• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Student Service
    • Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Event report
  • Pendidikan Kepercayaan: Antara Kerelawanan dan Tanggung Jawab Negara

Pendidikan Kepercayaan: Antara Kerelawanan dan Tanggung Jawab Negara

  • Event report
  • 5 July 2020, 04.35
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Pendidikan Kepercayaan: Antara Kerelawanan dan Tanggung Jawab Negara

Anna Amalia – 5 Juli 2020

Pemenuhan hak atas pendidikan bagi peserta didik penghayat merupakan satu dari banyak pekerjaan rumah terkait pemulihan hak-hak Penghayat Kepercayaan. Keluarnya Permendikbud No 27 Tahun 2016 menandai tahap baru rekognisi negara terhadap keberadaan Penghayat Kepercayaan di Indonesia sekaligus menjadi kekuatan hukum untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi anak didik penghayat. Peraturan ini melengkapi beberapa bentuk pengakuan lain seperti Putusan MK No 97 Tahun 2017 terkait kolom agama di KTP bagi Penghayat Kepercayaan. 

Apa saja masalah yang pernah dihadapi para peserta didik penghayat dalam dunia pendidikan? Pada 2014, CRCS merilis laporan berjudul Politik Pendidikan Agama dalam Kurikulum 2013 dan Ruang Publik Sekolah. Laporan ini menyebutkan problem belum tersedianya pendidikan Kepercayaan bagi peserta didik penghayat. Karenanya, peserta didik penghayat terpaksa mengikuti satu dari enam agama yang tersedia dalam sistem Data Pokok Pendidikan. 

Pada 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan merilis laporan hasil pemantauan terhadap perjuangan perempuan Penghayat Kepercayaan, Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam menghadapi pelembagaan intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi berbasis agama. Dalam laporan ini, seorang penghayat perempuan menceritakan bagaimana anaknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD tidak mampu mengisi soal-soal agama yang diberikan sekolah karena berbeda dengan keyakinan yang diajarkan di keluarga. Pada tahun yang sama, seorang peserta didik di SMKN 7 Semarang tidak dapat naik kelas karena nilai agamanya kurang. Peserta didik penghayat ini mengerjakan ujian tertulis agama Islam akan tetapi menolak untuk melakukan ujian praktik karena tidak sesuai dengan keyakinannya.

Seturut kebijakan nasional, sekolah tidak menyediakan mata pelajaran agama selain enam agama yang diakui. Kasus-kasus yang disoroti dalam laporan-laporan di atas memicu reaksi keras dari banyak kalangan untuk memprotes kegagalan negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam institusi pendidikan. 

Merespons kasus-kasus tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan No 27 Tahun 2016 yang dalam konsiderannya menyatakan bahwa peserta didik penghayat mendapat layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan hak-hak peserta didik dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menindaklanjuti peraturan tersebut, Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) sebagai lembaga yang ditunjuk untuk menyusun modul telah menyelesaikan empat modul yang terdiri dari empat tema, yakni Kemahaesaan Tuhan, Budi Pekerti, Sejarah, dan Martabat Kepercayaan.

Kerelawanan Para Penyuluh

Dalam diskusi Kamisan Daring ke-8 yang diselenggarakan CRCS bersama para mitra pada 25 Juni 2010, MLKI sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan Kepercayaan menjelaskan tentang peran penyuluh yang menjadi tenaga pendidik bagi peserta didik penghayat. Istilah penyuluh digunakan karena memang belum ada tenaga pengajar lulusan strata satu Pendidikan Kepercayaan. Padahal, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memandatkan agar mata pelajaran agama diberikan oleh tenaga pengajar yang seagama. Dalam hal ini, pendidikan Kepercayaan ini berarti harus diberikan oleh pengajar dari Penghayat Kepercayaan.

Infrastruktur berupa kurikulum dan kelengkapan turunannya telah disusun atas kerjasama MLKI dengan pemerintah. Penyuluh dari berbagai latar belakang organisasi kepercayaan juga telah mengikuti serangkaian kegiatan bimtek dan peningkatan kapasitas sebagai tenaga penyuluh agar memiliki kompetensi dasar sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Saat ini telah tersedia sebanyak 326 penyuluh yang melayani 2.868 peserta didik Penghayat Kepercayaan di seluruh Indonesia. 

Salah seorang penyuluh dari Banyumas dalam diskusi daring menceritakan pengalamannya sebagai penyuluh, yang kurang lebih mewakili kompleksitas yang dialami banyak penyuluh di wilayah lain. Belum tersosialisasinya peraturan menteri, ketiadaan payung hukum pada level pelaksana di tingkat lebih rendah, kerumitan advokasi dengan berbagai pihak di tingkat lokal, serta problem stigma dan diskriminasi yang masih berulang, menjadi pekerjaan rumah bersama antara Penghayat Kepercayaan dengan pemerintah. Belum lagi problem terkait mana yang harus didahulukan: apakah memenuhi persyaratan sebagai organisasi terdaftar baru dapat dilayani, atau pelayanan pendidikannya didahulukan sebagai upaya pemenuhan hak kemudian perkara pendaftaran organisasi bisa menyusul.

Bagi peserta didik anak, hak atas pendidikan harus merujuk pada Konvensi Hak Anak yang mengatur prinsip non-diskriminasi, termasuk diskriminasi berbasis keyakinan. Konvensi ini juga menyatakan prinsip tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan, sehingga problem pendaftaran organisasi yang bersifat administratif dapat dikesampingkan.

