Pendekatan Materialisme Kultural dalam Studi Agama
Ronald Adam – 16 Oktober 2020
Dalam anggapan cukup banyak orang, materialisme cenderung dimaknai sebagai paham bahwa dunia hanya terdiri dari hal-hal yang bersifat material. Kadang-kadang kecenderungan ini berkonsekuensi pada kesimpulan bahwa ide, kepercayaan, dan konsep abstrak lain menjadi kurang relevan, sebab yang menjadi dasar keberadaan semua hal adalah materi. Namun, pengertian semacam ini, jika benar-benar ada (paling tidak dalam hubungannya dengan filsafat ilmu alam), bukanlah satu-satunya. Dalam ilmu sosial kemanusiaan, materialisme kultural—yang akan diulas dalam esai ini khusus dalam kaitannya dengan studi agama—tidak mengandung pengertian yang sama.
Buku antropolog Amerika Marvin Harris, Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture (1979), memaparkan bahwa materialisme kultural berangkat sebagai kritik terhadap idealisme Hegelian yang menganggap bahwa ide, nilai, konsep dan jenis abstraksi lainnya merupakan manifestasi dari ‘roh absolut’ dan berkembang melalui dialektika di alam pikiran. Materialisme kultural berpandangan bahwa ide mengada sebagai hasil dari dialektika manusia dengan kondisi material sekitarnya. Ini jelas tidak berarti bahwa ide tidak ada atau tidak relevan, tetapi ia berjangkar pada jejak historis materialnya. Dengan demikian, memahami asal muasal ide tidak bisa dilepaskan dari kondisi material yang melingkupi kelahirannya.
Namun, esai ini tidak hendak membahas justifikasi filosofis bagi pendekatan materialisme kultural. Ulasan lebih dalam terkait ini bisa dibaca dalam karya Harris di atas. Esai ini akan fokus pada bagaimana pendekatan materialisme kultural itu diterapkan dalam studi agama dan budaya, dengan mengambil contoh kasus sapi suci sebagaimana diulas dalam dua karya Harris lainnya, yakni Cows, Pigs, Wars & Witches: the Riddle of Culture (1974) dan Cannibals & Kings: the Origins of Cultures (1977). Rumusan masalahnya: dalam Hinduisme di India, kita tahu, sapi adalah binatang sakral. Kepercayaan ini adalah sebentuk ‘ide’. Dari mana datangnya ide ini?
Dari reformasi hingga politik perlawan
Beberapa ekonom Barat cenderung melihat masyarakat India sebagai masyarakat yang irasional karena tidak mau makan sapi. Di India sapi-sapi dipuja sedemikian rupa sehingga orang-orang dalam kondisi kelaparan di pedesaan India bahkan tetap menolak makan sapi. Bagi beberapa ekonom Barat, seandainya sapi-sapi itu dikelola dan didistribusikan untuk konsumsi, kelaparan dan kemiskinan di India dapat diminimalisasi.
Jelas bahwa sikap menolak makan sapi ini berdasar pada kepercayaan orang Hindu yang memandang sapi sebagai hewan yang sakral. Pemujaan terhadap sapi ini bahkan mendapatkan perlindungan konstitusional, dan tidak berhasil digugat para tukang jagal, pengusaha kulit, dan peternak sapi (umumnya dari kalangan non-Hindu) di India. Dengan perlindungan konstitusional ini, membunuh sapi ialah suatu bentuk penistaan.
Pertanyaannya: apakah pemujaan terhadap sapi ini semata-mata muncul begitu saja dalam kepercayaan Hindu atau ada latar historisnya? Di sinilah pendekatan materialisme kultural masuk.
Dalam penelusuran Harris terhadap sejarah kehidupan masyarakat India periode neolitik, sapi menjadi peliharaan domestik beserta binatang memamah biak lainnya. Bukti arkeologis menunjukkan adanya tulang sapi, domba, dan kambing yang terbakar hangus bercampur dengan puing-puing dapur yang diperkirakan berasal dari peradaban sekitar 2.500 SM. Masih di kawasan yang sama, para arkeolog juga menemukan tulang babi, kerbau, ayam, gajah, dan unta. Saat itu pemukiman mulai tumbuh di sekitaran Sungai Indus, tepatnya di Harappa dan Mohenjo-Daro. Belum ada bukti-bukti kemunculan vegetarianisme di era ini.
Dalam pemaparan Harris, memakan daging termasuk sapi sebenarnya merupakan kebiasaan bangsa Arya, bangsa yang menulis Weda, saat itu. Informasi ini juga ditemukan Harris dalam beberapa literatur Weda awal. Selama periode penulisan Weda awal sampai sekitar 1.000 SM, bangsa Arya masih memakan daging hewan, termasuk sapi. Di kota Hastinapura, di dataran Gangga, masyarakatnya juga memiliki budaya kuliner yang sama.
