sebuah nilai yang dapat diambil dari latihan Amerta Movement. Nilai ini bukan dalam bentuk angka, tetapi makna yang bisa menjadi bekal dalam menjalani hidup, dan juga sebagai bekal dalam perjalanan spiritual ke depan. Tentunya melalui refleksi perenungan yang mendalam.
Dalam sebuah kesempatan, sembari menyaksikan murid-muridnya berlatih dengan tatapan tajam namun menerawang, Mbah Prapto yang duduk di sebelah saya berkata, “Gus, golekno sejatine awakmu (Gus, carilah kesejatian dalam dirimu).” Kalimat itu sangat membekas dan menggugah saya untuk merenung tentang kesejatian hidup. Saya diajak berpikir lebih dalam: ke mana sebenarnya arah hidup ini? Apa makna dari kehidupan itu sendiri? Saya diajak menyadari bahwa manusia tidak hidup sendiri, tetapi bersama dengan berbagai ciptaan lainnya. Selain itu, saya juga diajak menyelami tujuan sebenarnya dari hidup manusia. Syukuri hidupmu, dan hiduplah seakan kematian akan datang menjemputmu esok hari. Itulah salah satu pesan yang saya tangkap dari nilai-nilai dalam Amerta Movement.
Matur sembah nuwun, Mbah, banyak nilai yang saya peroleh dari perjumpaan saya dengan Amerta Movement.
______________________
Dody Eskha Aquinas ialah seorang aktor yang belajar Amerta Movement langsung dari maestro of Joged Amerta, Suprapto Suryodarmo.