Tanggung jawab penting yang diberikan kepada penyuluh adalah kemampuan untuk mengembangkan modul sesuai dengan kebutuhan masing-masing ajarannya. Kisi-kisi yang disiapkan oleh pemerintah dapat diadopsi minimal tiga puluh persen dan sisanya diserahkan pada penyuluh. Penyuluh melakukan eksplorasi mandiri atas keunikan dan kekhasan tiap ajaran serta mengembangkan kreativitas edukasi yang ramah dengan kultur tiap ajaran.

Kekayaan dan keragaman budaya menjadi tantangan tersendiri bagi penyuluh karena mereka harus mampu menguatkan kepenghayatan yang berbeda dari masing-masing peserta didik. Alih-alih mendiktekan isi modul, penyuluh harus menggali nilai-nilai luhur serta ragam praktik berbeda dari masing-masing peserta didik. Model bottom-up yang demikian tentu sangat berbeda dengan model pendidikan top-down yang digunakan dalam pendidikan agama di sekolah pada umumnya. Tanggung jawab lain yang juga cukup berat adalah memastikan bahwa setiap peserta didik memahami keberagaman dan mampu menumbuhkan sikap toleransi atas perbedaan. 

Kompleksitas persoalan dengan tanggung jawab yang demikian banyak hingga saat ini masih dilakukan berbasis kerelawanan sebagai upaya dari penghayat kepercayaan untuk ambil bagian dalam mendidik anak bangsa. 

Tanggung Jawab Negara

Mengikuti regulasi, tanggung jawab negara terkait pendidikan Kepercayaan idealnya dimulai sejak UU Adminduk Tahun 2006, yang menyatakan bahwa kolom agama di KTP Penghayat Kepercayaan dapat dikosongkan. Ini artinya, sekalipun belum ada pendidikan Kepercayaan, peserta didik penghayat tidak boleh dipaksa untuk mengikuti dan memilih salah satu dari pendidikan agama yang disediakan oleh sekolah. Pemaksaan ini bertentangan dengan UU sebelumnya terkait Sistem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan peserta didik mendapat pendidikan agama yang sesuai keyakinannya dengan tenaga pendidik yang seagama. Dalam praktiknya, negara terus membiarkan peserta didik terpaksa mengikuti pelajaran agama yang bukan agamanya. 

Usulan serta draft terkait pendidikan Kepercayaan sudah diajukan oleh MLKI kepada Menteri Pendidikan di tahun 2006 (waktu itu masih Kementerian Pendidikan Nasional) dan baru ditandatangani pada tahun 2016 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Pemenuhan tanggung jawab negara atas hak pendidikan agama bagi peserta didik serta hak atas gaji dan kesejahteraan bagi pendidik membutuhkan setidaknya dua hal. Pertama, sinkronisasi peraturan untuk perubahan yang lebih substantif. Kedua, terobosan-terobosan afirmatif dengan memaksimalkan peluang dan potensi yang ada, terutama program-program di bawah Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.

Dua kebijakan itu memerlukan pemenuhan tanggung jawab oleh negara. Sebab, pemenuhan hak atas pendidikan bagi peserta didik penghayat yang disangga pundak para penyuluh berbasis kerelawanan sudah terlalu banyak.

__________

Anna Amalia adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019.

Gambar tajuk: penyelenggaraan pendidikan kepercayaan untuk anak-anak aliran kebatinan Perjalanan, diambil dari film Atas Nama Percaya.

Tags: anna amalia

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di p Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di penghujung kehidupan, tak terasa #fkd2002 Juni spesial edisi kematian telah sampai di edisi keempat.

Sebagai pemungkas, mari kita merayakan kematian bersama rekan dari Mamasan dan Toraja. Malam Jumat, malamnya penghayat dan masyarakat adat.
Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"? Bagi saya Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"?

Bagi saya, lagu ini begitu menggetarkan kalbu. Sampai-sampai saya kadang lupa bahwa tembang Jawa ini adalah lagu Nasrani tentang sosok yang lahir ratusan tahun lalu di belahan Bumi lain nan jauh di sana.

Karenanya, jika hanya mengenal kekristenan lewat tembang tersebut, agak sukar dipercaya jikalau relasi antara gereja dan agama leluhur di Nusantara ternyata penuh pergumulan dan gejolak. Pergumulan yang pada akhirnya melahirkan teologi kontekstual atau inkulturasi.

Simak tilikan yang sekaligus menjadi renungan kritis tentang relasi gereja dan agama leluhur oleh teolog muda @vikry_reinaldo di situs web crcs ugm.
Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Heard dan pengacara Camille Vasquez di persidangan Johnny Depp?

Dari situ kita melihat betapa dahsyatnya efek dari pemilihan kata yang tepat. Pun dengan pemberitaan di media massa kita. 

Kata bukanlah sekadar susunan huruf dengan makna ala kadarnya. Di sana, tersimpan rapi sebuah ideologi yang mapan dan tidak bebas nilai. Ia punya kuasa untuk menundukkan objek, ataupun menyanjung subjek hingga ke langit. 

Simak tulisan apik @harisfatwa_ tentang narasi pemberitaan di media siber lokal tentang isu keagamaan kita hari ini. Hanya di situs web crcs ugm.
Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agam Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agama dan negara? Bagaimana hubungan Islam dan negara telah bertransformasi sejak dulu hingga saat ini? 

Dalam menjawab wawancara ini, Kuru mengacu kepada buku terbarunya, 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢, 𝙊𝙩𝙤𝙧𝙞𝙩𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣𝙞𝙨𝙢𝙚, 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙩𝙚𝙧𝙩𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣: 𝙋𝙚𝙧𝙗𝙖𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙇𝙞𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙅𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙖𝙬𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝘿𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢 (KPG, 2020) sekaligus lima judul buku yang menjadi rujukan utama tentang topik “Islam dan negara”.

Simak wawancara lengkap @dr_ahmettkuru bersama @isofyanabbas di situs web crcs ugm.
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY