Pendidikan Kepercayaan: Antara Kerelawanan dan Tanggung Jawab Negara
Anna Amalia – 5 Juli 2020
Pemenuhan hak atas pendidikan bagi peserta didik penghayat merupakan satu dari banyak pekerjaan rumah terkait pemulihan hak-hak Penghayat Kepercayaan. Keluarnya Permendikbud No 27 Tahun 2016 menandai tahap baru rekognisi negara terhadap keberadaan Penghayat Kepercayaan di Indonesia sekaligus menjadi kekuatan hukum untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi anak didik penghayat. Peraturan ini melengkapi beberapa bentuk pengakuan lain seperti Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 (yang diputuskan pada Oktober 2017) terkait kolom agama di KTP bagi Penghayat Kepercayaan.
Apa saja masalah yang pernah dihadapi para peserta didik penghayat dalam dunia pendidikan? Pada 2014, CRCS merilis laporan berjudul Politik Pendidikan Agama dalam Kurikulum 2013 dan Ruang Publik Sekolah. Laporan ini menyebutkan problem belum tersedianya pendidikan Kepercayaan bagi peserta didik penghayat. Karenanya, peserta didik penghayat terpaksa mengikuti satu dari enam agama yang tersedia dalam sistem Data Pokok Pendidikan.
Pada 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis laporan hasil pemantauan terhadap perjuangan perempuan Penghayat Kepercayaan, Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam menghadapi pelembagaan intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi berbasis agama. Dalam laporan ini, seorang penghayat perempuan menceritakan bagaimana anaknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD tidak mampu mengisi soal-soal agama yang diberikan sekolah karena berbeda dengan keyakinan yang diajarkan di keluarga. Pada tahun yang sama, seorang peserta didik di SMKN 7 Semarang tidak dapat naik kelas karena nilai agamanya kurang. Peserta didik penghayat ini mengerjakan ujian tertulis agama Islam akan tetapi menolak untuk melakukan ujian praktik karena tidak sesuai dengan keyakinannya.
Seturut kebijakan nasional, sekolah tidak menyediakan mata pelajaran agama selain enam agama yang diakui. Kasus-kasus yang disoroti dalam laporan-laporan di atas memicu reaksi keras dari banyak kalangan untuk memprotes kegagalan negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam institusi pendidikan.
Merespons kasus-kasus tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan No 27 Tahun 2016 yang dalam konsiderannya menyatakan bahwa peserta didik penghayat mendapat layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan hak-hak peserta didik dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menindaklanjuti peraturan tersebut, Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) sebagai lembaga yang ditunjuk untuk menyusun modul telah menyelesaikan empat modul yang terdiri dari empat tema, yakni Kemahaesaan Tuhan, Budi Pekerti, Sejarah, dan Martabat Kepercayaan.
Kerelawanan Para Penyuluh
Dalam diskusi Kamisan Daring ke-8 yang diselenggarakan CRCS bersama para mitra pada 25 Juni 2010, MLKI sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan Kepercayaan menjelaskan tentang peran penyuluh yang menjadi tenaga pendidik bagi peserta didik penghayat. Istilah penyuluh digunakan karena memang belum ada tenaga pengajar lulusan strata satu Pendidikan Kepercayaan. Padahal, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memandatkan agar mata pelajaran agama diberikan oleh tenaga pengajar yang seagama. Dalam hal ini, pendidikan Kepercayaan ini berarti harus diberikan oleh pengajar dari Penghayat Kepercayaan.
Infrastruktur berupa kurikulum dan kelengkapan turunannya telah disusun atas kerjasama MLKI dengan pemerintah. Penyuluh dari berbagai latar belakang organisasi kepercayaan juga telah mengikuti serangkaian kegiatan bimtek dan peningkatan kapasitas sebagai tenaga penyuluh agar memiliki kompetensi dasar sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Saat ini telah tersedia sebanyak 326 penyuluh yang melayani 2.868 peserta didik Penghayat Kepercayaan di seluruh Indonesia.
