Patung Dewa Cina dan Pelintiran Kebencian di Tuban
Sayyidah Mawani – 11 Maret 2019
Dalam presentasinya di Wednesday Forum CRCS-ICRS pada 20 Februari 2019, Evi Lina Sutrisno, yang pada semester ini mengajar mata kuliah Advanced Study of Confucianism di CRCS, menceritakan penelitiannya tentang bagaimana Kelenteng Kwan Sing Bio dan masyarakat di sekitarnya melawan pelintiran kebecian (hate spin) yang beredar di Tuban, Jawa Timur.
Polemik berawal dari penentangan terhadap pendirian patung Dewa Kwan Kong atau Guan Yu setinggi 32 meter pada pertengahan Agustus 2017. Berbagai media mengabarkan adanya protes yang dilayangkan oleh sekelompok Muslim dari Surabaya yang menamai dirinya “Priboemi Menggugat”. Kelompok ini menuntut dirobohkannya patung dewa Cina itu, yang telah diresmikan pada Juli 2017 dan menjadi patung dewa Cina tertinggi di Asia Tenggara.
Priboemi Menggugat menyebutkan dua alasan protesnya. Pertama, karena mayoritas masyarakat Tuban adalah Muslim sehingga keberadaan patung tersebut dianggap mencederai keimanan masyarakat Muslim di sana. Kedua, patung Dewa Kwan Kong itu membuktikan kurangnya nasionalisme orang Tionghoa Indonesia, karena sosok yang dipatungkan tersebut adalah jenderal Cina yang sama sekali tidak memiliki relevansi sejarah dengan Indonesia.
Priboemi Menggugat mengancam akan memobilisasi massa untuk merobohkan patung tersebut. Aksi mereka mendapatkan perhatian dari berbagai media massa nasional maupun internasional yang kemudian memunculkan asumsi bahwa telah terjadi konflik keagamaan di Tuban.
Namun fakta yang berbeda ditemukan oleh Evi saat ia secara langsung mengunjungi Kelenteng Kwan Sing Bio pada Oktober 2017 dan tinggal 10 hari di sana. Jauh berbeda dengan gambaran media, Evi menjumpai kondisi Tuban pada saat itu begitu tenang dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Fakta berbeda juga ia temukan begitu mengetahui bahwa patung Kwan Kong tidak berada di tengah alun-alun kota Tuban, sebagaimana diberitakan sebuah sumber, melainkan berada di halaman belakang Kelenteng.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, Evi mewawancari beberapa masyarakat lokal, seperti pedagang di sekitar Kelenteng dan pengunjung Kelenteng Kwan Sing Bio. Dari beberapa orang yang membuka usaha di sekitar Kelenteng, mereka sama sekali tidak merasa terganggu dengan keberadaan patung Dewa Kwan Kong, bahkan tak mengetahui tentang adanya gerakan Priboemi Menggugat. Justru beberapa dari mereka merasa dirugikan karena adanya masalah ini, yang menyebabkan banyak turis takut untuk datang ke Tuban, dan menurunkan pendapatan mereka sebagai pedagang.
Kelenteng Kwan Sing Bio merupakan salah satu pusat tujuan wisata di Tuban. Banyak orang Cina dari Indonesia maupun negara lain di Asia Tenggara mengunjungi Kelenteng untuk beribadah atau untuk sekadar berwisata. Menurut pengurus kelenteng, sekitar 300 orang pengunjung datang setiap harinya. Saat perayaan ulang tahun Dewa Kwan Kong yang jatuh di bulan Agustus, pengunjung yang datang bisa mencapai lebih dari 10.000 orang.
Mengutip Claudine Salmon yang melakukan penelitian terhadap prasasti pendirian berbagai kelenteng di Indonesia, Evi memaparkan bahwa Kelenteng Kwan Sing Bio berdiri pada tahun 1871. Namun, pengurus Kelenteng menyatakan pendirian Kelenteng ini terjadi seabad lebih awal, yaitu pada tahun 1773. Evi menyebutkan bahwa hal yang paling penting dari Kelenteng itu adalah patung tua Dewa Kwan Kong yang terbuat dari kayu, yang berada di altar utama di dalam Kelenteng.
Diceritakan bahwa patung Dewa Kwan Kong yang terbuat dari kayu itu dulu dimiliki oleh keluarga imigran dari Cina, yang tinggal di desa Tambakboyo, sekitar 30 km di sebelah Barat kota Tuban. Keluarga ini membuatkan tempat pemujaan untuk Kwan Kong. Suatu ketika mereka ingin memindahkan patung dan tempat pemujaannya ke tempat lain di Jawa Timur dengan menggunakan kapal. Di tengah perjalanan, mendadak kapal tersebut berhenti di satu titik. Semua penumpang dan awak kapal mencari apa yang menjadi sebab dari berhentinya kapal dan berusaha untuk menjalankan kembali kapal itu. Setelah ditelusuri bahwa tidak ada kesalahan teknis di dalamnya, namun kapal tetap tak bergerak, orang-orang kemudian menduga bahwa Dewa Kwan Kong berkeinginan untuk menetap di situ. Mereka pun bertanya kepada sang Dewa dengan cara pak pue – yaitu menggunakan dua bilah bambu yang didoakan dan dilemparkan ke tanah diiringi doa dan pertanyaan, “Apakah Dewa Kwan Kong ingin tinggal di sini?” Bila kedua bilah terbuka, penanya harus mengulang lagi ritual itu dari awal. Bila kedua bilah tertutup, berarti sang Dewa menjawab “tidak.” Bila salah satu bilah bambu terbuka dan bilah lainnya tertutup, artinya “ya”. Ritual ini dilakukan beberapa kali dan hasilnya selalu satu bilah terbuka dan satu tertutup. Di situlah lokasi Kelenteng Kwan Sing Bio berdiri sampai sekarang.
