Peluang dan Tantangan Kewargaan Ingenious di Indonesia
Krisharyanto Umbu Deta – 14 September 2021
Dinamika polarisasi agama dan kepercayaan terus berkembang seiring pasang surut rekognisi terhadap kelompok-kelompok kepercayaan atau agama leluhur di Indonesia. Perkembangan paling progresif adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 97/2016 yang memberi ruang bagi kelompok penghayat untuk menuliskan kepercayaan mereka di KTP. Namun demikian, keputusan ini diikuti dengan syarat dan regulasi tertentu yang mengisyaratkan kuasa pemerintah atas kepercayaan warga negara. Melalui seperangkat hukum, pemerintah berkuasa dalam menentukan apakah suatu agama atau kepercayaan dapat direkognisi atau tidak. Konteks inilah yang melatarbelakangi penelitian Laelafitrianisahroni dalam tesisnya “Bukan Agama dan Kepercayaan: Status Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dalam Pasang Surut Relasi Agama dan Negara di Indonesia (2020)”. Dalam tesis yang kemudian dibukukan dengan judul Antara Agama dan Kepercayaan: Menguji Praktik Kewargaan Ingenious Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) (2020) ini, Laelafitrianisahroni mengangkat sebuah isu yang jarang diangkat ke permukaan dalam percakapan politik agama dan kepercayaan yaitu tereksklusinya kelompok-kelompok yang bukan agama maupun kepercayaan, salah satunya kelompok spiritual Pangestu.
Dengan meminjam konsep governmentality dari Michel Foucault, Laelafitrianisahroni melihat politik agama di Indonesia sebagai sebuah bentuk governmentality yang bertujuan untuk meregulasi warga negara agar mereka menjadi populasi yang patuh (h.5). Lebih jauh, kepatuhan warga negara ini dilihat sebagai tanda penaklukan dan hegemoni. Hegemoni terjadi bukan dengan kekerasan secara langsung, melainkan dengan seperangkat ideologi dan regulasi. Misalnya, definisi agama versi Departemen Agama—sekarang menjadi Kementerian Agama—dapat dilihat sebagai naskah (script), salah satu alat governmentality, di mana warga negara dieksklusi. Merespons hal ini, warga negara yang teropresi, dengan kemampuan mereka untuk melawan, mengambil sikap defensif. Dalam kacamata kewargaan ingenious yang dikemukakan oleh Charles T. Lee, resistansi ini kemudian dibaca sebagai suatu usaha untuk meraih rekognisi legal maupun sosial melalui cara-cara kreatif dan orisinal. Dengan demikian, kelompok yang tereksklusi ini dapat kembali terinklusi ke dalam naskah.
Dengan kerangka tersebut, penulis ingin menunjukan bahwa kontrol atau pengendalian negara sebenarnya tidak dapat terpisahkan dengan peran warga negara yang secara terus-menerus melakukan berbagai bentuk negosiasi, resistensi, dan sikap-sikap ingenious ‘cerdik’. Mereka secara aktif dan kreatif mencari berbagai peluang dari sisi-sisi yang luput dari kendali pemerintah. Sikap ini kemudian dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat, merevisi, bahkan mengeliminasi regulasi yang ada berdasarkan pada, atau sebagai konsekuensi dari, kebutuhan masyarakat (h.6). Dalam polarisasi agama dan kepercayaan, hal ini dapat dilihat pada dinamika perubahan sikap pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan. Akan tetapi, dengan merekognisi dan mengakomodasi agama atau kepercayaan dalam kementerian tertentu, sebenarnya pemerintah tengah membuat naskah baru yang mengeksklusi kelompok spiritual seperti Pangestu. Merespons hal tersebut, Pangestu melakukan beragam usaha kreatif dan manuver politis demi membuka jalan untuk mengakses hak-hak yang tidak dijamin oleh pemerintah (h.8).
Sebagai sebuah kelompok spiritual, Pangestu menegaskan posisi mereka bukan sebagai agama dan juga tidak bermaksud menjadi sebuah agama baru. Mereka juga bukan bagian dari kelompok kepercayaan dan kebatinan. Ditegaskan pula, Pangestu berasaskan Pancasila dan tidak membeda-bedakan siapa pun berdasarkan afiliasi kelompok, ras, kelas sosial, agama, maupun kepercayaan. Pangestu juga tidak terlibat dalam politik praktis (h.19). Dengan demikian, para anggota Pangestu terdiri dari orang-orang dengan latar agama yang beragam. Hal ini menjustifikasi inklusivitas Pangestu dan statusnya sebagai sebuah kelompok spiritual yang tidak mempunyai intensi untuk menjadi agama atau kepercayaan. Para anggotanya menggambarkan Pangestu sebagai sebuah cahaya bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami dan mempraktikkan agama mereka (h.28). Karena menolak untuk dianggap sebagai kelompok kepercayaan yang terakomodasi di bawah Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Pangestu mendirikan Yayasan Andana Warih yang terdaftar dalam Kementerian Hukum dan HAM demi meraih rekognisi legal sebagai sebuah organisasi. Dengan demikian, mereka dapat mengakses hak-hak administratif seperti izin mengadakan perkumpulan, pembangunan gedung, dan lain-lain. Secara cerdik Pangestu tidak membiarkan dirinya terjebak dalam polarisasi agama dan kepercayaan hanya demi kepentingan akomodasi (h.32).
