Konflik di Poso menyebabkan segregasi didalam masyarakat Poso, hal ini ditandai dengan adanya wilayah teritorial dari masing-masing kelompok umat beragama. Terkait dengan segregasi tersebut, Izak Y. M. Lattu, alumni CRCS yang saat ini menjadi salah satu staf pengajar di UKSW, pada Wednesday Forum (6/5), menjelaskan bahwa kehadiran Youth Centre di Poso sangat efektif dalam membangun keterbukaan dan hubungan damai di antara Pemuda Poso. Dengan demikian tentu akan lahir berbagai dampak positif termasuk diantaranya menjembatani segregasi yang ada.
Bila dibandingkan dengan pengalaman Youth Center di Bosnia, yakni Jacje Youth Center, kisah sukses yang mereka miliki sebanding dengan Youth Center di Poso. Youth Center tersebut pertama kali didirikan pada bulan November 2004 berkat inisiatif CARDI (Consortium for Assistance and Recovery toward Development in Indonesia). Saat ini terdapat delapan Youth Center dimana kedelapan Center tersebut merepresentasikan masing-masing daerah di Poso.
Ada banyak kegiatan yang dilakukan para pemuda Poso, yang dikategorikan berusia 15-30 tahun, pada setiap program yang ditawarkan Youth Center. Pada prinsipnya program-program yang dibuat bertujuan untuk menguatkan kohesi sosial, mempromosikan dialog, dan menjembatani interaksi di antara para pemuda dari berbagai latar belakang yang mereka miliki. Pemuda diposisikan sebagai aktor utama dalam setiap program yang ada. Kreativitas telah melahirkan berbagai karya dan lapangan pekerjaan.
Menurut Izak, Youth Center yang digerakan oleh para pemuda saat ini adalah bibit dari relasi saling percaya yang masif di Poso. Mereka yang terlibat dalam berbagai aktifitas Youth Center selama ini mengakui bahwa pandangan mereka terhadap orang-orang yang dianggap musuh telah berubah. Pandangan mereka jauh lebih bersahabat. Penderitaan yang telah mereka alami bersama menjadi dasar perjuangan mereka untuk membangun hubungan yang kuat dan damai.
Beberapa peserta dalam Wednesday Forum ini masih mempertanyakan perilaku pemuda di luar kegiatan-kegiatan yang disediakan oleh Youth Center, karena bisa saja hubungan baik itu hanya terkondisikan selama kegiatan berlangsung. Dipertanyakan pula bagaimana Youth Center itu sendiri telah mempersiapkan para pemuda sebagai agen perubahan terutama terhadap segregasi yang ada.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Izak mengakui belum meneliti lebih jauh perilaku pemuda di dalam dan di luar program-program tersebut. Namun sejauh ini dalam kehidupan sehari-hari mereka, pemuda sudah berani bertemu satu sama lainnya melewati wilayah-wilayah terititorial yang ada. Menurut Izak, hal ini dapat mendorong masyarakat untuk tidak terus menekankan segregasi yang ada. Inilah salah satu dampak dari usaha Youth Center dalam mempersiapkan mereka sebagai agen perubahan.
Pengalaman Youth Center di atas dapat menjadi salah satu acuan bagi daerah-daerah lainnya. Tentunya tidak sekedar untuk daerah-daerah pasca-konflik maupun rawan konflik. Beberapa prinsip dalam Youth Center tersebut perlu diterapkan pula di daerah yang aman dan damai sebagai usaha penguatan tatanan sosial yang sudah ada, sekaligus usaha preventif terhadap konflik. Disini pelibatan berbagai elemen di masyarakat, termasuk pemerintah, adalah suatu kebutuhan untuk usaha yang masif dan sustainable.
(JMI)