Patung dewa atau dewi menjadi atribut keagamaan yang penting bagi masyarakat etnis Cina karena mereka memercayai bahwa setiap manusia memiliki dua roh – hun dan p’o. Setelah kematian, hun kembali ke Sang Pencipta, sedangkan p’o tetap tinggal di bumi dan terus memiliki kontak dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, masyarakat Cina menyiapkan berbagai medium sebagai tempat bagi roh yang tinggal di bumi. Bagi para Dewa, mereka menyediakan patung; bagi para leluhur, disediakan papan nama atau foto. Roh yang tinggal di bumi ini memiliki dinamika kehidupan seperti manusia walaupun berada dalam dimensi yang berbeda, seperti mereka masih dapat menikmati makanan (sehingga disediakan sesaji di depan patung maupun meja altar untuk leluhur) dan bisa berkomunikasi lewat cara pak pue dan ciamsi, yaitu sistem ramalan dalam tradisi Cina yang menggunakan sekitar 100 bilah bambu. Setiap bilah memiliki angka untuk merujuk ke sebuah syair kuno. Para pengunjung berdoa dan mengocok bilah bambu tersebut hingga ada satu yang melompat. Bilah bambu itu harus ditukar dengan puisi yang sesuai dan itulah jawaban dari pertanyaan yg diajukan kepada sang Dewa.
Evi selanjutnya memaparkan bahwa setiap Dewa memiliki karakter atau keahlian tertentu untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dewi Mazu, misalnya, dipercaya melindungi para imigran Tionghoa yang datang ke Nusantara melalui lautan. Menurut legenda, Mazu adalah seorang gadis dari keluarga nelayan yang rela mengorbankan nyawanya mengarungi lautan ketika mendengar kapal ayah dan saudara-saudara lelakinya mengalami kecelakaan di laut. Sedangkan Kwan Kong adalah seorang jenderal saat perang Tiga Negara atau Sam Kok terjadi sekitar tahun 208-270. Sifat ksatria, pemberani, strategis dan jujur dari Kwan Kong menjadi inspirasi bagi kaum pedagang Tionghoa yang ingin melakukan perjanjian bisnis maupun mengembangkan usahanya. Orang yang merasa mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan permasalahan mereka umumnya datang kembali untuk menyumbang kelenteng. Salah satu bentuk sumbangan yang diterima oleh pengurus Kelenteng Tuban adalah patung Kwan Kong setinggi 32 meter dari seorang pengusaha Surabaya, bernama Hindarto atau Lie Suk Chen.
Dalam kunjungannya yang kedua di Kelenteng Kwan Sing Bio pada bulan Oktober 2018, Evi mempelajari lebih mendalam gagalnya pelintiran kebencian di Tuban. Evi berpendapat bahwa kenyataan Kelenteng Kwan Sing Bio sebagai ruang komunal, tempat aktivitas bukan hanya orang Cina melainkan juga penduduk lokal, mematahkan argumen dari kelompok Priboemi Menggugat tentang eksklusivitas dan arogansi orang Tionghoa. Selain berkontribusi dalam menghidupkan perekonomian lokal, Kelenteng juga selalu menyediakan hidangan gratis bagi siapa saja yang datang, termasuk para nelayan yang kerap kali menyantap sarapan di dapur Kelenteng. Mereka bahkan dapat memesan makanan vegetarian. Halaman belakang kelenteng cukup sering digunakan sebagai tempat pengajian dan buka puasa bersama masyarakat Muslim yang tinggal di sekitarnya. Banyak wisatawan Muslim yang mengunjungi Kelenteng untuk mengunjungi patung Dewa Kwan Kong dan berekreasi di Taman Panda yang dibangun di halaman belakang kelenteng.
Dalam ranah spiritualitas, Evi menemukan banyak pengunjung lintas iman yang datang untuk mencoba ciam si (ritual membaca nasib) dan berkonsultasi kepada penerjemah nasib yang ada di kelenteng. Dalam wawancaranya, Evi menjumpai bahwa para pengunjung tidak mempermasalahkan figur Kwan Kong sebagai dewa Cina. Mereka membutuhkan jawaban maupun strategi dari Kwan Kong atas masalah-masalah kehidupan yang mereka hadapi. Selebihnya, mereka memegang teguh keimanan masing-masing dan terus menjalankan ibadah menurut agama mereka.
Keterikatan spiritual, ekonomi, dan sosial yang terjalin lama dan erat ini, menurut Evi, membuat masyarakat di sekitar kelenteng bisa bertahan menghadapi provokasi kebencian menyangkut patung Dewa Kwan Kong itu, sehingga modus pelintiran kebencian di Tuban tidak sampai menimbulkan efek sektarian seperti yang terjadi dalam kasus Tanjungbalai, Sumatera Utara, misalnya.
_____________
Penulis, Sayyidah Mawani, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2018.
Gambar header: Patung 32-meter Dewa Kwan Kong di Kelenteng Kwan Sing Bio. Foto: Dokumen Muri.org