Pada periode awal Weda, kerajaan-kerajaan Hindu di lembah Gangga memiliki kasta agamawan. Mereka disebut Brahmana. Di sini ada bagian yang mengejutkan: bukti historis yang dipaparkan Harris menunjukkan bahwa kaum Brahmana dulu juga makan daging, dan bahkan hanya kaum Brahmanalah yang memiliki otoritas untuk mengorbankan hewan, yakni untuk acara perjamuan para ‘tamu yang terhormat’. Tamu yang terhormat ini menurut Weda bukanlah tamu yang sekadar singgah mampir ke rumah, melainkan seluruh penduduk desa. Brahmana sebagai kasta agamawan memimpin pesta ritual pengorbanan hewan yang didukung kepala suku Arya dan panglima perang saat itu.
Sekitar abad 6 SM, di satu sisi daging mulai langka sehingga permintaan akan daging hewan tidak bisa dipenuhi, dan di sisi lain sapi harus dipertahankan untuk keperluan pertanian seperti membajak dan menyuburkan ladang dengan kotorannya. Kondisi ini memicu pembatasan konsumsi daging. Daging kemudian menjadi keistimewaan tersendiri bagi kalangan terpilih, yakni Brahmana dan Arya kelas atas, sementara petani kecil bertugas untuk merawat sapi mereka untuk produksi pertanian dan susu. Tahap ini menjadikan Brahmana sebagai kasta elit yang bisa memakan daging.
Sepanjang pertengahan milenium akhir sebelum masehi itu, hak istimewa makan daging di kalangan elit agama banyak direspons oleh gerakan-gerakan agama yang berkecenderungan reformis. Komponen gerakan reformis ini kebanyakan terdiri dari masyarakat petani miskin yang mempertanyakan privilese kasta Brahmana atas daging-daging. Dua dari banyak gerakan reformis ini menjelma menjadi beberapa agama yang terkenal, seperti Buddhisme dan Jainisme, yang menolak kasta keagamaan; menjadikan kemiskinan dan penderitaan sebagai jalan spiritual; dan menempuh persatuan dengan alam melalui kontemplasi daripada mengorbankan hewan.
Buddhisme menjadi agama resmi di bawah Asoka dan mulai meluas di India utara pada 257 SM. Oposisi politik Buddhisme terhadap Hinduisme yang mengorbankan hewan ini semakin meluas di dataran India sampai Afghanistan hingga Sri Lanka sehingga memaksa Hinduisme untuk melihat kembali ajaran-ajarannya. Dari sini muncullah debat di kalangan Brahmana sendiri perihal makan daging, dengan dinamikanya yang mengalami pasang surut. Hingga 350 M, sapi masih dikonsumsi, paling tidak dalam upacara-upacara keagamaan.
Tradisi sapi suci sendiri, menurut paparan Harris, baru muncul pada 350 M. Pun bukti ini masih terbatas merujuk pada puisi-puisi yang menggambarkan raja dan ratu sebagai penyembah sapi. Bukti lain merujuk pada prasasti Raja Chandragupta II pada 465 M yang menyetarakan pembunuhan sapi dengan pembunuhan seorang Brahman. Hal tersebut termanifestasikan melalui dekrit kerajaan yang bertujuan mencegah konsumsi hewan di kalangan rakyat jelata. Baru setelah 700 M, saat Islam mulai masuk ke India, perlindungan sapi menjadi simbol politik perlawanan Hindu melawan kaum Muslim yang doyan makan sapi.
Ekologi dan ekonomi
Di sisi lain, praktik larangan makan sapi diikuti dengan intensifikasi pertanian, pertumbuhan dan kepadatan penduduk, dan menipisnya sumberdaya. Di Lembah Gangga sekitar 1.000 SM, merujuk pada teks Weda awal, kepadatan populasi cukup rendah. 700 tahun kemudian, populasi meningkat drastis, dan wilayah tersebut menjadi tempat terpadat di dunia. Kira-kira populasi India sudah mencapai 50 sampai 100 juta pada 300 SM, dengan setengahnya hidup dan tinggal di Lembah Gangga.
Pertumbuhan penduduk turut diikuti dengan pembukaan hutan-hutan yang berdampak pada kekeringan dan macetnya irigasi pertanian. Kekeringan ekstrim bahkan terjadi selama 12 tahun dan diabadikan dalam Kitab Mahabharata. Hal ini memaksa sistem pertanian bergantung pada curah hujan. Peternakan juga menjadi semakin mengecil akibat harus berbagi lahan dengan permukiman dan pertanian untuk memenuhi pangan populasi yang semakin meningkat. Spesies-spesies ternak seperti lembu (sapi bajak) mulai diganti dengan sapi (penghasil susu). Ini dipandang lebih efisien mengingat sapi penghasil susu juga bisa digunakan untuk membajak, sementara memelihara lembu tidak akan menghasilkan protein susu. Kalau pun harus memelihara keduanya, mesti ada lahan lain yang dikorbankan, dan pilihannya hanya mengorbankan lahan pertanian.
