Paradoks Agama dan Kejahatan:
Kontrol atau Kausa?
Fany N. R. Hakim –14 Februari 2021
Laiknya hitam dan putih, agama dan kejahatan kerap dipahami sebagai elemen yang bertolak belakang. Padahal, tidak sedikit kejahatan terjadi atas nama agama.
Selama proses hukuman di balik jeruji, para narapidana memperoleh bimbingan rohani sebagai sebuah pendekatan agar mereka dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat. Agama dianggap sebagai serangkaian nilai yang penting untuk menjaga moralitas seseorang. Namun tidak jarang, mereka yang menjadi terpidana merupakan orang-orang yang sangat mendalami ajaran agama. Sebut saja pelaku kekerasan seksual yang banyak diantaranya ialah tokoh agama. Tak sedikit dari para teroris merupakan pemeluk yang sangat rajin mengikuti kajian keagamaan, atau para pelaku ujaran kebencian yang justru adalah pemuka agama. Berbagai fenomena tersebut menunjukkan adanya paradoks dalam hubungan antara agama dan tindak kejahatan. Keduanya tidak pernah sepenuhnya terletak di kutub positif atau negatif.
Dari Mana Kejahatan Bermula?
Ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari tentang kejahatan adalah kriminologi. Iqrak Sulhin, seorang kriminolog Indonesia, dalam kuliahnya “Filsafat Kriminologi” menyebutkan, “Tidak seperti saudara tuanya—sosiologi, kriminologi lahir di malam hari ketika orang-orang sedang terlelap.” Maksudnya, para kriminolog melihat sisi gelap kehidupan di mana orang yang dianggap “jahat” seringkali tereksklusi dan tidak dimanusiakan karena tindakan kejahatan yang merugikan. Faktanya, ada banyak faktor seseorang dapat melakukan tindakan kejahatan.
Dalam mendefinisikan kejahatan, kriminologi terbagi ke dalam beberapa mazhab/aliran. Salah satu teori tertua dalam kriminologi adalah demonologi. Pendekatan yang berkembang sebelum Abad Pencerahan ini melihat kejahatan dari sisi hitam dan putih. Demonologi menganggap kebaikan bersumber dari Tuhan sementara kejahatan bersumber dari roh jahat yang merasuki tubuh manusia. Dalam mazhab ini, kejahatan terjadi karena pengaruh setan atau roh jahat.
Kemudian pada abad ke-18 berkembang aliran klasik rasionalis yang dipelopori oleh Cesare Beccaria, ahli hukum dan filsafat asal Milan, Italia. Beccaria dalam karyanya on Crimes and Punishments (1974) melihat adanya faktor kehendak bebas dalam diri manusia yang mampu membuatnya memilih untuk melakukan kejahatan atau tidak. Senada dengan hal itu, Jeremy Bentham—seorang filsuf di bidang moral dan hukum—juga berargumen bahwa sifat pragmatis manusialah yang menyebabkan mereka perlu melakukan sesuatu untuk memperoleh keuntungan, bahkan jika harus melakukan suatu tindak kejahatan.
Aliran kriminologi klasik ini kemudian dibantah oleh Cesare Lombroso, kriminolog Italia, dengan kriminologi positivistiknya. Alih-alih kehendak bebeas, Lombroso justru menyatakan bahwa kejahatan itu bersifat genetik. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori born criminal atau ‘terlahir penjahat’. Melalui pendekatan biologis, ia berpendapat bahwa orang jahat memiliki ciri fisik tertentu yang berbeda dengan nonkriminal. Ciri ini merupakan sifat yang turun-temurun melekat pada sebuah generasi (atavisme). Aliran kriminologi ini kemudian berkembang dan meminjam pendekatan sosiologis. Salah satu tokoh yang menonjol adalah Emile Durkheim. Sosiolog ini melihat bahwa tindak kejahatan seseorang juga dipengaruhi oleh masyarakat sebagai agen sosial.
Sejak akhir abad ke-20, kejahatan mulai dikaji sebagai hasil dari multifaktor. Inovasi kriminologi tidak hanya berfokus pada pendefinisian kejahatan, tetapi juga pada proses penegakan hukum yang berkeadilan, pembuatan kebijakan, statistik dan pengendalian tingkat kejahatan, serta strategi pencegahan kejahatan. Hubungan antarmanusia yang semakin kompleks menambah ketertarikan para sarjana kriminologi untuk mengkaji kejahatan melalui berbagai pendekatan, tak terkecuali pendekatan agama.
Seiring perkembangan keilmuannya, keterkaitan antara kriminologi dan agama juga mengalami dinamika. Di masa awal perkembangannya, kriminologi terlihat begitu dekat dengan konsep religi dengan menggunakan “Tuhan” sebagai subyek utama. Setelahnya, para akademisi mengabaikan faktor spiritual dalam tindakan manusia. Belakangan, ketika kehidupan manusia nyatanya tidak dapat terlepas sepenuhnya dari kehidupan beragama, para sarjana mulai kembali mengkaji kaitan agama dan kejahatan. Setidaknya ada dua corak utama relasi antara agama dan kejahatan: agama sebagai kontrol atau kausa dari kejahatan.
Agama sebagai Kontrol Eksternal dan Internal
Salah satu karakteristik yang kerap ditemui di banyak agama dan kepercayaan adalah keberadaan unsur “hukum”: perbuatan baik menghasilkan ganjaran, perbuatan buruk mendapat hukuman. Karakter ini membuat agama seringkali dianggap sebagai alat kontrol bagi perbuatan manusia. Setidaknya terdapat dua pendekatan yang dapat menjelaskan hal tersebut, yakni pendekatan sosiologi agama dan psikologi kriminal.
Durkheim melalui karyanya, Suicide (1897) memandang agama sebagai seperangkat kepercayaan dan ritual sakral yang menumbuhkan moral kolektif. Dalam pendekatan sosiologi agama ini, Durkheim memandang agama sebagai hal yang esensial untuk memastikan dan memelihara kesesuaian dengan norma-norma sosial. Dengan demikian, agama sekaligus menjadi tolok ukur baik-buruknya kehidupan masyarakat.
Beberapa penelitian dalam dua dekade terakhir mengafirmasi fungsi agama sebagai alat kontrol tindak kejahatan di masyarkat. Byron Johnson dan Sung Joon Jang (2000) menemukan bahwa keterlibatan individu dalam praktik keagamaan tidak hanya berfungsi untuk memediasi tetapi juga mengurangi dampak gangguan lingkungan dari kejahatan. Sementara itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Desmond dkk. (2008) menunjukkan bahwa semakin kuat komitmen remaja terhadap keyakinan agama mereka, semakin besar ketidaksetujuan akan keterlibatan mereka dalam kenakalan remaja. Sebagai agen kontrol sosial, agama memupuk konformitas dan mengurangi kemungkinan kejahatan atau perilaku menyimpang dengan mendorong internalisasi nilai-nilai moral dan norma sosial. Bukan hanya sebagai unsur pencegah kejahatan, agama juga berperan untuk mencegah residivisme—pengulangan tindak kejahatan. Tjong Lio Ie (2013) yang meneliti spiritualitas narapidana korupsi di dalam lembaga pemasyarakatan menemukan bahwa spiritualitas menjadi coping mechanism ketika mereka sudah menjadi narapidana. Pengalaman menderita di penjara membuat mereka tersadar untuk tidak mengulangi kejahatan sekaligus meningkatkan spiritualitas mereka.
Sementara itu dalam pendekatan psikologi kriminal, dikenal konsep “kontrol diri”. Berdasarkan konsep yang dicetuskan oleh Hirschi dan Gottfredson (1990) ini, orang melakukan kejahatan karena pengendalian diri mereka rendah. Ini terlihat dari pengambilan risiko yang impulsif dan condong kepada keuntungan sesaat. Dalam konteks ini, agama berperan sebagai ruang untuk menumbuhkan dan melatih kontrol diri.
Pendekatan psikologi kriminal lainnya dicetuskan oleh Walter Reckless (1961) melalui teori containment atau menahan diri. Menurut Reckless, ada dua aspek yang menahan seseorang untuk berbuat kejahatan yaitu inner containment (penahan personal) dan outer containment (penahan sosial). Inner containment ini dapat berupa citra diri dan konsep pribadi yang positif sementara outer containment berwujud kontrol dan struktur sosial yang kondusif. Jika inner containment berkembang untuk mengatasi timbulnya dorongan menyimpang, maka outer containment berfungsi sebagai mekanisme penguatan sekunder terhadap dorongan tindakan menyimpang atau kejahatan. Dalam konteks ini, agama dapat berperan sebagai faktor internal dan eksternal sekaligus. Ketika manusia berada dalam lingkungan sosial, mereka memiliki nilai-nilai religius yang diinternalisasikan untuk menjadi kontrol pribadi atas perilakunya di masyarakat. Di sisi lain, agama dapat juga berfungsi sebagai norma sosial yang menjadi penahan seseorang untuk mempertimbangkan perilakunya.
Agama sebagai Penyebab Kejahatan
Meski memiliki mekanisme aturan dan hukuman, agama tidak selalu menjadi alat kontrol terhadap kejahatan di masyarakat. Dengan memeluk suatu agama, tidak serta merta menjadikan seseorang religius dan terbebas dari kejahatan. Faktanya, agama justru bisa menjadi faktor pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan.
Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil (2002), memaparkan sisi gelap agama sebagai salah satu kekuatan yang paling melekat dan berkuasa sepanjang kehidupan manusia. Dalam praktiknya, banyak sekali penyalahgunaan agama yang berimplikasi pada kekerasan dan kerusakan. Hal ini tidak terlepas dari kompleksitas agama yang selalu terkait dengan berbagai dimensi kehidupan seperti sosial, politik, budaya, ekonomi, hingga militer.
Dalam karyanya tersebut, Kimball menegaskan pandangannya atas agama yang dapat mengarah sebagai sebuah “musibah”. Ia berargumen, setidaknya terdapat lima karakteristik agama yang berpotensi pada tindakan kekerasan dan kejahatan, yakni klaim kebenaran mutlak, ketaatan buta, penetapan masa “ideal”, pencapaian tujuan dengan menghalalkan segala cara, dan seruan untuk perang suci.
Klaim Kebenaran Mutlak. Tidak dapat dimungkiri, hampir semua agama memiliki klaim atas kebenaran ajarannya. Akan tetapi, ketika klaim kebenaran ini menjadi kaku dan dogmatis, ia berubah menjadi absolut dan berpotensi kekerasan. Dalam kasus agama Abrahamik, sebagai agama yang memiliki pengikut terbanyak, misalnya. Ajaran “kaku” tentang sosok Tuhan dapat menjadi sumber ketegangan yang melahirkan perilaku tidak manusiawi terhadap mereka yang berbeda. Di sisi lain, penafsiran sewenang-wenang terhadap makna teks suci—yang tak jarang bercampur aduk dengan tujuan politik—dapat secara langsung mengarah pada tindakan kekerasan.
Ketaatan buta. Dalam tradisi keagamaan, biasanya terdapat pemimpin agama yang begitu dipatuhi dan dihormati oleh pengikutnya. Sistem kepemimpinan karismatik semacam ini tidak selalu buruk. Namun, ketika sistem ini mulai membatasi kebebasan intelektual pengikutnya dan membuat ketaatan pengikutnya menjadi membabi buta—bahkan jika diperintahkan untuk melakukan kejahatan, hal tersebut patut diwaspadai. Kekuasaan semacam ini hanya akan menciptakan perbudakan doktrin dan eksklusi dari masyarakat luas.
Penetapan masa “ideal”. Kerinduan akan masa lalu serta harapan akan masa depan, membuat orang merasa bahwa waktu yang mereka jalani bukanlah waktu yang ideal dan hanya agama yang bisa memperbaikinya. Nyatanya, realisasi penetapan masa “ideal” itu terkesan sangat politis. Dalam hal ini, agama telah dikomodifikasi dan dijadikan kedok manipulatif untuk menciptakan negara teokratis yang tak jarang hanyalah agenda kepentingan sekelompok orang.
Pencapaian Tujuan dengan Menghalalkan Segala Cara. Tujuan akhir seringkali menjadi pembenaran atas semua tindakan kekerasan selama hal itu berkaitan dengan agama. Kimball mencontohkan bagaimana upaya mempertahankan situs suci yang menjadi simbol dan identitas keagamaan justru seringkali menggunakan tindakan kekerasan. Upaya penegakan identitas ini bermasalah karena melibatkan kebencian dan perilaku jahat yang seringkali menyebabkan tindakan dehumanisasi dan diskriminasi. Akibatnya, segala cara akan dilakukan untuk melindungi keberadaannya dan doktrin-doktrin yang terkandung dengan cara apa pun, meskipun harus menyiksa mereka yang dianggap sebagai “ancaman”.
Seruan Perang Suci. Perang adalah karakteristik terakhir dan bentuk paling kejam dari kekerasan yang dapat dilakukan atas nama agama. Menurut catatan sejarah, banyak perang besar yang terjadi di masa lalu karena motif agama. Perang antaragama dilakukan dalam rangka memperebutkan kekuasaan dan wilayah. Dampak perang tidak hanya banyaknya nyawa yang hilang, tetapi juga kerusakan harta benda, dan rasa trauma bagi mereka yang selamat. Pada akhirnya, perang semacam ini juga berpotensi menghasilkan masyarakat dengan kecenderungan bunuh diri atas nama agama.
Pada akhirnya, agama dan kejahatan akan selalu pada spektrum yang dinamis. Hal ini membuat hubungan keduanya berada dalam kondisi dualitas. Agama, meski berkaitan dengan spiritualitas, tidak selalu berhubungan secara positif dengan tindakan manusia. Ada banyak faktor lain yang saling bertautan yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan. Pun semakin beragama manusia, bisa jadi semakin mungkin untuk melakukan kejahatan yang merugikan banyak pihak. Maka dari itu, meski agama dan kejahatan berjalan di jalur yang berbeda, tak jarang keduanya bersinggungan di persimpangan.
______________________
Fany N. R. Hakim adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Fany lainnya di sini.