Salah seorang penyuluh dari Banyumas dalam diskusi daring menceritakan pengalamannya sebagai penyuluh, yang kurang lebih mewakili kompleksitas yang dialami banyak penyuluh di wilayah lain. Belum tersosialisasinya peraturan menteri, ketiadaan payung hukum pada level pelaksana di tingkat lebih rendah, kerumitan advokasi dengan berbagai pihak di tingkat lokal, serta problem stigma dan diskriminasi yang masih berulang, menjadi pekerjaan rumah bersama antara Penghayat Kepercayaan dengan pemerintah. Belum lagi problem terkait mana yang harus didahulukan: apakah memenuhi persyaratan sebagai organisasi terdaftar baru dapat dilayani, atau pelayanan pendidikannya didahulukan sebagai upaya pemenuhan hak kemudian perkara pendaftaran organisasi bisa menyusul.
Bagi peserta didik anak, hak atas pendidikan harus merujuk pada Konvensi Hak Anak yang mengatur prinsip non-diskriminasi, termasuk diskriminasi berbasis keyakinan. Konvensi ini juga menyatakan prinsip tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan, sehingga problem pendaftaran organisasi yang bersifat administratif dapat dikesampingkan.
Tanggung jawab penting yang diberikan kepada penyuluh adalah kemampuan untuk mengembangkan modul sesuai dengan kebutuhan masing-masing ajarannya. Kisi-kisi yang disiapkan oleh pemerintah dapat diadopsi minimal tiga puluh persen dan sisanya diserahkan pada penyuluh. Penyuluh melakukan eksplorasi mandiri atas keunikan dan kekhasan tiap ajaran serta mengembangkan kreativitas edukasi yang ramah dengan kultur tiap ajaran.
Kekayaan dan keragaman budaya menjadi tantangan tersendiri bagi penyuluh karena mereka harus mampu menguatkan kepenghayatan yang berbeda dari masing-masing peserta didik. Alih-alih mendiktekan isi modul, penyuluh harus menggali nilai-nilai luhur serta ragam praktik berbeda dari masing-masing peserta didik. Model bottom-up yang demikian tentu sangat berbeda dengan model pendidikan top-down yang digunakan dalam pendidikan agama di sekolah pada umumnya. Tanggung jawab lain yang juga cukup berat adalah memastikan bahwa setiap peserta didik memahami keberagaman dan mampu menumbuhkan sikap toleransi atas perbedaan.
Kompleksitas persoalan dengan tanggung jawab yang demikian banyak hingga saat ini masih dilakukan berbasis kerelawanan sebagai upaya dari penghayat kepercayaan untuk ambil bagian dalam mendidik anak bangsa.
Tanggung Jawab Negara
Mengikuti regulasi, tanggung jawab negara terkait pendidikan Kepercayaan idealnya dimulai sejak UU Adminduk Tahun 2006, yang menyatakan bahwa kolom agama di KTP Penghayat Kepercayaan dapat dikosongkan. Ini artinya, sekalipun belum ada pendidikan Kepercayaan, peserta didik penghayat tidak boleh dipaksa untuk mengikuti dan memilih salah satu dari pendidikan agama yang disediakan oleh sekolah. Pemaksaan ini bertentangan dengan UU sebelumnya terkait Sistem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan peserta didik mendapat pendidikan agama yang sesuai keyakinannya dengan tenaga pendidik yang seagama. Dalam praktiknya, negara terus membiarkan peserta didik terpaksa mengikuti pelajaran agama yang bukan agamanya.
Usulan serta draft terkait pendidikan Kepercayaan sudah diajukan oleh MLKI kepada Menteri Pendidikan di tahun 2006 (waktu itu masih Kementerian Pendidikan Nasional) dan baru ditandatangani pada tahun 2016 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemenuhan tanggung jawab negara atas hak pendidikan agama bagi peserta didik serta hak atas gaji dan kesejahteraan bagi pendidik membutuhkan setidaknya dua hal. Pertama, sinkronisasi peraturan untuk perubahan yang lebih substantif. Kedua, terobosan-terobosan afirmatif dengan memaksimalkan peluang dan potensi yang ada, terutama program-program di bawah Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
Dua kebijakan itu memerlukan pemenuhan tanggung jawab oleh negara. Sebab, pemenuhan hak atas pendidikan bagi peserta didik penghayat yang disangga pundak para penyuluh berbasis kerelawanan sudah terlalu banyak.
__________
Anna Amalia adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019.
Gambar tajuk: penyelenggaraan pendidikan kepercayaan untuk anak-anak aliran kebatinan Perjalanan, diambil dari film Atas Nama Percaya.