Petani setidaknya harus memiliki dua ekor sapi untuk menyuburkan dan menggemburkan lahan pertanian. Sejak itu sapi menjadi tulang punggung pertanian India. Penyembelihannya berarti ancaman bagi para petani. Larangan menyembelih sapi sebetulnya bermula dari kalangan individu petani-petani kecil ini. Bagi mereka tentunya mempertahankan sapi artinya mempertahankan pertanian. Oleh karena itu sapi-sapi harus dilindungi, dan cara terbaik untuk melindungi mereka tidak hanya dengan melarang makan daging sapi, tetapi juga melarang penyembelihannya. Ini mirip saja dengan pemerintah kolonial Inggris selama Perang Dunia II, yang saat itu mengeluarkan undang-undang kolonial mengenai perlindungan sapi untuk menyelamatkan industri pertanian India di bawah kaum kolonial saat itu.
Dalam kalkulasi rasional, sapi sebetulnya bermanfaat dalam berbagai segi. Pertama, sapi tidak memakan pangan manusia. Ia hanya memakan rumput liat, jerami, dan daun-daunan. Berbeda dengan ternak babi yang cenderung berisiko karena ia berbagi makanan dengan manusia. Sapi juga menghasilkan susu. Artinya, sapi mentransformasi energi nabati menjadi protein hewani yang lebih bergizi.
Kedua, sapi menghasilkan kotoran yang bisa menyuburkan tanah. Kotoran sapi juga digunakan oleh masyarakat India sebagai bahan bakar di dapur. Total penggunaan energi kotoran sapi untuk kebutuhan dapur dalam masyarakat India sudah bisa menyelamatkan 27 ton minyak tanah, 35 juta ton batubara, atau 68 juta ton kayu bakar. Selain menjadi gas untuk memasak, kotoran sapi juga digunakan sebagai bahan untuk lantai rumah. Karena fungsinya yang banyak ini, kotoran sapi dikumpulkan. Aktivitas mengumpulkan kotoran sapi juga dilakukan oleh anak-anak kelas bawah untuk digunakan di rumah. Di kawasan urban, tukang sapu menjadi orang yang memonopoli kotoran sapi dan menjualnya ke ibu-ibu rumah tangga.
Dengan demikian, pemujaan sapi yang disebut-sebut ekonom Barat sebagai praktik irasional sekaligus sumber kemiskinan karena menolak memakan sapi saat kelaparan sebetulnya memiliki argumen yang rasional. Bila orang miskin India menyembelih sapi, mereka mungkin bisa bertahan dari kelaparan selama dua minggu atau satu bulan. Tetapi setelah itu, mereka harus merasakan kelaparan dalam jangka yang lebih lama karena tidak bisa melakukan produksi pertanian, harus membeli susu untuk memenuhi protein anak, membeli gas atau kayu bakar untuk memasak, dan memasang ubin untuk lantai rumah.
Kesatuan manusia dan alam
Dari ulasan Harris itu, kita melihat bagaimana ‘ide’ mengenai sapi suci merupakan hasil dialektika manusia dengan lingkungannya. Artinya, ide tentang sapi suci memiliki jejak historis dan basis materialnya. Dalam bab-bab lain di bukuknya, Harris juga menjelaskan kenapa ada praktik larangan makan babi di kalangan Yahudi dan Muslim, dan sebaliknya, di tempat lain seperti suku Maring di Papua New Guinea, mereka sangat mencintai babi dan memakannya dengan tingkat kerakusan yang luar biasa.
Di karya-karyanya, Harris mengajukan pandangan bahwa ‘ide’ dalam kebudayaan atau agama tidak bisa dilepaskan dari mekanisme adaptasi manusia si pembawa kebudayaan dengan alam sekitarnya. Dengan berpijak pada analisis materialisme kultural, kita menempatkan posisi manusia dengan alam sebagai kesatuan organisme. Materialisme kultural berdiri di atas premis bahwa kehidupan sosial, termasuk agama di dalamnya, juga merupakan suatu respons adaptif terhadap keberadaan alamiah tempat suatu sistem sosial lahir dan berkembang.
Pendekatan materialisme kultural ini tentu tidak bisa digeneralisasikan untuk menjelaskan segala fenomena kebudayaan. Tidak semua kebudayaan atau nilai suatu agama bisa dijelaskan melalui pendekatan ini. Namun demikian, setidaknya pendekatan ini membawa kita pada pengamatan-pengamatan atau data-data yang kadang diabaikan atau tidak mendapat perhatian yang semestinya dalam studi agama dan kebudayaan. Yang membedakannya dari jenis pendekatan yang cenderung memandang munculnya ide secara taken for granted (ada begitu saja) ialah bahwa penjelasan ala materialisme kultural ini, sebagaimana karakter ilmu pada umumnya, bisa dibatalkan oleh penjelasan-penjelasan ilmiah lain yang memiliki argumentasi dan bukti yang lebih kuat.
_____________
Ronald Adam adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019.