Menurut Laelafitrianisahroni , posisi Pangestu yang berada di ruang antara agama dan kepercayaan dapat dilihat sebagai kondisi dari abject citizenship ‘warga negara sengsara’, baik sebagai sebuah kondisi kehidupan sosial maupun sebagai entitas individu atau kelompok. Artinya, mereka ada pada posisi tak tersentuh, tak terlihat, dan apolitis sekaligus tidak mendapatkan hak mereka secara penuh (h.52). Namun, dengan mempertahankan identitas mereka sebagai sebuah organisasi spiritual di tengah dinamika rekognisi agama atau kepercayaan sekaligus mampu eksis tanpa rekognisi resmi, Pangestu telah menunjukan celah dari governmentality negara. Pangestu justru mengimbangi eksklusi dengan membuka ruang inklusi baru melalui naskah anyar ekspresi keberagamaan masyarakat dalam bentuk organisasi spiritual (h.68). Di samping mendirikan Yayasan Andana Warih, Pangestu juga membangun relasi dengan tokoh agama dan masyarakat di sekitar mereka, mengusahakan perizinan dari kepolisian, serta aktif berdialog dengan Kementerian Agama, Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayan dan Keagamaan (Bakor Pakem), dan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Langkah taktis Pangestu tersebut menjadi bukti bahwa warga negara sebenarnya berperan signifikan dalam proses governmentality (h.72).
Yang menarik dalam diskursus ini, penulis telah menunjukkan pentingnya untuk selalu menyediakan ruang kritis dalam melihat kemajuan-kemajuan progresif dalam usaha melawan eksklusi kewargaan, dalam hal ini kebebasan beragama. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa negara, dilihat dari konsep governmentality, akan selalu punya ruang untuk memperkuat dominasinya. Putusan MK mengenai penghayat kepercayaan misalnya. Tanpa mengurangi besarnya signifikansi terhadap penganut agama leluhur, nyatanya Putusan MK tersebut masih menyisakan ruang eksklusi terhadap warga negara.
Rekognisi negara memang tidak pernah lepas dari munculnya definisi dan aturan (h.48). Setelah Putusan MK, pemerintah mengatur seperangkat persyaratan bagi kelompok agama leluhur yang semuanya berkaitan dengan dokumen administratif, termasuk dokumen dari kelompok yang bersangkutan seperti ajaran tertulis, sejarah tertulis, struktur organisasi, daftar anggota, dan daftar program. Kenyataannya, banyak kelompok kepercayaan tidak memiliki dokumen-dokumen tersebut karena ajaran mereka diwariskan secara oral. Penganut agama leluhur merawat komunitasnya dengan cara yang berbeda. Pada akhirnya, banyak dari kelompok penghayat terpaksa menyusun dokumen-dokumen yang disyaratkan itu demi rekognisi negara.
Dalam hal ini, negara menunjukan kecenderungannya untuk meliteralkan yang oral dan menunggalkan yang plural. Kemajuan rekognisi penghayat kepercayaan agaknya telah mengeliminasi definisi agama yang eksklusif. Namun, dengan berbagai prasyarat yang dibuat, bias paradigma agama dunia kelihatannya masih bertahan: yang literal dan tunggal dianggap lebih baik dari yang oral dan plural. Demi keteraturan dan harmoni, ajaran keagamaan atau kepercayaan diregulasi sedemikian rupa hingga cenderung ditunggalkan. Dalam konteks inilah, kewargaan ingenious menemukan signifikansinya. Ketika merespon hegemoni negara yang kompleks, kelompok-kelompok yang tereksklusi, termasuk kelompok di luar agama atau kepercayaan, perlu menyadari peluang-peluang yang mereka miliki. Dengan segala kemampuan dan kecerdikan, kelompok yang tereksklusi tidak hanya menunggu dan mengharapkan dari pemerintah, tetapi mampu secara aktif mendapatkan kebutuhan mereka. Tentunya, perbedaan kemampuan, kecerdikan, dan tantangan dari masing-masing kelompok teropresi tidak dapat diabaikan. Terlepas dari hal tersebut, diskursus kewargaan ingenious—yang mendalilkan bahwa semua kelompok atau individu warga negara selalu mempunyai kreativitas orisinalnya dalam merespon opresi—memberikan sumbangan penting dalam perjuangan warga negara untuk mengakses hak-haknya.
______________________
Krisharyanto Umbu Deta adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Umbu lainnya di sini.
Gambar: Lukisan “Kereta Sewandana” yang merupakan salah satu simbol ajaran Pangestu.